Hj Musyrifah, Pemimpin Perempuan yang Lahirkan Pemimpin. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur.
PWMU.CO – Tidak banyak pemimpin perempuan yang melahirkan pemimpin. Musyrifah termasuk dari yang sedikit itu. Aktivis yang patut dicontoh terutama dalam hal kepemimpinan dan perkaderan.
“Beliau bukan hanya sukses merintis dan menjadi Ketua PWA Jatim, tapi juga berhasil mengader anak sulungnya, menjadi Ketua PWA Jatim selama dua periode,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWA) Jatim Siti Dalilah Candrawati.
Wanita hebat itu, pada Selasa pagi, 9 Juni 2020, menghadap Sang Khaliq, setelah dirawat di Rumah Sakit UMM. “Sehari sebelumnya, istri saya melihat ketenangan almarhumah. Rasanya itu tanda, beliau termasuk yang dipanggil Allah dengan firman-Nya: Ya ayyutuhan nafsul muthmainnah,” Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Saad Ibrahim memberikan kesaksiannya.
Aktivis sejak Remaja
Wanita kelahiran Lamongan, 12 Desember 1934 itu sudah aktif dalam pergerakan sejak usia remaja. Karir organisasinya dimulai dari GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), di kota kelahirannya. Di organisasi pemuda underbow partai Masyumi itu bahkan ia sempat menjabat ketuanya.
“Ibu dari keluarga Masyumi. Pada waktu itu Muhammadiyah Lamongan belum berdiri,” ujar Esty Martiana Rachmie, anak sulungnya.
Jiwa pergerakan putri pasangan Dahlan dan Fatoyah itu terbina bersama Muchit Moeljono, kakak nomer dua yang dikenal sebagai pendiri Hizbul Wathan (HW), di kota Lamongan. “Pak Muchit anak kedua. Sedangkan ibu saya (Musyrifah) anak ketiga, dari sepuluh bersaudara,” terang Esty.
Gara-gara aktivitasnya di GPII, pada Pemilu pertama tahun 1955 dirinya dicalonkan sebagai anggota legislatif di Kabupaten Lamongan, dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II.
Musyrifah menjadi juru kampanye perempuan yang andal bagi partainya. “Tandemnya dengan Pak Moelyadi, tokoh legendari Masyumi dan Muhammadiyah. Waktu kampanye, beliau sering dilempari oleh kader-kader PKI,” imbuh Ketua PWA Jatim 2005-2015 itu.
Mubalighat Muda
Selain menjadi aktivis pergerakan, semasa muda alumni Madrasah Ibtidaiyah di Lamongan, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Solo, dan FIAD Surabaya, itu juga dikenal sebagai mubalighat yang andal. Sehingga kerap diundang mengisi pengajian di daerahnya.
Terkait hal ini Wakil Ketua PWM Jatim Prof Achmad Jainuri punya kenangan khusus tentang ibu dari Esty Martiana Rachmie, Erly Ruhana, dan Dadang tersebut.
“Beliau seorang mubalighat terkenal di daerah saya. Itulah yang mungkin memikat guru saya, Pak Maksoem, yang sangat beruntung bisa menjadi pendamping beliau,” ujar Guru Besar UINSA Surabaya mengenai kenangan semasa kecil di Madrasah Nidhomiyah Kesambi (MNK), Kecamatan Pucuk, Lamongan.
Achmad Jainuri menceritakan, saat istirahat pelajaran, dirinya dan sebagian temannya bermain kelereng sambil mendengar obrolan bapak-bapak guru. “Sambil nunggu giliran memasukkan kelereng ke lubang yang ditunjuk, saya berjongkok di pinggir bapak-bapak yang sedang ngobrol, sambil curi-curi dengar yang mereka bicarakan,” ungkapnya.
Dalam obrolan itu, lanjutnya, Pak Maksoem menyebut nama: Musyrifah. “Iku wae Musyrifah undangen,” mantan rektor Umsida menirukan ucapan Pak Maksoem kala itu. “Akhirnya Bu Musyrifah yang diundang untuk mengisi pengajian di madrasah, almamater saya.”
Namun alumni McGill University Montreal ini mengaku sudah lama tidak mendengar kabar lanjutnya. “Setelah saya aktif di PWM Jatim, dan bertemu Bu Esty, saya baru tahu kalau Bu Musyrifah menjadi istri kedua dari Pak Maksoem,” kata dia.
Tentang posisi ibunya yang menjadi istri kedua, Esty menjelaskan bahwa ketika menikahi ibunya, ayahnya sudah cerai dengan istri pertama. “Tapi ternyata istri pertamanya hamil. Akhirnya, ibu saya kasihan jika anaknya lahir tidak ada bapaknya. Lalu suaminya disuruh kembali ke istri pertama. Toh waktu itu tidak ada larangan PNS menikah lagi.”
Perintis dan Ketua Aisyiyah
Seiring promosi jabatannya di bagian Penerangan Kantor Wilayah Departemen Agama (kini Kemenag) Provinsi Jawa Timur, di tengah suhu politik yang kian memanas sebelum meletus Gerakan 30-S PKI tahun 1965, Musyrifah pindah ke Surabaya.
Di Kanwil—yang waktu itu berkantor di Pregolan, Surabaya—ia bergaul dengan Siti Salmi Sismono, aktivis Aisyiyah Surabaya yang juga pegawai Kemenag. Bersama wanita yang akrab dipanggil Bu Sis itu, Musyrifah memulai aktivitas Aisyiyah-nya di Surabaya. Kala itu, belum terbentuk Aisyiyah tingkat wilayah.
Ia bersama Siti Salmi Sismono dan generasi seangkatannya, lantas merintis pendirian Aisyiyah Wilayah Jawa Timur. Setahun kemudian (1968) berdirilah Aisyiyah wilayah, yang secara legal formal disahkan oleh Pimpinan Pusat Aisyiyah pada 1969, melalui SK Nomor A-2/009/1969, tanggal 6 Muharram 1388 H/ 24 Maret 1969, yang ditandatangani Prof Siti Baroroh Baried (Ketua) dan St. W. Barozie (Sekretaris).
Karir kepemimpinan Hj Musyrifah di Aisyiyah wilayah ditapaki secara konsisten dan menanjak. Selama tiga periode (1968-1971, 1971-1974, dan 1974-1977) ia menjadi penulis I (sekretaris), dengan ketua yang sama: Siti Salmi Sismono. “Ibu itu sekretaris abadi,” kata Esty.
Tiga periode dipercaya sebagai sekretaris, menunjukkan ia memang aktif mengurus organisasi dan tekun menata administrasi. Bidang pekerjaan yang kerap dihindari aktivis yang kurang tekun kecuali hanya manggung.
Pada tiga periode berikutnya (1978-1981, 1981-1986, dan 1986-1990), posisinya bergeser menjadi wakil ketua. Dengan ketua ibu Sa’diyah Ibrahim. Puncak karirnya, sebagai Ketua PWA Jatim selama dua periode (1990-1995 dan 1995-2000).
Qaryah Thoyyibah
Pada periode kepemimpinan Musyrifah, Aisyiyah menggalakkan gerakan Qaryah Thoyyibah (Desa Binaan), di Bedingin, Sugio, Lamongan. “Kegiatan ini merupakan pilot project dari hasil keputusan Muktamar Aisyiyah ke-42 di Yogyakarta,” kata Noer Haidah Shomad, yang pernah menjadi sekretaris, memberi kesaksian.
Sebagai penopang program Qaryah Thayyibah, digalakkan pula program Keluarga Sakinah dengan menggandeng BKKBN di masing-masing daerah, dan program KIKHA (Kesehatan Ibu dan Kelangsungan Hidup Anak), bekerja sama dengan Departemen Agama dan UNICEF.
Esty menceritakan, semasa kepemimpinan ibunya, Aisyiyah bisa memiliki mobil organisasi yang dibeli dari dana sumbangan. Sebelumnya, tugas-tugas pembinaan ke daerah dijalani dengan menggunakan kendaraan umum. “Dengan kendaraan tersebut, lebih memperlancar kerja organisasi untuk melakukan pembinan ke daerah-daerah,” kisah Esty.
Semasa kepemimpinan Hj Musyrifah, Aisyiyah Wilayah mendapatkan rumah di Jalan Pelampitan. Rumah yang sebelumnya milik Ahmad Jaiz, itu diwakafkan sebagian, dan sisanya dibeli oleh Aisyiyah. Juga dapat wakaf rumah di Polak, Surabaya.
Rumah di Plampitan sempat menjadi kantor PWA, menggantikan kantor yang semula di rumah Bu Sismono. Saat bu Musyrifah sebagai ketua, fungsi kantor dioptimalkan dengan menjadwal para pengurus untuk piket di kantor. Juga merintis pembentukan koperasi, kader intilan, calon pimpinan dites baca al-Quran dan materi akidah.
Pada periode kepemimpinan tahun 2000-2005, Musyrifah menjabat sebagai wakil ketua yang membidangi tabligh.
Selain di Aisyiyah, ia aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur. Juga di PKK Provinsi selama 14 tahun, yakni semasa gubernur Sunandar Priyosudharmo, Wahono, Soelarso dan Basofi Soedirman.
Mandiri dan Disiplin
Di luar tugasnya sebagai pegawai negeri dan mengurus organisasi, Musyrifah rajin mengajar ngaji keliling. Seperti di Wonorejo, Pandegiling, Kayun, dan Simo. Plus mengajari baca al-Quran para istri pejabat, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
“Ngaji di Grahadi, diikuti anggota Dharma Wanita. Dan baru berhenti pada sekitar tahun 2010, setelah saya pindah ke rumah dinas di Gayungan. Lantas murid-muridnya bikin pengajian di Siwalankerto,” terang Esty.
Di tengah kesibukannya yang luar biasa itu, Musyrifah tetap memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia bersama ketiga anaknya tinggal di Simomagerejo, Surabaya. Sementara suaminya di Kesambi, Pucuk, Lamongan, bersama istri pertama dan 11 anaknya.
“Ibu itu mandiri sekali dan disiplin. Semua dilakukan sendiri,” kata Esty. Dalam hal pendidikan anak, pendekatannya sangat kereng. “Tiap hari, saya wajib ngaji. Sejak umur tiga tahun sudah harus puasa. Kalau belum mandi, tidak boleh keluar rumah,” kata Esty seraya menegaskan waktu itu dirinya tidak protes, tapi merasa terabaikan.
Baru belakangan, mantan Kepala Dinas Kesehatan Surabaya itu menyadari, betapa kondisi ibunya saat itu sangat berat. Sebagai single parent dengan kesibukan yang luar biasa, tentu tidak mudah untuk menjalaninya.
Kader Ngintil
Sebagai pimpinan wilayah, Musyrifah tentu harus melakukan tugas pembinaan ke daerah-daerah. Saat ke daerah, ia selalu membawa anaknya. “Saat ibu saya masih jadi sekretaris, kalau ke daerah-daerah naik bus, sambil membawa bayinya,” kata Esty.
Tampaknya itulah cara dia mengader anak-anaknya, yang sejak dini disuruh ngintil padanya. “Saya ini termasuk kader intilan. Sepulang dari kuliah di UGM, dibilang: Kamu harus masuk Aisyiyah,” mantan pengurus HMI UGM itu menirukan titah ibunya.
“Waktu saya diajak di Aisyiyah juga diingatkan, apa yang bisa kamu perbuat di Aisyiyah, bukan apa yang diperoleh. Kalau ada orang masuk Aisyiyah ndak ikhlas, akan tidak kuat,” kata Esty.
“Ojo sampek ninggal shalat. Ibadah nomer siji, dan harus keras pada diri sendiri. Kalau nyapu harus sampai cetok, tuntas. Kebersihan juga harus dijaga,” itulah pesan sang ibu yang sangat dikenang Esty dan adik-adiknya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini kali pertama simuat Majalah Matan Edisi 169, Agustus 2020