Kauman Lahirkan Profesor Perempuan Pertama ditulis oleh M. Anwar Djaelani,
peminat masalah sosial-keagamaan.
PWMU.CO – Kampung Kauman Yogyakarta itu istimewa. Di wilayah itu lahir Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Di tempat itu juga, lahir Siti Baroroh yang dua puluh tahun memimpin Aisyiyah. Tak hanya itu, Siti Baroroh Baried adalah wanita pertama penyandang gelar profesor di negeri ini.
Terkait ini, menarik jika ada tanya: Seperti apa wajah Kampung Kauman? Siapa Prof Siti Baroroh?
Daerah Ulama
Pada 23 Februari 1923 Ahmad Dahlan wafat. Dua hari setelah itu, 25 Februari 1923, Siti Baroroh lahir. Nama yang disebut terakhir, belakangan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah untuk waktu yang lama, 1965-1985. Bahkan, Siti Baroroh pernah pula menjadi Penasihat Ahli Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah.
Mengingat kedua tokoh dengan prestasi tinggi itu lahir di Kauman Yogyakarta, maka sangat penting bagi kita untuk mengetahui kondisi kampung itu. Langkah ini perlu, sebab peran lingkungan sangat vital dalam tumbuh-kembang seseorang.
Tentang Kampung Kauman Yogyakarta, Ahmad Adaby Darban menulis di Ensiklopedi Muhammadiyah (2015: 161). Menurut dia, Kauman adalah sebuah komunitas santri. Dari sisi nama, Kauman berasal dari kata ‘pa-kaum-an’.
Di sebutan itu, ‘pa’ bermakna tempat. Sementara, “kaum” dari kata qaimuddin yang punya makna penegak agama Islam. Jadi, Kauman adalah tempat para penegak agama atau ulama.
Peran Masjid Gedhe
Semua bermula dari Masjid Gedhe yang didirikan di sisi barat Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Terkait hal itu, maka sangat diperlukan unsur masyarakat yang dapat memelihara, mengelola, dan memakmurkan rumah Allah tersebut.
Maka, Sultan Hamengkubuwana I—yang dikenal sangat aktif beribadah—menempatkan para ulama pilihan dari berbagai daerah untuk tinggal di sekitar Masjid Gedhe sebagai pemakmur dan pengelola masjid sekaligus dijadikan abdi dalem dalam urusan keagamaan.
Di masa awal, pimpinan para ulama itu adalah Kiai Penghulu Fakih Ibrahim Dipaningrat (Penghulu Pertama Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Semua ulama yang ada difungsikan dalam organisasi kemasjidan dengan pembagian tugas yang tertata rapi.
Para ulama dan penghulu yang ditempatkan di sekitar Masjid Gedhe itu kemudian membentuk komunitas santri dengan perkawinan “Indogami Kampung”. Dalam perkembangannya, terjadilah komunitas kampung santri dengan ikatan keagamaan dan kekerabatan.
Dengan demikian solidaritas komunitas ini sangat kuat. Tradisi kesantrian—dengan masjid sebagai pusatnya—memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat seperti dalam hal pendidikan dan pergaulan sehari-hari.
Luas Kampung Kauman sekitar 192.000 M2. Letaknya di barat Masjid Gedhe. Kampung itu dihuni oleh para ulama, penghulu keraton, dan 9 ketib (khatib). Mereka masing-masing menghuni sebidang tanah yang di atasnya dibangun rumah dan langgar (tempat shalat dan mengaji).
Menjadi Terkenal
Di Kauman, pada 1912 Ahmad Dahlan, ulama cerdas dan punya visi jauh ke depan, mendirikan gerakan dakwah bernama Muhammadiyah. Tokoh yang terlahir dengan nama Muhammad Darwis itu, bersama Muhammadiyah punya agenda mulia.
Pertama, melakukan gerakan di bidang sosial-keagamaan. Kedua, menggerakkan pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga, menggerakkan usaha pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Muhammadiyah berkembang pesat. Kampung Kauman lalu dikenal luas oleh masyarakat, sebagai tempat persemaian ulama. Pun, dikenal sebagai gudang mubaligh dan mubalighah. Anak-anak mudanya dikenal alim, suka mengaji, dan memiliki aktivitas yang menonjol seperti di sepakbola dan beladiri.
Untuk yang disebut terakhir, Kauman memiliki perguruan beladiri bernama Tapak Suci. Di samping sebagai media pembangun jiwa dan raga bagi generasi muda, pada masanya Tapak Suci juga dipersiapkan sebagai bagian dari pertahanan saat menghadapi Partai Komunis Indonesia.
Pada perkembangannya, Tapak Suci secara resmi lalu menjadi organisasi otonom Muhammadiyah dan disebut Tapak Suci Putra Muhammadiyah.
Kampung Kauman punya andil dalam menghadapi penjajah. Di zaman Jepang, ulama Kauman berani menentang seikere (upacara penghormatan kepada matahari dalam tradisi Jepang). Sebagai hasilnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan warga Kampung Kauman tidak diwajibkan seikere.
Pelataran Masjid Gedhe
Pelataran Masjid Gedhe Kauman sering menjadi saksi sejarah. Dulu, didirikan Markas Ulama Asykar Perang Sabil (MUAPS) yang pusatnya di Gedung Pejagan pelataran Masjid Gedhe.
Dulu, putra-putra Kauman menjadi motor di pasukan Hizbullah Sabilillah. Pasukan-pasukan itu ikut perang gerilya membantu TNI sampai ke Semarang, Ambarawa, Kedu, dan Kebumen.
Dalam Peristiwa Kotabaru, pelataran Masjid Gedhe juga digunakan dalam menyusun kekuatan untuk penyerbuan. Apa itu Peristiwa Kotabaru?
Peristiwa Kotabaru atau disebut juga Serbuan Kotabaru adalah gerakan bersenjata pada 7 Oktober 1945. Ini adalah gerakan bersenjata kali pertama yang dilakukan rakyat Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tujuannya, merebut senjata dari tangan Jepang yang masih bertahan di Yogyakarta.
Ibarat pembuka jalan, Serbuan Kotabaru mempelopori munculnya gerakan bersenjata di daerah lain untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Berikutnya, bahkan berkembang menjadi perjuangan diplomatik untuk menegakkan dan membela NKRI (baca di sini). Di Serbuan Kotabaru ini, putra-putra Kauman ikut aktif dan ada yang menjadi korban.
Saat Lawan PKI
Pelataran Masjid Gedhe Kauman juga pernah dipakai untuk menyusun kekuatan dalam rangka penumpasan pemberontakan PKI pada 18 September 1948 yang berpusat di Madiun. Juga, tempat ini pernah digunakan untuk berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI tahun 1965. Atas tuntutan Generasi Muda Islam (Gemuis) Yogyakarta ini, maka PKI di Yogyakarta dibekukan untuk kali pertama di seluruh Indonesia.
Sangat sering, pelataran Masjid Gedhe Kauman dimanfaatkan sebagai ajang perjuangan umat. Lihatlah, Angkatan 1966 yang terdiri dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), bila mereka berdemonstrasi akan berangkat dari pelataran Masjid Gedhe.
Pada gerakan reformasi 1998, salah satu tempat demonstrasi—menuntut Presiden Soeharto turun—adalah di pelataran Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Saat itu, warga Kauman ikut berpartisipasi, baik dengan tenaga maupun lewat bantuan logistik.
Kauman dan Pendidikan
Pada awalnya, gerakan pendidikan di Kampung Kauman Yogyakarta dilakukan melalui pondok pesantren sehingga banyak menghasilkan ulama.
Dalam perkembangannya, generasi pelanjut di Kauman lebih banyak yang belajar ilmu pengetahuan umum dan menghasilkan para sarjana sampai tingkat Guru Besar dalam berbagai bidang keilmuan. Untuk yang disebut terakhir, Siti Baroroh bisa disebut sebagai salah sebuah contoh.
Siti Baroroh lahir di sebuah keluarga Muhammadiyah. H. Tamim bin Dja’far, sang ayah, adalah keponakan Siti Walidah. Sementara, Siti Walidah adalah istri Ahmad Dahlan.
Sejak muda Siti Baroroh suka ilmu. Bahkan, dia memiliki semboyan ”Hidup saya harus menuntut ilmu”. Selanjutnya, perjalanan kependidikan beliau bisa menginspirasi kita. Bahwa, Siti Baroroh memulai pendidikan dasar di SD Muhammadiyah. Kemudian, di pendidikan tinggi beliau belajar di Fakultas Sastra UGM. Di kampus ini, sampai jenjang Sarjana Muda.
Berikutnya, beliau ke Fakultas Sastra UI dan meraih gelar sarjana pada 1952. Selanjutnya, pada 1953-1955, Siti Baroroh mendalami Bahasa Arab di Kairo, sebuah capaian prestasi langka pada saat itu yaitu perempuan menempuh pendidikan di luar negeri.
Profesor Perempuan Pertama Indonesia
Pada 1964 Siti Baroroh diangkat menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Bahasa Indonesia di UGM. Pengangkatan ini mendapat perhatian publik, khususnya di internal UGM. Hal ini, karena kala itu usianya masih 41 tahun dan menjadi wanita pertama yang mendapat gelar Guru Besar. Apapun, gelar itu menunjukkan peran dan prestasi Siti Baroroh di dunia pendidikan.
Di UGM Siti Baroroh mengajar di Fakultas Sastra. Beliau pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra UGM selama dua periode, 1965-1968 dan 1968-1971. Pemikirannya banyak mengisi jurnal ilmiah. Pemikirannya juga telah dibukukan, di antaranya: Pengantar Teori Filologi, Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia, dan Senarai Kata Melayu Klasik.
Siti Baroroh tidak hanya aktif di kampus. Beliau juga aktif di berbagai organisasi seperti MUI Pusat dan di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sementara, di kehidupan rumah-tangga, Siti Baroroh menikah dengan dr. Baried Ishom (belakangan menjadi Spesialis Bedah dan pernah menjabat Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta). Keluarga mereka dikaruniai dua anak, satu putra dan satu putri.
Siti Baroroh dan Aisiyah
Di Aisyiyah, beliau menjadi satu-satunya Ketua Pimpinan Pus Aisyiyah yang paling lama menjabat yakni selama 5 periode dari tahun 1965 sampai 1985. Atas kecakapannya, Aisyiyah memiliki posisi tawar di luar negeri. Banyak peneliti, seperti penulis disertasi dari universitas luar negeri, mempelajari organisasi Aisyiyah melalui jasanya.
Di awal 1970-an Siti Baroroh mulai membawa Aisyiyah ke kancah internasional, di antaranya dengan mengirim kader-kader Aisyiyah untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan organisasi bekerja sama dengan Overseas Education Fund.
Tiap tahun Aisyiyah mengutus 2-3 kader terbaik ke Amerika bersama dengan peserta dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Di bawah kepemimpinan Siti Baroroh, sejak 1972 Aisyiyah menjalin kerja sama dengan Pathfinder Foundation menyelenggarakan Program Pendidikan Kependudukan Luar Sekolah.
Program itu di antaranya berisi tentang sosialisasi pentingnya keluarga sejahtera. Ibu-ibu rumah-tangga dimotivasi untuk bisa ikut menyokong perekonomian rumah-tangga dengan melakukan hal-hal yang produktif tanpa mengesampingkan fungsi utamanya sebagai ibu rumah-tangga.
Selain itu Aisyiyah juga mengadakan program pembinaan perempuan desa. Mereka dilatih dasar-dasar kepemimpinan untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Pada kegiatan tersebut, semua dilakukan melalui media pengajian dan Siti Baroroh ikut terjun langsung ke desa-desa mengontrol jalannya pelatihan tersebut. Hal itu dikerjakannya untuk memastikan bahwa semua pelatihan berjalan dengan baik.
Pemimpin Serba Sempurna
Siti Baroroh dikenal sebagai pemimpin yang sangat disiplin dan ingin ‘serba sempurna’. Adapun kontribusi terbesarnya di Aisyiyah, bisa disebut, bahwa pada zamannya terjadi penguatan kaderisasi dan penataan administrasi organisasi yang baik.
Siti Baroroh aktivis sejati. Sampai akhir hayatnya, wafat 26 September 2002 di Yogyakarta, beliau masih menjabat sebagai Pimpinan Umum Majalah Suara Aisyiyah dan Penasihat PP Aisyiyah.
Terutama pada masa-masa yang disebut di atas, Kampung Kauman Yogyakarta adalah sebuah lingkungan yang memungkinkan lahirnya banyak pribadi dengan berbagai prestasi yang mulia.
Dari lingkungan itu, lahir KH Ahmad Dahlan dan Prof Siti Baroroh Baried. Kini, kepada sejarah Kauman dan riwayatnya, siapapun bisa belajar banyak hal. (*)
Kauman Lahirkan Profesor Perempuan Pertama, Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Kauman Lahirkan Profesor Perempuan Pertama ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 49 Tahun ke-XXIV, 7 Agustus 2020/117 Dzulhijah 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.