Muhammadiyah Wahabi? Kolom ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang Wahabi. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Itu hal yang biasa. Mereka yang tidak suka menyatakan bahwa Wahabisme (pemikiran Wahabi) dilekatkan dengan terorisme atau ide radikal lainnya.
Wahabi diambil dari nama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (MBAW). Sebenarnya nama Wahabi itu diberikan oleh mereka yang tidak suka. Pengikutnya sendiri menyebut diri mereka dengan muwahhidun (orang-orang yang bertauhid).
MBAW lahir di Uyaynah pada 1703. Ia belajar agama pada usia muda, khususnya dengan ayahnya. Ia belajar dengan ulama di Basrah (Iraq selatan), dan melakukan perjalanan ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji dan belajar dengan ulama di sana sebelum kembali ke Uyaynah pada 1740.
Ia merumuskan ide-ide reformisnya ketika tinggal di Basrah dan menjadi terkenal karena debatnya dengan ulama di sana.
MBAW adalah pengikut mazhab Hambali tetapi menentang otoritas mutlak mazhab dan menentang taklid. Setelah kembali ke Uyaynah, MBAW mulai mendapat pengikut, termasuk penguasa kota itu, Utsman ibn Mu’ammar.
Gulirkan Ide Pemurnian
Dengan dukungan Ibn Mu’ammar, MBAW mulai mendakwahkan ide-ide pemurniannya. Ia mengajak Ibn Mu’ammar untuk meratakan makam Zayd ibnal-Khattab, sahabat Nabi Muhammad yang makamnya dikeramatkan oleh penduduk lokal.
Gerakan ini menggelisahkan Sulayman bin Muhammad bin Ghurayr, penguasa daerah al-Hasa dan Qatif, yang mempunyai pengaruh besar di Najd. Ibn Ghurayr memerintahkan Ibn Mu’ammar, pengumpul pajak tanah di al-Hasa, untuk membunuh MBAW. Ibn Mu’ammar menolak perintah itu, tetapi memaksa MBAW meninggalkan daerah tersebut.
Setelah diusir dari Uyaynah, MBAW diundang untuk menetap di sekitar Dir’iyyah oleh penguasanya, Muhammad ibn Sa’ud, pada 1740. Dua orang saudara dari Ibn Sa’ud sesungguhnya adalah murid MBAW di Uyaynah. Dan dikatakan telah memainkan perannya dalam meyakinkan Ibn Saud untuk menerima kedatangannya.
Bahkan, istri Ibn Sa’ud telah mengikuti ide MBAW. Setibanya di Dir’yyah, perjanjian telah dibuat antara Ibn Sa’ud dan MBAW. Perjanjian itu menyatakan bahwa Ibn Sa’ud wajib melaksanakan ajaran MBAW dan memberlakukannya di kota-kota sekitar.
MBAW memandang gerakannya sebagai sebuah usaha untuk memurnikan Islam dengan jalan mengembalikan umat Islam ke sumber aslinya, dan membersihkannya dari bid’ah dan syirik.
Upacara-upacara tertentu, seperti perayaan maulid Nabi, dianggap bid’ah. Ia dipandang oleh pengikutnya sebagai mujaddid, dan sebaliknya oleh penentangnya. Bagaimanapun pengaruh MBAW sangat besar.
Tak Ajarkan Radikalisme
Bila diselidiki secara cermat, sesungguhnya tidak ada pemikiran MBAW yang mengesahkan kekerasan atau ancaman terhadap jiwa manusia. MBAW dalam praktiknya, misalnya, meratakan makam agar tidak jadi sesembahan.
Meratakan kuburan itu sesungguhnya hal yang tidak terlalu besar apalagi jika diukur dengan ukuran waktu itu. Jika ada pengikut ajaran Wahabi yang melakukan tindak kekerasan, itu hanyalah sebagian.
Banyak pengikut Wahabi yang dalam berdakwah tetap santun dan damai. Itu seperti halnya ada pengikut Islam atau Kristen yang melakukan tindak kekerasan, maka itu tidak berarti mewakili ajaran agamanya.
Kesepakatan antara MBAW dan Ibn Sa’ud telah dibuat untuk saling mendukung misi masing-masing. Itu bisa dipandang sebagai hal yang bisa dipahami. Tetapi itupun harus diperlakukan dengan kritis.
Jawaban: Muhammadiyah Wahabi?
Kita boleh setuju atau tidak setuju. Bahkan kita pun boleh setuju atau tidak setuju dengan sebagian pemikiran MBAW. Tidak ada yang sakral dalam pemikiran atau pemahaman seseorang. Kita bisa menentukan jalan pikiran sendiri. Yang penting tidak ada kedlaliman terhadap orang lain.
Jika disebut bahwa Muhammadiyah mendapatkan inspirasi dari Wahabi, itu memang benar karena Muhammadiyah berdakwah untuk purifikasi akidah dan ibadah. Pemikir-pemikir Muhammadiyah dulu dan sekarang juga akrab dengan kitab-kitab tulisan MBAW.
Tetapi, tidak semua pikiran Wahabi diambil mentah-mentah. Muhammadiyah juga mendapatkan inspirasi dari Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan juga modernisme Barat.
Pemikiran-pemikiran itu diolah dan diuji dengan parameter al-Quran dan Sunnah, dan kemudian menjadi gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah dirinya sendiri, menentukan jalan pikirannya sendiri, dan tidak bisa dipasung oleh pemikiran atau gerakan lain. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Wahhabi dalam buku Di Balik Simbol Memahami Pesan Agama dengan Seemanga Kemajuan ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul Muhammadiyah Wahabi?