Dari Metafisik ke Teologi Pembebasan. Kolom ditulis oleh Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Pada zaman Nabi dan sahabat aKidah merupakan fondasi ajaran Islam. Umat Islam pada zaman itu meyakini apa yang diinformasikan dalam oleh Allah dalam al-Quran dan oleh Nabi dalam ucapannya. Mereka tidak pernah bertanya atau memperdebatkan secara detail.
Setelah zaman itu, barulah muncul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dijawab secara rasional dengan memanfaatkan falsafah yang diwariskan oleh para failasuf Yunani.
Perdebatan para ulama Islam dengan teolog-teolog Yahudi, Kristen, dan Majusi dan rujukan mereka terhadap falsafah Yunani menyebabkan Ilmu Kalam (teologi) berkembang. Perkembangan itu ditandai dengan banyaknya aliran, yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu dengan lainnya.
Setiap aliran kalam melahirkan pecahan-pecahan, dan dengan demikian perbedaan dan pertentangan aliran semakin nyata dan masing-masing mengklaim pemahamannya paling besar. Saling mengecam dan menyesatkan antarpemikiran menjadi fenomena yang nyata dalam perkembangan kalam setelah zaman sahabat.
Sampai sekarang kita hanya berputar-putar tanpa menemukan jalan keluar dari perdebatan teologis itu. Orang hanya akan memilih antara aliran Salaf atau Muktazilah, antara Ahlussunnah atau Syiah, antara Asy’ariyah atau Maturidiyah, antara Murji’ah atau Khawarij.
Karena itu, ada gagasan untuk memandang semua aliran itu sebagai warisan intelektual yang penting untuk dipelajari tetapi bukan untuk memasung kita. Jebakan teologi yang spekulatif dan metafisis itu sudah saatnya ditinggalkan. Kita harus mengambil sisi-sisi positif dari semuanya itu, dan kemudian meninggalkan fanatisme aliran.
Sisi Positif Aliran Teologi
Aliran Khawarij dengan watak radikal dan tradisi pengkafiran sesungguhnya menyimpan ideologi kesetaraan manusia. Khawarij memilki doktrin egalitarian dan keadilan kolektif (collective justice) sehingga aliran ini bisa disebut sebagai akar sosialisme Islam.
Khawarij juga memilki konsep kepemimpinan demokratis. Yakni setiap orang memilki hak yang sama untuk menjadi pemimpin sekalipun ia seorang budak. Tidak ada hak-hak prerogatif bagi kaum Quraysh untuk menjadi pemimpin.
Muktazilah memiliki doktrin keadilan sebagai salah satu kepercayaannya yang asasi. Keadilan dalam aliran ini bersifat distributif material dan kemanusiaan yang sebelumnya dimaknai oleh Muktazilah sebagai keadilan Tuhan yang transenden. Aliran ini juga memiliki doktrin amar makruf dan nahi mungkar yang menjadi spirit tanggung jawab sosial.
Aliran Syiah memiliki doktrin tauhid dan keadilan. Bahkan Syiah Qaramitah, sekalipun dalam catatan sejarah sering kali bertindak anarkis, memiliki sisi positif, yakni usahanya untuk mengkombinasikan antara doktrin agama dan gerakan revolusi, dan program keadilan sosial dan pembagian kembali harta kekayaan kepada seluruh pengikutnya.
Akidah Mengandung Moral
Selain berfikir eclectic expedience itu, ada lagi cara berfikir yang bermanfaat. Yakni memandang bahwa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan akidah harus diberikan makna moral.
Semua ayat yang berkaitan dengan hari akhir, seperti surga dan neraka, harus diartikan dorongan untuk perbuatan baik dan ancaman bagi yang perbuatan jahat, tanpa harus berdebat apakah di surga nanti ada bidadari atau tidak: apakah di neraka nanti orang-orang yang berbuat dosa itu kekal atau tidak.
Sayangnya, banyak ayat-ayat yang semata-mata dijadikan intellecual exercise dan karena itu kehilangan pesan moralnya.
Pada masa sekarang teologi seharusnya bisa membumi sesuai dengan tuntutan kehidupan umat manusia dan menjawab persoalan-persolan kehidupan yang sedang dihadapi. Teologi seharusnya tidak hanya membahas problem-problem transenden, seperti zat dan sifat Tuhan, tetapi juga hal-hal yang bersifat kongkrit duniawi.
Dengan demikian, dekontruksi teologi perlu dilakukan untuk membaca kembali wacana teologi klasik yang hanya memaknai teologi sebatas ilmu ketuhanan yang transenden menjadi teologi dalam makna antroposentris yang historis. Tujuannya adalah kecaman teologi atas praktek dehumanisasi.
Dengan meletakkan teologi pada problem aktual kemanusiaan, kita menjadikan teologi selalu dinamis sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh manusia yang dinamis.
Teologi seperti ini berarti teologi yang berfungsi untuk pembebasan dan pembelaan atas manusia dari sistem atau struktur yang menindas dan berlaku tidak adil.
Teologi Al-Maun
Dalam tradisi Muhammadiyah ada teologi al-Ma’un. Dalam tradisi gereja di Amerika Latin ada teologi pembebasan.
Teologi al-Maun maupun teologi pembebasan itu sesungguhnya merupakan rekonstruksi teologi rasional yang diusung oleh Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan kelompok modernis lainnya.
Dalam pandangan teolog Muslim saat ini, teologi rasional tersebut terlalu teoritis, konseptual dalam memaknai teks normatif al-Quran. Teologi rasional memproklamasikan kebebasan berpikir, namun tidak mendorong secara praktis terhadap pembebasan masyarakat lemah (dhuafa) dan yang tertindas (mustadhfin).
Asumsi dasar dari teologi pembebasan sesungguhnya adalah bahwa manusia sejak lahir ditakdirkan dalam keadaan merdeka dan resisten atas segala bentuk penindasan.
Manusia juga diberi akal yang menolak perbudakan, diskriminasi, feodalisme, sistem kasta dan kelas-kelas sosial yang berimplikasi ketidakadilan.
Teologi pembebasan menjadikan teologi lebih bermakna bagi masyarakat dan bukan sekadar wacana yang bersifat elitis. Teologi pembebasan juga telah berkembang di kalangan intelektual Muslim, seperti Ali Asghar Engineer di India dan Muslim Abdurrahman di Indonesia dengan sebutan teologi transformatif. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Teologi dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Dari Metafisik ke Teologi Pembebasan.