PWMU.CO– Darwis berganti nama baru Ahmad Dahlan menjadi sangat populer sebagai ulama pendiri organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912. Nama baru itu benar-benar memberi semangat luar biasa bagi pemiliknya.
Muhammad Darwis berganti nama Ahmad Dahlan ketika naik haji tahun 1890 di usia 22 tahun setelah menikah dengan Walidah. Pergantian nama itu atas saran gurunya di Mekkah Sayyid Abu Bakar Syatha. Gurunya itu yang memilihkan nama menggantikan nama kecilnya Darwis. Arti nama itu pembawa berita yang terpuji.
Mengganti nama saat berhaji lazim dilakukan hingga kini. Tujuannya sebagai tanda telah menjalankan rukun Islam secara sempurna. Nama baru berarti semangat baru mendakwahkan ajaran Islam.
Gurunya Sayyid Abu Bakar Syatha nama lengkapnya al-Allamah Abu Bakar Utsman bin Muhammad Zainal Abidin Syatha al-Dimyathi al-Bakri. Lahir di Mekkah tahun 1266 H/1849 M. Seorang ulama madzhab Syafii yang mengajar di Masjidil Haram.
Sayyid Abu Bakar meninggal dunia pada tanggal 13 Dzulhijjah tahun 1310 H/1892 M setelah menyelesaikan ibadah Haji di usia 43 tahun. Karya tulisannya antara lain kitab I’anah Thalibin Hasyiyah Fathul Mu’in.
Kitab madzhab Syafii ini menjadi pegangan dalam pembelajaran fikih di Mekkah yang kemudian diteruskan murid-muridnya saat pulang ke negaranya.
Dari ulama ini selain fikih, Ahmad Dahlan juga belajar qiraah al-Quran dan tasawuf yang kemudian diamalkan dalam kehidupannya yang sederhana dan berpikiran lugas.
Mewarisi Karisma Ayahnya
Dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi yang ditulis oleh MPI PP Muhammadiyah disebutkan fikih yang diamalkan Ahmad Dahlan madzhab Syafii.
Sekembalinya dari haji, dia membantu ayahnya memberi pelajaran agama kepada murid-muridnya di Masjid Gede. Ayahnya menjabat Khatib Amin di Penghulu Kraton. Mengajar pada waktu siang bakda Duhur dan sesudah Maghrib.
Dia sendiri juga masih belajar mengaji kepada ayahnya bersama jamaah orang-orang tua lainnya. Jika ayahnya berhalangan, dia diminta menggantikannya. Dari sini lama-lama dia dipanggil kiai seperti ayahnya.
Tahun 1896, ayahnya meninggal dunia. Dia diangkat menjadi Khatib Amin menggantikannya. Usianya baru 29 tahun. Setahun kemudian dia mengumpulkan ulama kraton untuk membahas shaf Masjid Gede agar sesuai kiblat Mekkah.
Tapi pertemuan ini tak menghasilkan kesepakatan. Hingga kemudian murid-murid KH Dahlan bertindak sendiri dengan membuat garis shaf baru. Akibatnya masjid geger. Hoofd Penghulu KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat tersinggung. Langgar Kidul milik Kiai Dahlan dirobohkan.
Dalam perjalanan waktu konflik ini akhirnya didamaikan oleh KH Sangidu, Khatib Anom yang juga menjadi wakil hoofd penghulu. Kiai Sangidu mendukung gerakan Kiai Dahlan.
Gerakan Pembaruan
Tahun 1903 Kiai Dahlan berkesempatan naik haji lagi dengan biaya kerajaan. Kali ini bersama anaknya, Siraj. Mereka menetap di Mekkah selama 18 bulan. Di sini berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib Minangkabawi dan ulama lainnya.
Di tahun itu gerakan pembaruan Islam menjadi topik pembicaraan kaum pergerakan muslim di Mekkah. Di sini Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Rasyid Ridho, ulama pembaru dari Mesir.
Tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani dan Rasyid Ridho dalam Majalah al-Manar dibacanya. Begitu juga tafsir Juz Amma Rasyid Ridho. Dari tafsir inilah Ahmad Dahlan memahami pentingnya surat al-Maun yang harus diwujudkan dalam gerakan dakwah Islam.
Sepulang dari Mekkah ini Ahmad Dahlan juga dihadapkan kepada gerakan misionaris Kristen dan Katolik dalam kalangan pribumi makin meluas di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Karena itu Ahmad Dahlan bergiat dalam dakwah pendidikan. Pendidikan yang mencerdaskan umat akan mampu menghadapi gelombang Kristenisasi dan keluar dari kemiskinan.
Dia lantas mendirikan sekolah di rumahnya maupun mengajar di sekolah Belanda. Model sekolah Belanda yang modern diadopsi digabungkan dengan model pesantren. Untuk mengefektifkan gerakan dakwah pendidikan ini, dia mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.
Gerakan Muhammadiyah didirikan dengan semangat gerakan pembaruan Islam untuk keluar dari kejumudan berpikir umat dan tradisi yang menghambat kemajuan.
Meskipun gerakan pembaruan Islam, di masa awal ini masih mengamalkan fikih madzhab Syafii. Kitab fikih yang diterbitkan seperti Kitab Fiqih Jilid 3 dicetak oleh Bagian Taman Pustaka Yogyakarta tahun 1924 masih mencantumkan qunut, tarawih 20 rakaat, juga shalat Id di masjid, bukan di lapangan. Corak fikih Syafii mulai berubah beberapa tahun setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia. Setelah ada Majelis Tarjih tahun 1927.
Oleh Arsyad Arifi Editor Sugeng Purwanto