Kekuatan Tulisan Aktivis Pergerakan. Kolom oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan, tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Tulisan bisa menggerakkan para pembacanya, itu sudah kita yakini. Maka banyak pihak yang memanfaatkannya untuk berbagai keperluan. Hal ini terjadi, baik di masa lalu, di era kini, dan insyaallah sampai nanti di masa akhir.
Orang-orang pergerakan, yang kesehariannya dipenuhi dengan aktivitas yang bernilai “demi mencapai kesejahteraan bangsa” banyak yang menggunakan tulisan sebagai media perjuangan.
Di masa lalu, sekadar menyebut contoh, HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, M. Natsir, dan Hamka adalah tokoh-tokoh bangsa yang menjadikan tulisan sebagai salah satu media perjuangan yang sangat efektif.
Mereka, empat tokoh yang disebut di atas, adalah Pahlawan Nasional. HOS Tjokroaminoto (1882-1934), “Peletak Dasar Perubahan Sosial-politik di Indonesia”. Agus Salim (1884-1954) adalah “The Grand Old Man,” kata Soekarno. M. Natsir (1908-1993) merupakan pendidik, dai, pemikir, dan negarawan. Sementara, Hamka (1908-1981) adalah ulama, sastrawan, sejarawan, dan pemikir.
Jejak Emas Tjokroaminoto
Ada yang istimewa dari keempat teladan dan tokoh bangsa di atas itu. Mereka cakap menulis dan meninggalkan sejumlah karya buku. Bahkan, mereka juga mewariskan semangat bahwa berjuang menegakkan yang makruf dan melawan yang munkar bisa dilakukan lewat jurnalistik. Lalu, melalui produk jurnalistik yang mana?
Mereka menulis artikel-opini dan dipublikasikan. Benar, di masa penjajahan dan setelahnya, mereka aktif menulis. Materinya, secara umum adalah memberikan pencerahan. Secara khusus, isinya mengritisi situasi sembari memberi spirit perlawanan.
HOS Tjokroaminoto cakap menulis. Sekitar 1907-1910 dia aktif menulis artikel di Bintang Surabaya. Juga, sempat mendirikan surat kabar Utusan Hindia, Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.
Islam sebagai jalan hidup adalah tema yang terus diperjuangkan Tjokroaminoto. Dalam salah satu artikelnya pada 1930-an yang berjudul “Pemberi Ingat dan Penunjuk Jalan kepada Umat Islam”, Tjokroaminoto memberi peringatan kepada umat Islam.
Bahwa, tulis dia, untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat maka hendaklah seseorang menjalankan agamanya dan berilmu. Hanya dua perkara ini yang bisa menghindarkan seseorang dari kerendahan derajat dan kesengsaraan.
Tjokroaminoto juga punya karya berupa sejumlah buku. Salah satunya, berjudul Islam dan Sosialisme. Lewat buku ini, dia kupas secara lugas tentang sistem ajaran Islam yang menjunjung tinggi kemerderkaan, persamaan, dan persaudaraan.
Karya Agus Salim
Bagaimana dengan Agus Salim? Sebelum kemerdekaan RI, Agus Salim adalah salah satu anggota Panitia Sembilan BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945. Lelaki kelahiran Sumatera Barat ini serius juga di bidang jurnalistik.
Agus Salim pernah menjadi Redaktur II di Harian Neratja sebelum kemudian diangkat menjadi Ketua Redaktur. Jejak yang lain, Agus Salim—yang berkali-kali menjadi Menteri Luar Negeri setelah Indonesia merdeka—pernah memimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Bahkan, dia juga tercatat mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Di belakang hari, Agus Salim menulis buku Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal.
Karya Fenomenal M. Natsir dan Hamka
Lalu, bagaimana dengan M. Natsir? Perdana Menteri pertama RI (1950-1951) itu, menulis lebih dari 35 judul buku. Salah satu bukunya yang mudah kita ingat dan cukup berpengaruh adalah Fiqhud Da’wah. Kecuali itu, aktivis Islam itu menulis ratusan artikel untuk berbagai masalah.
Bagaimana pula dengan Hamka? Lelaki berperforma lembut ini menulis lebih dari seratus judul kitab atau buku. Karya terbaiknya adalah Tafsir Al-Azhar. Hamka juga aktif menulis artikel di majalah.
Di masa penjajahan, Hamka memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Di dalamnya, Tasawuf Modern adalah nama salah satu rubrik yang sangat disukai masyarakat.
Di majalah yang terbit tiap pekan di Medan itu, rubrik Tasawuf Modern yang diasuh oleh Hamka itu mulai ditulis pada pertengahan 1937. Rubrik itu—berupa serial artikel yang menerangkan tentang bahagia—sangat ditunggu-tunggu oleh pembaca di setiap terbit edisi baru. Kajian itu selesai tersajikan pada 1938.
Belakangan, memenuhi permintaan banyak kalangan, himpunan tulisan di rubrik Tasawuf Modern lalu dibukukan pada 1939. Buku itu diberi judul sama dengan nama rubrik di majalah Pedoman Masyarakat, asal tulisan tersebut. Alhamdulillah, buku yang telah berusia puluhan tahun itu terus dicetak ulang. Saat tulisan ini dibuat, cetakan akhir bertahun 2020.
Panji Masyarakat
Di masa Indonesia merdeka, Hamka memimpin majalah Panji Masyarakat. Majalah itu pernah dibredel oleh rezim Orde Lama, antara 1959-1966. Setelah itu Panji Masyarakat diizinkan kembali terbit.
Belakangan, sebagian tulisan Hamka di rubrik “Dari Hati ke Hati” yang bertahun 1967-1981 lalu diterbitkan menjadi buku. Di tulisan “Beratnya Kewajiban Kita”, Hamka menulis: “Setelah merdeka, dan setelah Soekarno berkuasa, dan setelah kekuasaan Soekarno disokong oleh kaum komunis, ajaran membenci Islam itu lebih diaktifkan lagi.
Ditekankan dalam doktrin komunis bahwa Islam itu kontra revolusi, subversif, Islam itu Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Islam itu anti-Pancasila. Orang Islam hendak mendirikan Negara Islam dengan kekerasan, dan akan melakukan kudeta.”
Setelah terjadi pergantian kekuasaan, lanjut Hamka, isu-isu semacam itu di zaman Orde Baru ”Bukanlah tambah sepi, bahkan tambah santer.” Maka, simpul Hamka, “Kita difitnah hendak merombak Pancasila ialah karena yang memfitnah itu sendiri tidak berani menjalankan Pancasila.” (Hamka, 2016: 229-231).
Implikasi Bagus
Adakah contoh pengaruh tulisan dari orang-orang pergerakan yang mudah terasakan? Jika di bagian atas tulisan ini terlihat wajah Soekarno di masa akhir kehidupannya, mari kita lihat di masa perjuangan.
Dulu, revolusi di Indonesia didahului dengan terbitnya pemikiran-pemikiran revolusioner Soekarno, Hatta, dan sejumlah tokoh lainnya. Bacalah Indonesia Menggugat, sebuah pidato pembelaan Soekarno di depan pengadilan kolonial di Bandung.
Bacalah juga brosur revolusioner Mencapai Indonesia Merdeka, sebuah terjemahan dari Indonesia Vrij” yang merupakan pembelaan Hatta di muka pengadilan Den Haag.
Lihatlah pula, bagaimana puisi-puisi Taufiq Ismail, pada sekitar 1966, telah turut menggerakkan aktivis mahasiswa. Bergerak, untuk menumbangkan rezim Orde Lama.
Orang pergerakan di level apapun bisa memanfaatkan tulisan. Hal ini, karena pada dasarnya, tulisan berbentuk apa saja potensial untuk menjadi ”mesin penggerak”. Berikut sekadar pengalaman pribadi yang sederhana.
Menyusul sukses Habiburrahman dengan novel Ayat-ayat Cinta-nya, saya menulis artikel-opini berjudul Habiburrahman sebagai Fenomena Penulis Kaya (HsFPK). Intinya, berupa ajakan agar kita rajin menulis sebab hal itu bisa menjadikan kita ‘kaya’ dan kaya. Artikel itu lalu dimuat Jawa Pos,3 Maret 2008.
Di hari yang sama, setelah membaca artikel-opini tersebut, seseorang menulis SMS, salah sebuah aplikasi pesan pendek, ke saya: ”Terima kasih atas motivasi Anda. Insya-Allah saya akan menulis lagi.” SMS itu dia tulis karena aktivitasnya menulis artikel-opini di koran berhenti dalam beberapa tahun terakhir dan kini semangatnya kembali menyala setelah membaca HsFPK.
SMS serupa—dengan kalimat berbeda—saya juga terima dari sejumlah pembaca lainnya. Intinya, jika boleh saya merasakan, tulisan berupa artikel-opini itu berhasil. Bukan saja menggugah, tapi juga menggerakkan bisa menggerakkan orang.
Tulisan Pernikahan yang Inspiratif
Pengalaman lain, saat saya menulis feature berjudul Pernikahan Menawan Putri Iman pada 2018. Tulisan itu berisi reportase pernikahan putri Iman Supriyono, sahabat saya. Lewat tulisan itu saya diskripsikan sejak “model undangan tak biasa” yang disebar Pak Iman sampai pelaksanaan pernikahn yang Islami.
Berikut ini, paragraf pertama dari feature saya: Iman menikahkan putri sulungnya di Masjid Manarul Ilmi ITS. Acara di Sabtu 23 Juni 2018 itu, berhasil “Mengembalikan kebersahajaan dan kejujuran dari sebuah prosesi pernikahan,” kata Ismail Nachu, Ketua ICMI Jatim.
Kemudian, hadir di acara itu, “Terasa seperti dikembalikan ke zaman Rasulullah SAW,” kesan Ustadzah Yulyani, aktivis dakwah dan pengusaha. Tak berlebihankah apresiasi itu?
Setelah memberikan diskripsi cukup lengkap, sejak para tamu menerima undangan sampai keseluruhan acara selesai, lantas saya menutup tulisan tersebut dengan paragraf ini: Alhasil, “Acara pernikahan yang saya hadiri hari ini sangat berkesan dan bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang.
Bagi yang belum menikah, jangan takut menikah karena tidak mampu menyelenggarakan resepsi yang megah, misalnya. Menikah itu mudah dan murah. Hal yang penting, kita hanya berharap berlimpah berkah,” simpul Ustadzah Anandyah Retno Cahyaningrum, pengamat masalah pendidikan dan keluarga.
Selesai saya tulis, naskah itu, bisa klik di sini, saya sebarkan ke beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti. Tak saya kira, tulisan itu lalu viral, menyebar ke mana-mana. Ini saya tahu dari beberapa sahabat yang menyampaikan ke saya, bahwa tulisan tersebut sungguh banyak yang “meneruskan”.
Sementara, di sisi lain, saya menerima banyak ucapan dari sahabat dan pembaca tulisan. Kalimat mereka beragam, mulai dari “Terima kasih, inspiratif” sampai “Kami akan mencontohnya pada saat nanti menikahkan anak”. Masyaallah!
Bahwa tulisan bisa menggerakkan, insya-Allah kini kita bertambah yakin. Maka, mari jadikan tulisan sebagai salah satu pilihan utama kita dalam beramar makruf nahi mungkar. Semoga Allah mudahkan! (*)
Kekuatan Tulisan Aktivis Pergerakan, Rditor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Kekuatan Tulisan Aktivis Pergerakan ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 50 Tahun ke-XXIV, 14 Agustus 2020/117 Dzulhijah 1441 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.