SIBAR, Komunis Digoel Diperalat Belanda ditulis oleh Rosdiansyah, peneliti JPIP, Surabaya
PWMU.CO-Sejumlah pejabat pemerintah kolonial Belanda hengkang ke Australia begitu balatentara Jepang tiba di Batavia pada 8 Maret 1942. Tak ada perlawanan berarti. Pasukan Negeri Matahari Terbit jauh lebih menguasai medan tempur.
Satu persatu wilayah nusantara takluk di bawah telapak kaki serdadu Jepang. Nusantara relatif mudah ditaklukkan. Kedatangan pasukan ini benar-benar kejutan, sehingga tak ada perlawanan dari tentara kolonial Belanda.
Sebulan persis setelah penyerahan nusantara, para pelarian pejabat Belanda membentuk komisi pemerintahan kolonial dalam pengasingan di Negeri Kanguru. Saat itu, 8 April 1942, Herman Johannes van Mook ditunjuk sebagai ketua.
Van Mook membentuk kabinet pelarian beranggotakan enam orang. Satu-satunya orang Indonesia yang bergabung dalam kabinet Van Mook di Australia adalah Loekman Djajadiningrat. Ia adik Achmad Djajadiningrat yang pernah berkuasa di Jakarta.
Penasihat Van Mook adalah Charles Olke Van der Plas, sohor disapa Van der Plas. Sosok satu ini mengepalai perwakilan Kerajaan Belanda untuk Australia dan Selandia Baru. Posisi Van der Plas di atas Van Mook. Sehingga gampang bagi Van der Plas memberi arahan serta instruksi pada Van Mook.
Van der Plas merupakan otak di balik evakuasi para tahanan Boven Digoel ke Australia pada Maret 1943. Menurut catatan sejarawan Harry Poeze, sebagian besar tahanan ini lantas dipekerjakan di Netherlands Indies Government Information Sevices (NIGIS-Layanan Informasi Pemerintah Hindia Belanda) berbasis di Melbourne, Australia.
Propaganda NIGIS
Tugas utama NIGIS gencar menyuarakan kampanye anti-Jepang. Tiada hari bagi NIGIS tanpa kampanye menyerang Jepang. Bahkan, Van der Plas kemudian ikut mendalangi pembentukan Serikat Indonesia Baroe (SIBAR).
SIBAR berisi kaum Digoelis Kiri. Mereka ini juga ikut diungsikan Van der Plas dari penjara Boven Digoel Papua ke Australia. Partai Komunis Australia (PKA) sangat mendukung bahkan mengamankan proses evakuasi sampai kedatangan para Digoelis Kiri ini di Benua Kanguru.
Lebih dari itu, PKA juga aktif mengajak kaum Digoelis bergabung dalam diskusi-diskusi politik, serta diajari bahasa Inggris.
Walau PKA menunjukkan sikap solidaritas kiri ke kamerad mereka dari Digoel, masyarakat Australia pada umumnya masih bersikap rasis. Rasisme belum surut di Australia, dan situasi ini menguntungkan Belanda guna mengendalikan SIBAR untuk kepentingan kampanye anti-fasisme Jepang.
Baik Van Mook maupun Van der Plas intensif melancarkan propaganda anti-Jepang melalui beragam media yang dikelola SIBAR. Mereka dimanfaatkan untuk ikut berkampanye melawan Jepang. Simbiosis dua kubu yang semula bertolak belakang saat di Hindia Belanda ini berlangsung selama dua tahun di Australia.
Baik Komisi Van Mook maupun SIBAR sama-sama melihat kolaborasi mereka bersifat taktis bukan strategis jangka panjang. Walau sudah jelas Belanda adalah musuh, namun demi melawan fasisme Jepang, Digoelis Kiri di Australia rela berselingkuh dengan Belanda.
Daftar Komunis SIBAR
Sebaliknya, Belanda juga berkepentingan menyingkirkan Jepang lalu mencaplok kembali Hindia Belanda. Masing-masing kubu tetap menjaga kerahasiaan. Dalam artikelnya yang dimuat jurnal Indonesia edisi Oktober 2012, Harry Poeze merinci sejumlah orang-orang PKI yang tergabung dalam SIBAR.
Mereka adalah Ditawilastra, Djajadiredja, Djokosoedjono, Haroen Al Rasjid, Hadji Moechlas, Ngadiman, Roekmanda, Sabariman, Abdoel Chalid Salim (adik Agoes Salim), Sardjono, Mohammad Senan, Soekirno, Achmad Soemadhi, Mohammad Toha, Toekirman, Toekliwon dan Alibasah Winanta.
Peran Sardjono sangat signifikan selama tahun-tahun kolaborasi SIBAR-Van Mook. Utamanya dalam merancang berbagai kegiatan anti-Jepang untuk kemudian disebar ke jejaring SIBAR di Australia dan Merauke.
Kemesraan dua kubu berubah, tujuan jadi berbeda, begitu Proklamasi Kemerdekaan berkumandang 17 Agustus 1945 di Jakarta. Digoelis Kiri menarik diri dari aktivitas mereka di SIBAR, berangsur-angsur balik ke Indonesia. Beberapa di antaranya seperti Sardjono, aktif kembali di PKI tahun 1946.
Sedangkan Van der Plas dan Van Mook sibuk merancang strategi balik mencaplok Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat. Bagi Van der Plas dan Van Mook, Indonesia harus kembali dalam dekapan Belanda. Harapan mereka berdua kepada SIBAR sebagai cikal bakal boneka di Indonesia pupus sudah. SIBAR bubar, tanpa kabar.
Meski sebelumnya, beberapa hari usai proklamasi, pengurus SIBAR di Australia sempat mengirimkan telegram rasa terima kasih mereka atas kerja sama selama dua tahun bersama Van Mook, melawan Jepang.
Balasannya Van Mook mengirim telegram ke SIBAR memberitahu ucapan terima kasih SIBAR telah juga dikirim ke Ratu Wilhelmina di Belanda. Bagi Tan Malaka dan para pendukungnya di Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), kongsi kaum Digoelis Kiri dengan van der Plas serta van Mook membentuk SIBAR ini adalah aib. (*)
Editor Sugeng Purwanto