Sufisme, Kasino, dan Deplomasi Kebudayaan Amerika ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Ini adalah catatan kedua, mengikuti International Visitor Program On Religion and Ethnic Diversity, yang diadakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2007.
Baca Catatan Pertama: Pengalaman bersama Komunitas Sufi Amerika
Fenomena sufisme Islam Santa Fe, sangatlah menarik dan unik. Di pusat kegiatan perjudian dan hiruk pikuk para wisatawan dengan pakaian ‘minimalis’, terdapat komunitas yang religius.
Boleh jadi hal tersebut sebagai antitesis atau sebuah fenomena alamiah dari masyarakat yang krisis ruhani. Yaitu ketika sebagian masyarakat berperilaku hedonis dan sangat materialistik, muncul perilaku lain yang sangat sufistik dari sebagian masyarakat yang lain.
Dr Aziz Eddebbarh sebagai pemimpinan tariqat Naqsyabandiyah, yang karib dipanggil Imam, baru dua tahun tinggal di Santa Fe bersama istri dan kedua anaknya. Sebelumnya mereka berdomisili di Las Vegas.
Anak pertamanya, Mehdi Eddebarh kuliah di Universitas California Los Angeles, dan menjadi redaktur Jurnal al-Talib di kampusnya. Sedangkan anak kedua, kuliah di Universitas Harvard.
Di luar kesibukan rutinnya, tokoh Muslim imigran asal Maroko ini menjadi relawan di Penjara Negara Bagian. Ia membina dan menyadarkan para narapidana yang hampir frustasi agar bersedia mengubah nasib dengan cara berpikir positif, tidak menyalahkan orang lain dan marah-marah. Ia dengan tekun membina keruhanian mereka.
Tokoh yang rajin melakukan dialog antaragama ini pascaperistiwa 11 September, sering mengalami masalah karena diidentifikasi sebagai keturunan Timur Tengah. Baginya, peristiwa 11 September adalah malapetaka besar, terutama bagi kaum muslimin di AS. Hidup di Santa Fe menurutnya adalah ujian keimanan. Bagaimana misalnya, bisa lulus mendidik anak-anaknya di tengah masyarakat yang penuh maksiat.
Kasino Indian
Dalam perjalanan dari bandara Albuquerque menuju Santa Fe, kami sempat mampir ke pusat Perjudian Kasino Sandia, milik suku Indian. Kasino bagi suku Indian menjadi mata pencaharian utama. Gedung Kasino yang sangat besar dan luas itu dipenuhi orang-orang tua dari berbagai negara.
Selain para bule, wajah orang-orang Tionghoa terlihat mendominasi. Mereka sangat enjoi melakukan pekerjaan ini seolah sekadar hobi. Tak tampak suasana seram sebagaimana kita saksikan di film-film Barat.
Diceritakan oleh beberapa orang, keberadaan kasino ini dikarenakan tanah orang asli Amerika (Indian) dirampok oleh orang-orang keturunan Eropa yang datang ke Amerika pada sekitar abad ke-16. Dan memaksa orang-orang Indian pindah ke daerah reservasi (tanah suaka untuk orang-orang Indian yang diberikan pemerintah AS).
Dengan tanah yang relatif kurang subur, orang-orang Indian menjadi terbelakang dalam hal ekonomi dan pendidikan. Salah satu suku Indian di Negara bagian Connecticut, akhirnya membuka kasino pertama yang pendapatannya bisa dirasakan secara langsung oleh orang Indian.
Suku bangsa Indian mempunyai pemerintahan sendiri yang berdaulat di luar pemerintahan AS. Mereka dibolehkan membuka tempat perjudian di dalam reservasi mereka. Hal tersebut diikuti beberapa suku Indian lainnya di AS.
Suku bangsa Sandia, yang kasinonya kami kunjungi, sempat menyumbang uang sebanyak $1 juta untuk korban-korban badai Katrina di Negara bagian Louisiana. Uang tersebut adalah hasil pendapatan dari kasino dan pelayanan-pelayanan turis lainnya yang ada di dalam reservasi suku Sandia.
Diplomasi Kebudayaan
Citra Amerika Serikat (AS) di mata internasional ketika itu memang buruk, menyusul tindakan Bush menyerang Irak atas tuduhan negara itu memiliki senjata perusak massal. Berbagai cara dilakukan pemerintahan adidaya tersebut untuk memperbaikinya.
Di antaranya, melakukan diplomasi kebudayaan dengan mengundang beberapa warga negara asing untuk berkunjung ke AS, diikuti dengan kunjungan para staf senator ke beberapa negara berpenduduk muslim, termasuk Indonesia.
Selain juga kunjungan berkali-kali Konjen AS ke beberapa lembaga keagamaan. Diharapkan, dari kunjungan tersebut bisa memberi gambaran yang lebih baik mengenai Amerika Serikat.
Tetapi harapan tersebut sulit terpenuhi mengingat dalam waktu bersamaan Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pemeriksaan ekstra ketat terhadap siapa pun yang akan memasuki negaranya, tidak peduli para tamu negara. Sementara kritik dari warganya tentang arogansi pemerintah Bush juga dianggap angin lalu saja.
Ketatnya Pemeriksaan
Memang, pascatragedi 11 September yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan merusak sebagian bangunan Pentagon di Washington DC, petugas keamanan bandara dikerahkan untuk melakukan sweeping barang bawaan calon penumpang pesawat.
Penumpang yang akan memasuki wilayah Amerika Serikat di semua bandara internasional dan penerbangan dalam negeri AS harus rela diperiksa tubuhnya. Sepatu harus dilepas, sabuk harus dicopot, barang bawaan pribadi seperti laptop harus dibuka dan dihidupkan.
Bagasi yang akan masuk ke pesawat harus dalam kondisi terbuka. Jika petugas kepabeanan melihat sesuatu yang mencurigakan, ia langsung membuka dan mengacak-acak isi koper. Jika koper dalam kondisi tertutup, petugas tak segan-segan menjebol dan merusak koper.
Status kami sebagai tamu yang diundang, bahkan dilengkapi ”surat sakti” dari pejabat kedutaan, tak berarti kami mendapat perlakuan ”istimewa”. Semuanya tetap sulit memasuki wilayah AS ketika naluri petugas imigrasi mengatakan ada sesuatu yang berbeda. Itu yang terjadi pada kami saat menghadiri undangan Departemen Luar Negeri AS melalui Kedubes AS di Jakarta.
Ketika kami melewati pemeriksaan imigrasi biasa, di Bandara San Francisco, kami diminta datang ke “secondary office”. Di ruang itulah kami diinterogasi terpisah, dan diminta mengisi formulir bertajuk National Security Entry Exit Registration System berisi pertanyaan informasi orangtua, orang-orang yang bisa dihubungi, riwayat pendidikan, dan pekerjaan.
Kami juga ditanya maksud kedatangan ke AS, tinggal di mana ketika di AS, apa yang akan dilakukan, meski dalam surat pengantar sudah dijelaskan. Kami pun dibentak-bentak petugas ketika lupa menjelaskan alamat tempat tinggal nantinya.
Tak cukup dengan mengisi formulir, kami masih ditanya berbagai hal tentang data diri mulai dari tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna kulit, dan diminta menunjukkan identitas lain, seperti KTP, dan bahkan kartu kredit. Juga sempat dibentak petugas ketika tidak bisa menyebut alamat tinggal di AS. Saya tidak diperkenankan membuka surat sakti itu, padahal alamatnya tertera di surat tersebut.
Begitulah setiap memasuki gerbang keberangkatan, kami dan sebagian besar penumpang pesawat yang berwajah Asia, selalu mengalami pemeriksaan ketat. Apalagi nama-nama dari anggota rombongan kami semua bahasa Arab, seperti nama saya. Jika menurut petugas ada yang dianggap mencurigakan, penumpang akan dimasukkan dalam ruang khusus.
Ketat sejak Singapura
Ketatnya pemeriksaan untuk mengunjungi AS sesungguhnya terasa sejak di Singapura. Petugas di counter Penerbangan North West menempatkan seluruh anggota Delegasi Indonesia sebagai calon penumpang yang harus diperlakukan khusus.
Ditanya tentang apa saja isi tas, siapa yang memasukkan, dan kapan dimasukkan, sambil dilihat satu per satu isinya. Juga di Bandara Narita, Jepang, ketika pesawat yang kami tumpangi transit dalam perjalanan ke San Fransisco. Yang terasa paling merepotkan memang saat pesawat di Bandara Saint Paul Minneapolis.
Pengalaman yang sama dialami anak-anak SMP Muhammadiyah 7 Kotagede, Yogyakarta. Anak-anak belasan tahun yang diundang ke AS karena prestasinya di bidang civic education itu terlihat kelelahan diperiksa dan panik lantaran salah seorang temannya belum bisa keluar dari ruang “secondary office”, padahal pesawat sudah mau berangkat.
Selama kami berada di negeri dolar, kami bertemu dengan beragam corak masyarakat dan kebudayaan di lima Negara Bagian. Pada setiap dialog dengan mereka kami selalu diminta komentar mengenai Amerika.
Dengan agak bercanda saya jawab, “Semuanya baik, kecuali Bush.” Di luar dugaan, mereka pun setuju. “Bush dipilih menjadi Presiden bukan oleh mayoritas masyarakat Amerika,” kilah mereka. “Kami diajak perang terus,” keluh mereka.
Demo Seperempat Abad Lebih
Yang juga turut merusak citra AS adalah pemandangan di depan Gedung Putih, di Washington DC. Bagi setiap yang melewati Jalan Pennsylvania tersebut, akan melihat sebuah tenda kecil yang dihiasi bermacam poster antikekerasan, antiperang dan antinuklir. Tenda tersebut dihuni dua orang dengan rambut yang mulai memutih: Conchita dan William Thomas namanya.
Keduanya melakukan demo damai menentang senjata nuklir, sejak 1 Agustus 1981. Kendati mereka telah lebih dari seperempat abad bertahan di tenda kecil melawan hujan dan salju di dekat taman Lafayette, toh aspirasinya tetap tidak didengar.
Padahal untuk bisa bertahan demo di tempat terhormat ini, Con¬chita dan Thomas, harus berjaga bergantian selama 24 jam sehari di tenda kecilnya. Hal itu dilakukan, mengikuti peraturan hukum di Amerika Serikat bahwa untuk protes damai, tenda tersebut harus selalu ditunggui oleh seseorang kalau tidak mau dibongkar oleh petugas. Jika mereka ingin pergi ke kamar kecil misalnya, mereka harus selalu memastikan bahwa tendanya ada yang menunggu.
Sesungguhnya pemerintah AS sangat tidak suka dengan pemandangan ini. Tetapi tidak bisa mengusir mereka walau sebenarnya sangat mengganggu pemandangan, karena memang free speech itu dilindungi Undang-Undang.
Kendati presiden telah berganti empat orang, demo tetap berlangsung di tepi jalan. Siapa pun presiden yang berkuasa, keduanya tidak memedulikan. “Mereka adalah the devil atau si setan,” kata Conchita. “Kebetulan setannya ketika itu bernama Bush,” tambahnya.
Dennis P. Halpin dan tiga Senator AS, pada 25 Agustus 2007 datang ke Surabaya berdialog dengan berbagai tokoh masyarakat. Di akhir dialog, ia menyatakan keheranannya. “Amerika telah banyak membantu Indonesia, tetapi pandangan orang Indonesia terhadap Amerika tidak berubah. Lalu, apa kami harus menambah dana?” tanya Dennis.
“Mengurangi keangkuhan,” jawab saya. Karena, tidak semua urusan bisa diselesaikan dengan kekuasaan dan uang. Perilaku arogan yang dipamerkannya tidak disadari kontra produktif dengan upayanya membangun citra diri melalui diplomasi kebudayaan. (*)
Edior Mohammad Nurfatoni.