Catatan Kemerdekaan: Dari Klepon sampai Khilafah , kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Hidup kita berjalan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan. Mulai dari hal-hal kecil dalam pergaulan keseharian, sampai urusan kenegaraan. Semua diatur dalam kesepakatan.
Kesepakatan di lingkup sosial yang lebih besar disebut sebagai konsensus. Hal-hal besar di sekitar kita adalah hasil konsensus. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga hasil konsensus.
Kita hidup dalam konsensus yang berwujud simbol-simbol. Bahasa yang kita pakai sehari-hari adalah hasil konsensus terhadap simbol-simbol untuk memudahkan kita berinteraksi dengan teman-teman kita.
Itulah interaksionisme simbolik. Kita sepakat menamai sebidang kayu berkaki empat sebagai meja. Kalau dulu kita sepakat menyebut benda kayu berkaki empat itu sebagai klepon, maka sampai sekarang akan tetap bernama klepon.
Kini Susah Bersepakat!
Kesepakatan itu sekarang susah kita temui. Kita lebih sering tidak sepakat untuk sepakat, dari pada sepakat untuk tidak bersepakat.
Kita tidak bersepakat mengenai apa saja. Soal Pancasila kita tidak sepakat. Kita berantam kapan lahir Pancasila. Bisa diperas jadi tiga atau satu.
Soal klepon pun kita ribut. Kue legit kenyal manis itu islami atau tidak islami. Apa hubungan Islam dengan klepon? Siapa yang bisa menjelaskan? Siapa yang peduli?
Bahkan dua garis yang bersilang di logo kemerdekaan pun jadi perdebatan yang menguras energi. Yang satu bilang salib, lainnya bilang kartu domino. Siapa bisa menjelaskan?
Ternyata banyak yang bisa menjelaskan. Para pakar dan ahli dadakan bermunculan, memberikan teori dan dalil. Entah siapa mereka. Entah apa otoritas mereka. Tak ada yang peduli. Setiap kali perdebatan terjadi, yang dicari bukan informasi untuk menjernihkan, tapi konfirmasi untuk pembenaran. Inilah era matinya kepakaran, the death of expertise.
Pancasila adalah karya paripurna tertinggi, hasil interaksi dan konsensus mulia para pendiri bangsa. Perdebatan intensif selama berbulan-bulan, adu argumentasi, membeber referensi, berdebat dengan penuh martabat. Sampai kemudian dicapai kata sepakat.
Saling Tuding!
Sekarang, 75 tahun berselang. Debat, adu otot, Pancasila lahir tanggal 1 Juni atau 18 Agustus. Saling tuding, saling tuduh. Satu menuding PKI. Lainnya menuding khilafah.
PKI dan khilafah seolah dua monster yang sama-sama seram dan mengerikan. PKI adalah musuh yang harus dihancurkan. Khilafat adalah lawan yang harus dihilangkan.
Komunisme. Palu dan arit. Pertentangan kelas antara buruh vs majikan, proletar lawan borjuis, pemilik alat-alat produksi melawan buruh yang miskin.
Penindasan oleh borjuis pemilik alat-alat produksi harus diakhiri dengan perebutan paksa melalui revolusi proletar untuk membentuk kediktatoran proletariat. Maka buruh dan tani dimobilisasi.
Kaum borjuis pemilik alat produksi mengeksploitasi buruh proletar melalui jam kerja yang tidak proporsional.
Seorang buruh cukup bekerja dua atau tiga jam setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi buruh harus bekerja delapan jam dan bahkan lembur setiap hari. Kelebihan jam kerja tidak menjadi milik buruh tapi milik majikan yang mengumpulkannya menjadi akumulasi modal supaya pabriknya makin besar.
Ketika mesin sudah semakin canggih dan teknologi makin maju, kerja buruh lebih ringan tapi produkfitas makin tinggi. Penindasan bisa dihilangkan tapi ketidakadilan masih tetap ada. Bukan dalam bentuk penindasan tapi pembuaian oleh teknologi.
Eksploitasi Ekonomi Digital
Sekarang ekonomi berubah menjadi ekonomi digital. Tidak ada lagi alat produksi, yang ada adalah “market place”, tempat bertemu kebutuhan dan persediaan. Si A butuh angkutan menuju kantor, si B punya sepeda motor, mereka bertemu di aplikasi dan terjadilah transaksi.
Eksploitasi masih terjadi, karena buruh tukang ojek ditekan dengan upah semurah mungkin oleh mekanisme dan kompetisi pasar.
Ekonomi kapitalis digital semakin kompleks. Kalau kaum buruh mau melancarkan revolusi proletar siapa yang mau dilawan dan dihancurkan. Di mana akan bisa menemukan owner Gojek, bagaimana mau merebut alat produksi mereka, bagaimana cara menyita aset mereka.
Nubuat utama Marxisme adalah bahwa kapitalisme yang sangat maju akan menghancurkan dirinya sendiri. Ini tidak pernah terbukti. Tidak ada satu pun revolusi proletar yang terjadi di negara kapitalis maju di Eropa atau Amerika. Maka kemudian dimodifikasi di Rusia dan Tiongkok. Buruh diganti petani.
Tapi, kapitalisme semakin canggih, semakin pintar menyesuaikan diri. Para pekerja dibuat makin sejahtera, meskipun kapital sendiri makin gemuk, besar, merajalela.
Walfare state, negara kesejahteraan, dan varian-varian sosialisme yang rumit di Eropa adalah bukti kecanggihan kapitalisme untuk menyiasati kelemahannya.
Ini PR yang luar biasa rumit bagi pimpinan-pimpinan PKI di Indonesia untuk merumuskan ideologi komunisme di Indonesia zaman now. Dia pasti harus super canggih memahami dunia dan kemudian merumuskan ideologi yang tepat. Akan asyik kalau dia diundang untuk berdebat di ILC.
Proyek Super Rumit Khilafah
Di sisi lain, khilafah juga proyek yang super rumit. Geopolitik dunia global sedemikian kompleks, sehingga sulit untuk memulai proyek itu dari mana. Kalau dimulai dari Indonesia haruskah meminggirkan Pancasila?
Pertanyaan ini tidak cukup sekadar dijawab dengan argumen ilahiah, tapi harus didukung dengan argumen historis ilmiah.
Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan globalisasi yang melahirkan peradaban tunggal di dunia. Ilmu pengetahuan dan teknologi dinikmati oleh umat manusia seluruh dunia, baik Islam, Nasrani, Budha, Hindu, nasionalis, komunis, maupun ateis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menyatukan umat manusia dalam sebuah khilafah global, maka tantangan berat bagi agama untuk membuktikan diri sebagai kekuatan yang bisa menyatukan umat manusia seluruh dunia. Inilah PR besar bagi khilafah.
Negara, bangsa, nasionalisme, demokrasi, komunisme, fasisme, dan semua sistem sosial yang ada di dunia ini adalah hasil kesepakatan manusia. Sekelompok manusia berkumpul, berbicara, lalu berimajinasi, maka lahirlah konsep bangsa.
Dari imajinasi dan bayangan itulah lahir negara, demokrasi, dan nasionalisme yang disepakati bersama.
Konsensus. Kesepakatan. Tidak ada negara. Tidak ada uang. Bank. Itu hanya game fantasy yang kita sepakati bersama. Kita punya bayangan yang sama lalu kita sepakati bersama-sama.
Indonesia sudah layak masuk museum dunia sebagai satu-satunya negara berpenduduk besar yang berbentuk negara kesatuan. Tidak ada negara kesatuan di dunia ini kecuali Indonesia.
Tidak ada yang bisa melanggengkan keberadaan Indonesia, kecuali konsensus dan kesepakatan kita bersama.
Merdeka! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.