Intel Jepang Dorong Hatta Hapus Tujuh Kata Pancasila. Penghapusan inkonstitusional itu menjadi polemik hingga kini karena dianggap pengkhianatan terhadap konsensus nasional.
PWMU.CO-Sore hari usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menerima telepon dari Shigetada Nishijima, juru bahasa Kantor Penghubung Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pimpinan Laksamana Tadashi Maeda.
Nishijima menanyakan apakah Bung Hatta bersedia menerima opsir Kaigun yang memberikan informasi penting bagi kelangsungan Indonesia. Opsir intel Jepang ini bertugas di wilayah timur Indonesia.
”Opsir itu yang saya lupa namanya datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai Kaigun keberatan sangat terhadap kalimat dalam Pembukaan UUD,” cerita Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi.
Kalimat yang dipersoalkan itu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. ”Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat mereka. Hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam UUD berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas,” kata Hatta menirukan laporan opsir intel Jepang itu.
”Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia,” sambung Hatta berdasarkan informasi Kaigun Jepang itu.
Hatta menyampaikan kepada opsir tadi, kalimat itu bukan diskriminasi. Apalagi waktu perumusan ada Mr AA Maramis, anggota Panitia 9, yang tidak keberatan dan ikut tanda tangan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Opsir Jepang tadi mengatakan, itu pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu berlaku hanya untuk rakyat Islam yang 90 persen jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasakan penetapan itu sebagai suatu diskriminasi.
Bung Hatta terpengaruh juga dengan informasi intelijen Jepang itu. Dia khawatir Indonesia yang baru saja diproklamasikan akan pecah. Perpecahan ini memudahkan Belanda kembali menguasai wilayah ini. Bung Hatta berpesan kepada opsir Jepang itu agar pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkepala panas itu jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda.
Pencoretan Tujuh Kata
Pagi 18 Agustus 1945, sebelum sidang anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di rumah Pegangsaan Timur dimulai, Bung Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim (Menurut tulisan Prawoto Mangkusasmito Wahid Hasyim tidak hadir karena berada di Jawa Timur), Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan mengadakan pertemuan membicarakan kalimat sila pertama Piagam Jakarta.
Dalam buku Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Piagam Jakarta menuturkan, Hatta mengatakan pertemuan hanya 15 menit. Ternyata pertemuan memakan waktu dua jam. Semestinya rapat PPKI dimulai pukul 09.30 tapi molor hingga 11.30.
Waktu dua jam itu berakibat mengubah sejarah yang menjadi duri dalam daging. Sebab mencoret tujuh kata: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang sudah disepakati dalam Piagam Jakarta.
Penghapusan itu maksud hati Bung Hatta tak ingin menusuk perasaan orang Katolik dan Kristen tapi malah melukai orang Islam hingga sekarang tak terselesaikan.
Ki Bagus Hadikusumo keberatan dengan pencoretan itu. Namun dia didesak jangan berdebat pada urusan ini agar UUD segera bisa disahkan. Lantas Ki Bagus Hadikusumo mengalah dengan mengajukan kalimat pengganti Ketuhanan Yang Mahaesa.
Perubahan Inkonstitusional
Penghapusan tujuh kata ini diselesaikan dalam lobi politik di luar sidang. Padahal pengesahan Piagam Jakarta dilakukan dalam sidang BPUPKI dengan ditandatangani oleh anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.
Anggota Panitia Sembilan yang menandatangani yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, AA Maramis, Abdul Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan Haji Agus Salim.
Keganjilan perubahan kata ini justru diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo, Mr Teuku Hasan, dan Mr Kasman yang bukan anggota Panitia Sembilan dan bukan penandatangan Piagam Jakarta. Semestinya secara aturan ketatanegaraan perubahan itu menjadi urusan para penandatangannya. Alasan situasi darurat revolusi kemudian dijadikan alasan oleh Sukarno untuk menekan golongan Islam.
Dalam perjalanan sejarah, penghapusan tujuh kata itu pun tak menjamin orang Kristen di wilayah timur berkomitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Republik Maluku Selatan (RMS) pimpinan Chris Soumokil memproklamasikan menjadi negara pada 25 April 1950 yang berpihak kepada Belanda. Mereka menguasai Pulau Ambon, Seram, Buru. Meski sudah ditumpas hingga tahun 1963, tapi pemerintahan pengasingan RMS dipindahkan ke negeri Belanda hingga kini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto