Strategi Nabi Hadapi Dominasi Yahudi ditulis oleh Prima Mari Kristanto, Warga Muhammadiyah yang tinggal di Kota Lamongan.
PWMU.CO – Hijrah Rasulullah SAW dan sahabat pada 1442 tahun yang lalu betul-betul hanya bermodal ‘dengkul’ jika ditinjau dari segi materi perbekalan yang dibawa.
Pihak penguasa Makkah hanya mengizinkan peserta hijrah membawa harta secukupnya, pakaian, dan kendaraan, yang melekat di badan.
Peristiwa hijrah juga menegaskan predikat al-Amin yang disematkan masyarakat Makkah pada nama Muhammad bin Abdullah sejak sebelum menjadi nabi dan rasul.
Penegasan predikat al-Amin tercatat pada kisah penugasan Ali bin Abi Thalib untuk mewakili nabi menyelesaikan pengembalian harta-harta titipan masyarakat yang dipercayakan penyimpanannya pada nabi.
Selain menjadi pemuka agama, profesi nabi mengelola penyimpanan harta masyarakat yang mempercayakan pada beliau. Profesi ini kurang terekspos dibandingkan profesi dagang yang beliau jalani sejak remaja.
Pekerjaan atau profesi nabi dalam menyimpan harta masyarakat pada saat ini dikenal sebagai profesi bankir untuk jasa safe deposit box.Ssuatu profesi dan bidang jasa yang menuntut integritas tinggi, terpercaya, transparan dan tertib administrasi.
Pada peristiwa hijrah ini terkandung hikmah bahwa harta masyarakat harus dikembalikan, bukan dibawa kabur sebagai bekal perjalanan atau bekal kehidupan di tempat yang baru.
Hijrah sebagai Awal Kelender
Selanjutnya, peristiwa hijrah pada masa khalifah Umar bin Khattab ditetapkan sebagai penanda sejarah Islam berkemajuan.
Tahun peradaban Islam bukan ditetapkan berdasarkan kelahiran Muhammad bin Abdullah atau turunnya wahyu pertama di gua Hira. Peradaban Islam membuat cut-off atau penggalan waktu sebagai penanda sejarah Islam berkemajuan pada kalender bulan (qamariyah) yang sudah ada sejak sebelum kehadiran Islam.
Penanggalan berdasarkan peredaran bulan, bukan milik umat Islam saja. Budaya Jawa menggunakan bulan sebagai penanggalan dengan nama Sura, Sapar, dan seterusnya sampai Besar yang saat ini sudah menginjak tahun ke-1954.
Penanggalan qamariyah dan penanggalan syamsiyah milik seluruh umat manusia sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Anam 96 terjemahannya tertulis, “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui.“
Secara kebetulan peradaban Nasrani dan Romawi menyematkan nama-nama Januari, Februari, dan seterusnya sampai Desember pada penanggalan syamsiyah. Yang disesuaikan dengan peradaban mereka yang saat ini telah menginjak tahun ke-2020.
Berdasarkan rangkaian peristiwa yang menyertainya, kalender hijriyah lebih tepat disebut sebagai kalender peradaban Islam berkemajuan. Bukan sekadar kalender ibadah penanda seperti shaum Ramadhan dan haji.
Torehan Peradaban Islam
Dalam rentang waktu selama 1442 tahun sejak hijrah dari Makkah ke Madinah tertulis beragam kisah gemilang dan kisah suram peradaban Islam.
Awal hijrah peradaban Islam menorehkan sejarah gemilang dalam membangun peradaban Madinah. Dakwah kultural secara sembunyi-sembunyi dan diliputi ketakutan selama periode Makkah menjelma menjadi dakwah struktural memimpin masyarakat guna mengubah peradaban masyarakat menjadi lebih baik.
Untuk kali pertama Rasulullah SAW didaulat menjadi pemimpin masyarakat Madinah yang majemuk. Terdiri dari suku asli Auz, Khazraj, suku Yahudi Bani Nadhir, Bani Qainuqa, dan lain-lain, serta kaum Quraisy sebagai pendatang dari Makah.
Peristiwa politik paling gemilang bukan hanya keterpilihan Rasulullah SAW sebagai pemimpin Madinah, melainkan disepakatinya Piagam Madinah oleh masyarakat Madinah.
Piagam Madinah menjadi tonggak peradaban membangun masyarakat Madani tidak luput dari gangguan dan rongrongan masyarakat dari luar maupun dari dalam Madinah. Peperangan demi peperangan mewarnai perjuangan demi menjaga eksistensi cita-cita masyarakat Madani di Madinah.
Perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, perang Tabuk dan seterusnya sebagai peradaban “baru” umat Islam dalam menghadapi gangguan. Suatu peradaban “baru” yang mana selama tigabelas tahun periode Makkah selalu diam, mengalah, tidak melawan menghadapi segala gangguan-gangguan dakwah.
Dominasi Yahudi
Selain perang fisik, tidak kalah penting adalah keberhasilan generasi hijrah dalam perang dagang memperbaiki struktur ekonomi masyarakat Madinah.
Pada awal kedatangan Rasulullah SAW bersama sahabat, perekonomian Madinah sudah maju. Secara kasat mata tidak ada masalah serius. Perekonomian kaum Yahudi mendominasi kegiatan sektor pertanian, perkebunan, pengolahan, hingga pemasaran.
Penduduk asli Madinah suku Auz dan Khazraj yang biasa disebut kaum Anshar umumnya bekerja pada pengusaha Yahudi atau menyewakan lahan-lahan untuk dimanfaatkan para pengusaha Yahudi.
Kehidupan ekonomi Suku Aus dan Khazraj sebagai pendududk “pribumi” Madinah berada di bawah kontrol orang-orang Yahudi. Dominasi Yahudi atas perekonomian Madinah demikian kuat, karena dari hulu produksi sampai distribusi kepada konsumen semua dibawah kendalinya. Orang-orang Yahudi di Madinah memiliki pasar dan pusat-pusat pengolahan pertanian yang besar antara lain di Khaibar.
Strategi Ekonomi Nabi
Menyikapi fakta demikian, Rasulullah SAW secara khusus membuat dua strategi penting yang saling berkait erat. Pertama, meningkatkan etos kerja dan produktifitas kaum Muslimin, aik di kalangan Anshar maupun Muhajirin. Kedua dan menciptakan pasar baru untuk transaksi kaum Muslimin yang terpisah dari pasar Yahudi.
Bila selama ini produk-produk yang digunakan masyarakat Madinah dimonopoli oleh Yahudi dari kawasan pertanian mereka, maka Rasulullah SAW mulai menyaingi dari hasil produksi lahan baru milik para sahabat. Paling tidak saat panen tiba, kebutuhan kaum muslimin tidak lagi harus bergantung kepada orang-orang Yahudi.
Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk segera menggarap lahan-lahan pertanian Madinah yang banyak ditelantarkan penduduk setempat. Bisa jadi kebutuhan masyarakat Madinah sudah banyak dipenuhi dari kebun-kebun yang dikembangkan Yahudi.
Selain memerintahkan, Rasulullah SAW juga ikut belajar bercocok tanam di usia beliau yang telah menginjak 53 tahun kala hijrah ke Madinah.
Pribadi sahabat yang telah ter-tarbiyah dengan baik tidak ada kata lain selain sami’na watha’na. Kami dengarkan dan kami laksanakan”.
Bercocok tanam, suatu hal yang berat dan asing bagi kaum Muhajirin Mekah yang terbiasa berdagang. Namun demikian ketaatan pada pemimpin mendorong para sahabat untuk berusaha kuat bertani atau berkebun sebagaimana Ali bin Abi Thalib segera menghidupkan tanah di dekat mata air Yanbu’.
Zuhair bin Awwam mengambil sepetak tanah yang kurang terurus dan sangat bersemangat untuk dapat hidup mandiri dan produktif.
Dalam berjalannnya waktu muncul kawasan pertanian dan perkebunan baru garapan kaum Muslimin antara lain: Wadi Al Aqiq, Wadi Bathhan, Wadi Mahzuz, Wadi Qanah, Wadi Ranuna, Wadi Al Qura, Wadi Waj dan Wadi Laij yang sebelumnya berupa semak belukar atau tanah tidak terurus.
Ekonomi makin Kuat
Lambat laun perekonomian kaum Muhajirin dan Anshar semakin kuat dalam menopang peradaban Islam yang gemilang di Madinah.
Ketika kaum Muslimin sudah dapat mandiri maka posisi tawar mereka semakin kuat. Kekuatan politik kaum Muhajirin dan Anshar menjadi kokoh didukung kemandirian ekonomi. Dengan mengurangi ketergantuangan yang besar pada ekonomi Yahudi.
Demikian kejayaan Islam Berkemajuan yang diawali dari peristiwa Hijrah 1442 tahun silam. Bermula dari kejayaan Madinah berturut-turut masterpiece Madinah. Dibawa mengikuti perpindahan pusat peradaban Islam di Damaskus, Baghdad, Cordoba, Granada, sampai Istanbul sebagai kekhalifahan terakhir.
Selama kurun waktu 1442 tahun sejak peristiwa Hijrah, tercatat kejayaan Islam mewarnai dunia lebih dari 1.000 tahun di mana yang 800 tahun dicatatkan oleh peradaban Islam di Andalusia.
Penting memaknai penaggalan Hijriah sebagai kalender sejarah peradaban. Insyaallah seribu tahun lebih torehan sejarah kejayaan Islam yang tercatat dalam kalender Hijriah masa sebelumnya kembali terulang bersama kader-kader masa depan Islam Berkemajuan. Wallahu’alam bi ashshawab.
Strategi Nabi Hadapi Dominasi Yahudi, Editor Mohammad Nurfatoni.