PWMU.CO– Ali bin Abu Thalib usianya masih sangat muda ketika berhijrah. Tapi pemuda ini berani luar biasa. Sewaktu Rasulullah keluar dari Mekkah untuk hijrah, dia berani tidur di ranjang Nabi Muhammad padahal dia tahu orang-kafir mengepung rumah untuk membunuh Nabi.
Dia mematuhi perintah Nabi tanpa ragu. Bersedia menggantikan posisi Nabi meskipun tahu itu membahayakan jiwanya. Orang-orang yang mengepung Nabi siap dengan pedang terhunus. Rencana pembunuhan ini gagal karena Nabi sudah keluar rumah tanpa diketahui pengepungnya.
Dalam buku Kisah Dramatik Hijrah dijelaskan, di saat Nabi dan para sahabat sudah keluar dari Mekkah untuk hijrah ke Madinah, Ali bin Abu Thalib masih tinggal di kota dalam situasi yang benar-benar mencekam mengingat permusuhan kafir Quraisy dengan orang muslim kian tajam.
Ali bin Abu Thalib mendapat amanat dari Nabi untuk mengembalikan barang-barang orang Quraisy yang dititipkan kepadanya. Ali mengirimkan barang-barang itu ke pemiliknya tanpa sembunyi-sembunyi. Dia keliling Mekkah di tengah konflik sengit yang sedang terjadi. Untuk mengembalikan barang-barang itu Ali membutuhkan waktu selama tiga hari.
Setelah semua tugas sudah diselesaikan, segera saja Ali meninggalkan Mekkah menyusul hijrah Nabi dan Abu Bakar. Seorang diri. Dia mengikuti jalur yang dilewati Rasulullah. Namun begitu tidak sempat bertemu di perjalanan.
Meskipun berangkat seorang diri, Ali tidak merasa gentar dan kesepian. Keinginannya bertemu dengan Nabi dan bergabung dengan kaum muslim di Madinah menguatkannya selama di perjalanan.
Menginap di Rumah Janda
Ali tiba di Quba tak lama setelah Rasulullah dan Abu Bakar sampai di tempat itu. Ali dan Rasulullah bertemu di desa Bani Amr bin Auf kemudian sama-sama singgah di rumah Kultsum bin Hidam. Setelah itu Ali menginap di tempat berbeda dengan Rasulullah. Ali tinggal di rumah seorang janda.
Di rumah ini Ali menjumpai sesuatu yang aneh. Di setiap pertengahan malam, dia mendengar ada yang mengetuk pintu rumah wanita itu. Wanita itu keluar membuka pintu dan menemui seorang laki-laki yang membawakan sesuatu. Setelah wanita itu menerimanya kemudian laki-laki itu pergi.
Karena curiga Ali bertanya kepada wanita itu. ”Siapa laki-laki yang datang kepadamu setiap malam? Memberimu sesuatu padahal engkau wanita muslimah tanpa suami,” katanya.
Wanita itu menerangkan, laki-laki di tengah malam itu adalah Sahl bin Hunaif. Dia tahu kalau aku wanita tanpa suami. ”Setiap malam dia mendatangi berhala-berhala kaumnya kemudian dihancurkan dan kayunya diberikan kepadaku,” ujarnya.
Ali lalu berkata,”Jadikan kayu berhala itu sebagai kayu bakar.”
Mahar Baju Zirah
Setelah istirahat di Quba, kemudian Rasulullah diikuti Ali dan beberapa orang melanjutkan perjalanan ke Yatsrib. Beberapa tahun setelah tinggal di Madinah, Ali kemudian menikahi putri Nabi, Fatimah, yang menginjak umur 15 tahun.
Semula Ali malu-malu saat melamarnya. Tetapi Rasulullah paham tujuannya menghadap. Ketika Nabi bertanya,”Apakah punya mas kawin untuk menikah?”
”Demi Allah, tidak, ya Rasulullah,” jawab Ali.
”Dimana baju besi yang saya berikan padamu dulu?”
Ali teringat baju besi buatan Huthamiyah hadiah Rasulullah yang harganya 400 dirham. ”Masih ada padaku,” jawab Ali.
”Saya nikahkan kamu dengan Fatimah dengan mahar baju besi itu. Maka halalkanlah dia dengannya.” Kemudian Rasulullah menghadiahi Fatimah berupa kain beludru, bantal kulit berisi sabut, penggiling tepung, tempat air dari kulit, dan dua tempayan.
Dzikir Fatimah
Setelah menikah Fatimah pun pindah ke rumah Ali dengan diantarkan sahabat dan tetangga. Asma’ binti Umais menceritakan, ketika masuk ke rumah Ali tidak banyak perabot di rumah itu. Dia melihat hanya ada sehelai tikar, bantal berisi sabut, sebuah kendi dan sebuah cangkir.
Melihat kondisi itu orang anshar lalu urunan tepung dan memberi seekor domba kepada Ali untuk mengadakan pesta nikah.
Beberapa tahun setelah menikah, suatu ketika Fatimah mengeluh tangannya lecet akibat menggiling tepung. Kemudian dia ke rumah ayahnya berniat meminta pelayan karena Nabi membawa tawanan perang.
Ketika Rasulullah pulang dan menerima pesan anaknya maka berkunjunglah Nabi ke rumah Fatimah pada malam hari. Waktu itu Ali dan Fatimah hendak tidur. Melihat Nabi datang, keduanya mau bangun. Tetapi Nabi berkata,”Tetaplah di tempatmu.”
Rasulullah duduk di antara keduanya. ”Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang lebih berharga daripada apa yang kamu minta?”
”Jika kalian hendak tidur maka bacalah takbir tiga puluh empat kali, tahmid tiga puluh tiga kali dan tasbih tiga puluh tiga kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” Dzikir ini kemudian populer disebut dzikir Fatimah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto