PWMU.CO– Walisanga, istilah yang amat populer di masyarakat untuk menyebut sejumlah ulama penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Wali adalah orang yang menguasai agama dan dikeramatkan. Jumlahnya sanga. Bahasa Jawa dibaca songo. Artinya sembilan. Realitasnya para walisanga yang karomah dan dihormati orang Islam Jawa ini bisa berjumlah delapan, sepuluh, sebelas, atau lebih banyak lagi tergantung keinginan orang yang menyusunnya.
Karena itu muncul pendapat sebutan walisanga itu sebenarnya terjadi akibat kesalahan pengucapan dan perubahan bunyi dari istilah walisana. Istilah walisana pertama kali muncul dikenalkan oleh Sunan Dalem yang berjuluk Sunan Giri II.
Anak Sunan Giri ini menyusun kitab yang diberi nama Walisana. Isinya menceritakan riwayat dan kehidupan para wali pendakwah agama Islam di tanah Jawa. Di kitab ini jumlahnya delapan orang. Susunannya juga berbeda dengan nama-nama wali yang populer sekarang ini.
Dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa tulisan Widji Saksono dijelaskan, mengutip pendapat Prof KHR Mohammad Adnan, kata sana berasal dari bahasa Arab tsana’ yang artinya mulia. Jadi walisana artinya para wali yang mulia.
Pendapat berbeda disampaikan R. Tanojo yang menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya tempat atau daerah. Maka walisana bisa diartikan wali penguasa daerah tertentu sesuai wilayah dakwahnya.
Sepertinya pendapat inilah yang mendekati kebenaran. Sebab para wali ini adalah guru atau ulama yang diberi penghargaan tanah perdikan beserta rakyatnya oleh raja. Penerima tanah perdikan menjadi penguasa di wilayah itu.
Gelarnya pun sunan berasal dari kata susuhunan atau sinuhun. Artinya, orang yang dijunjung, dihormati sebagai guru spiritual. Karena itu sebutan para walisana selalu merujuk kepada nama daerah kekuasaannya. Seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, dan lainnya.
Sumber Otentik
Sebagai buku babad, kitab Walisana bisa menjadi rujukan paling otentik karena ditulis sangat dekat dengan kehidupan para walisongo. Penulisnya generasi kedua yaitu anak Sunan Giri. Sumber penulisannya sangat mungkin berasal dari penuturan ayahnya dan apa yang dilihat dan didengar sendiri tentang kehidupan para wali yang dikenal di masanya.
Kitab ini berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang diperkirakan ditulis pada masa munculnya Keraton Solo di abad 18. Jadi ada rentang 300 tahun dari kehidupan para wali. Di babad ini para wali dikisahkan lebih pada mistik dan kesaktian.
Patut diakui juga penulisan sejarah dalam kitab Walisana tentu tak lepas dari subjektivitas penulisnya. Setidaknya menurut tafsir Sunan Dalem dalam melihat sejarah. Termasuk menurut dia siapa saja yang pantas disebut wali.
Babad Jawa dalam kitab ini disusun dalam bentuk tembang Asmaradana, Sinom, Dhandhang Gula, Kinanti, Gambuh, Durma, Pangkur, Megatruh, Pucung dan narasi. Dibagi dalam beberapa pupuh.
Menurut Walisana jumlah wali ada delapan. Yaitu Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Ngudung, Sunan Giri, Sunan Makdum ing Benang, Sunan Alim ing Majagung, Sunan Mahmud ing Darajat, dan Sunan Kali sebagai pamungkas.
Ditegaskan, delapan orang inilah yang disebut walisana. Tegese dunungin wali. Artinya tempat para wali. Jadi dalam kitab ini walisana diartikan wali yang menguasai satu daerah. Sama dengan penjelasan R. Tanojo di atas.
Diterangkan pula walisana ini luhur derajatnya karena mendapat hidayah seperti Kanjeng Rasul. Di luar walisana masih ada ribuan wali yang disebut wali nukba. Artinya penerus wali.
Nama Orang Mataram
Kelompok wali nukba dijelaskan seperti Sunan Tembayat, Sunan Giri Prapen, Sunan Kudus, Sultan Syah Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu, Kewangga, Ki Gede Kenanga Pengging, Pangeran Konang, Pangeran Cirebon, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Sesela, Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga.
Termasuk disebut Ki Juru Martani, Ki Pamanahan, Ki Ageng Gribig, dan Sultan Agung sebagai pamungkas wali raja. Nama-nama yang disebut terakhir ini hidup di zaman Mataram. Apakah Sunan Giri II juga menyaksikan awal berdirinya Kerajaan Mataram hingga Sultan Agung?
Sunan Giri II atau nama aslinya Syeikh Maulana Zainal Abidin menggantikan ayahnya di Giri Kedaton mulai tahun 1506 hingga wafatnya 1545 M. Kerajaan Mataram berdiri tahun 1587 M. Sultan Agung memerintah mulai 1613-1645 M.
Jadi Sunan Giri II sudah tidak ada di zaman Mataram. Penulis de Graaf dalam buku Kerajaan Islam di Jawa menuturkan Sunan Giri II masih didatangi Sultan Pajang Hadiwijaya untuk minta legitimasi spiritual. Di zaman Mataram tidak lagi ada namanya disebut.
Karena itu masuknya nama orang-orang Mataram di Walisana diduga ada yang menambahkan. Apakah anaknya sendiri yaitu Sunan Prapen yang bergelar Sunan Giri III? Nama Sunan Prapen juga termasuk sebagai wali nukba dalam kitab ini.
Asal Keturunan
Kitab ini menuliskan asal usul para wali berasal dari Maulana Malik Ibrahim. Silsilahnya sambung hingga Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jadi masih keturunan Nabi Muhammad saw dari Fatimah, istri Ali bin Abi Thalib.
Sunan Ampel dan Sunan Gresik disebut anak Maulana Malik Ibrahim yang juga bernama Makdum Ibrahim Asmoro. Nama belakang ini merujukpada negara Samarkand yang menurut lidah Jawa disebut Asmorokondi.
Diterangkan Malik Ibrahim dari negerinya berdakwa ke Campa mengislamkan Prabu Kiyan. Kemudian menikah dengan putri kedua raja Ratna Dyah Siti Asmoro. Putri raja pertama, Dewi Sasmitapuri, kawin dengan Batara Majapahit di Jawa.
Dari pernikahan Malik Ibrahim ini lahir dua anak yaitu Raden Santri Ali (Sunan Gresik) dan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Setelah anaknya besar, ketiganya pergi ke Jawa menemui Batara Majapahit dan menetap di Gresik.
Dari kota sinilah dakwah Islam mulai disebarkan ke pedalaman Jawa dan kota-kota pesisir. Raden Rahmat, Raden Santri Ali, dan Raden Bureirah, sepupunya, lantas ke ibukota Trowulan untuk bekerja di istana. Oleh raja mereka diserahkan kepada Arya Lembusura, adipati muslim.
Setelah dewasa dan matang Raden Rahmat diberi tanah di Ampel Surabaya, Raden Santri menggantikan ayahnya Malik Ibrahim yang wafat dan dimakamkan di Gresik pada tahun 1419. Raden Bureirah mendapat tanah di Mojoagung. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto