PWMU.CO – Khatib Tunjuk Anu Jamaah. Adalah peristiwa lucu yang terjadi dalam sebuah ibadah yang serius, bahkan sakral: shalat Jumat—sering disebut Jumatan.
Dalam ibadah yang diselenggarakan sepekan sekali tiap hari Jumat itu, jamaah dilarang keras berbicara. Apalagi ketawa. Sebenarnya jamaah pun dilarang tidur—meski banyak yang melanggarnya.
Larangan-larangan itu berkaitan dengan nilai pahala. Yang melanggar akan kehilangan pahala. Di samping itu bisa menganggu yang lain.
Di forum itu, satu-satunya yang boleh berbicara hanyalah khatib—pemegang otoritas pada ritual itu. Hanya dia yang berhak memberi nasihat, dengan segala ekspresinya. Kadang dengan intonasi datar. Kadang meledak-ledak.
Tapi namanya juga manusia; sesekali terjadi peristiwa lucu dalam keseriusan ibadah itu. Mengutip sebuah lagu, khatib juga manusia; jamaahnya juga manusia.
Manusia kadang lupa. Sering teledor. Seperti tergambarkan dalam Jumatan di salah satu masjid di Surabaya ini—sengaja tak saya sebutkan namanya. Temasuk nama sang khatib. Tapi ini peristiwa nyata.
Jari Khatib Tunjuk Anu
Khatib yang satu ini memang khas. Posturnya tinggi besar. Ceramahnya berapi-api. Saat menyampaikan khutbah—juga ceramah lainnya—dia pun dikenal dengan ekspresinya.
Tubuhnya selalu digerakkan untuk memperkuat atau mengilustrasikan isi ceramah. Mimiknya sangat seirama dengan isi nasihat. Kalau serius, maka wajahnya kelihatan merah. Tapi sejurus kemudian berubah sumringah ketika konten ceramah jadi nyantai.
Bukan hanya wajah. Badannya juga selalu digerakkan. Nyaris dia diam hanya saat lima menit di awal dan akhir khutbah.
Lengannya juga demikian. Selalu dijulurkan-julurkan: ke kanan, ke kiri. Apalagi jari telunjuknya. Pasti menunjuk ke mana-mana.
Tapi kali ini aneh, jarinya lama menunjuk pada seorang jamaah yang mengikuti khutbah sambil mendekap kedua lutut—dan tertidur.
Terlihat kali ini ekspresi tubuh sang khatib tidak nyambung dengan materi khutbah. Mulutnya bicara A, lalu B dan X, eh … tapi telunjuknya masih tetap mengarah pada orang itu.
Karena suara khatib semakin kencang, dia pun terbangun. Jari khatib yang masih menunjuk ke arahnya membuat dia tersadar. Rupanya telunjuk khatib yang beberapa menit mengarah padanya adalah isyarat bahwa sarung dia terbuka.
Dan, ini masalahnya! Ternyata tak ada lagi kain yang dikenankannya selain sarung. Tak ada celana pendek atau celana dalam. Jadi, terlihatlah oleh khatib, maaf, anunya!
Segera saja dia rapatkan sarungnya. Untung, dalam Jumatan ada kaidah: jamaah dilarang berbicara atau tertawa. Kalau boleh, pasti sudah gerrr-gerrrrraaaan seisi masjid. He-he-he …! (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni. Dari kisah yang disampaikan oleh khatib senior, teman karib penulis.