Mohammad Nadjikh, Nama Membawa Harapan, kolom ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Bagi sebagian orang, nama itu tidak penting. Seperti kata William Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama.” Sehingga tidak sedikit orangtua yang memberi nama anaknya, sekadar penanda.
Kemis, misalnya. Untuk menandai bahwa anaknya lahir pada hari Kemis (Kamis). Atau Rekli, karena lahir pada Rebu Kliwon.
Tapi bagi sebagian lainnya, nama itu mengandung doa dan harapan. Ketika orangtua memberikan nama anaknya, sejatinya sedang berdoa dan berharap penuh optimisme agar kelak anaknya bisa menjadi seperti terkandung dalam namanya. Atau seperti orang yang diidolakan orangtuanya.
Bapak Munardjo dan Ibu Asnah, termasuk pengikut madzhab kedua. Anak sulungnya, dinamai Mohammad Nadjikh (terpuji dan sukses). Seperti kita tahu, nama Mohammad merujuk pada nabi akhir zaman, dan idola kaum muslimin semua.
Sedangkan Nadjikh, kabarnya merujuk pada KH Nadjih Ahjad, pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik, yang sangat diidolakan. Mereka berharap, anak sulungnya menjadi orang yang terpuji dan ahli ilmu agama.
Mengentas Desa Maling
Doa dan harapan itu tampaknya terkabul melalui jalan berbeda. Mohammad Nadjikh bukan sebagai ahli agama, tapi pebisnis sukses yang terpuji, karena bisa memberi manfaat kepada banyak orang melalui lapangan pekerjaan yang disediakan perusahaannya.
Sebagaimana sering diceritakan Pak Nur Cholis Huda—sepupu yang juga penasihat spiritual Pak Nadjikh—bahwa dulu, Desa Karangrejo, Kecamatan Manyar, mendapat julukan Desa Maling. Karena banyak maling yang tertangkap berasal dari desa tempat kelahiran almarhum ini.
Tapi menurut Pak Nur, mereka mencuri bukan karena jahat. Tapi karena kepepet. “Mereka orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Ketika Pak Nadjikh membuka usaha, mereka dijadikan karyawan. Akhirnya mereka punya penghasilan. Sehingga tidak ada lagi yang maling.”
Menyaksikan kesuksesan bisnis anaknya, Bu Asnah tampak sangat bahagia. Ia setiap pagi berdiri di pinggir jendela. Menyingkap sedikit korden, menatap ke jalan, sambil tersenyum, wajahnya bercahaya.
Awalnya kebiasaan itu tak diperhatikan. Namun akhirnya Pak Nadjih penasaran juga dan bertanya, “Mak, saben isuk teng pinggir cendela, mirsani napa?” Artinya, ibu tiap pagi di pinggir jendela melihat apa?
Ibunya pun menjawab dengan wajah berbunga-bunga. “Iku lho Nak, ibu senang sekali tiap pagi melihat orang berbondong-bondong berangkat kerja menuju pabrikmu,” ujar pria kelahiran 8 Juni 1962 tersebut menirukan jawaban ibunya.
Ketua Majelis Ekonomi
Tak diragukan lagi, suami dari Titik Widajati ini secara kultural sudah menjadi Muhammadiyah sejak kecil bahkan ketika masih di dalam kandungan. Karena kedua orangtuanya adalah aktivis ormas Islam bersimbol matahari itu di desanya. Bahkan, rumahnya kerap ditempati kegiatan Persyarikatan.
Namun secara struktural, keterlibatan ayah dari empat anak tersebut, baru dimulai akhir 2005. Yakni ketika Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur periode 2005-2010 menyusun ketua dan anggota unsur pembantu pimpinan (UPP) tingkat wilayah.
Waktu itu Ketua PWM Jatim dijabat Prof Syafiq A. Mughni dan saya sekretarisnya. Nama Mohammad Nadjikh diusulkan oleh Wakil Ketua PWM Jatim, Prof Muhadjir Effendy, sebagai Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK).
“Dia pengusaha besar, yang berangkat dari bawah,” ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu memberikan alasan kepada saya, di ruang rektor. “Beliau masih saudara sepupu dengan Pak Nur Cholis Huda,” imbuhnya.
Setelah dibahas dan disetujui dalam rapat PWM, lantas saya urus persyaratan administratifnya, mulai dari surat kesediaan, hingga kelengkapan administratif lainnya, termasuk nomer bakunya (NBM).
Sosok yang Berbeda
Kali pertama hadir dalam rapat PWM, saya melihat sosoknya beda dengan aktivis Muhammadiyah pada umumnya. Bicaranya singkat. Tanpa teori yang rumit, tapi langsung aksi dan eksekusi. Setiap ada peluang bisnis, segera ditindaklanjuti dengan berani.
Soal BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah) Jawa Timur misalnya. Sebelum periode kepemimpinan Prof Syafiq, PWM Jatim sebenarnya sudah memiliki unit usaha ekonomi. Namanya PT Daya Matahari. Tapi lama tidak berkembang. Kemungkinan karena tidak ada pengambil keputusan yang benar-benar berani mengambil resiko bisnis.
Saat beliau sebagai Ketua MEK periode 2005-2010 itulah, Badan Usaha Ekonomi Muhammadiyah (BUMM) Jawa Timur mulai terkonsolidasi dengan baik manajemen usaha bisnisnya.
Kemudian mendirikan PT. Daya Matahari Utama (DMU). Beberapa majelis dan amal usaha digandeng, terutama Majelis Dikdasmen dan Kesehatan, berikut amal usaha yang berada dalam pembinaannya.
Dengan dukungan semua pihak, akhirnya PT DMU berkembang bagus dan menjadi contoh sukses bisnis Muhammadiyah secara nasional. PT DMU yang semula bermarkas di Jalan Kertomenanggal III/3, Surabaya, kini menempati gedung Muhammadiyah Business Center (MBC), di Jalan Ahmad Yani Frontage Road No. 151, Surabaya.
Gedung ruko tiga kampling berlantai tiga, itu diresmikan penggunannya oleh Prof Din Syamsuddin yang saat itu sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagian dana untuk membeli gedung tersebut berasal dari tukar guling tanah PWM Jatim di Wisma Bungurasih, Sidoarjo, dan dana DMU.
Masuk 13 Anggota PWM Jatim
Bukan hanya PT DMU. Beliau bersama kolega di MEK PWM juga turut membenahi manajemen usaha ekonomi yang dimiliki Muhammadiyah di beberapa daerah, yang salah manajemen. Salah satunya di Ponorogo, hingga berhasil mendirikan BPR Syariah di Kota Reog tersebut.
Setelah dianggap sukses menggerakkan usaha yang selama ini agak terabaikan di Muhammadiyah, jabatan beliau sebagai Ketua MEK PWM Jatim dikukuhkan kembali pada periode kepemimpinan Muhammadiyah Jatim diketuai Prof Thohir Luth, dan saya sekretarisnya (2010-2015).
Dalam Musywil di Umsida akhir 2015, untuk memilih anggota PWM Jatim periode 2015-2020, beliau masuk 13 pimpinan terpilih, dengan jabatan wakil ketua yang membidangi ekonomi.
Pada periode yang sama, juga mendapat amanah sebagai Ketua MEK Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sehingga kian luas keterlibatannya di Muhammadiyah. Banyak kesaksian yang menunjukkan keseriusan beliau dalam membenahi dan menggerakkan bidang yang selama ini agak terabaikan di lingkungan Persyarikatan.
Naluri Bisnis dan Karakter Pengusaha
Naluri bisnis Mohammad Nadjikh dikenal sangat kuat dan tajam. Di mana pun ada peluang untuk mengembangkan usaha bisnisnya, cepat ditangkap dan diwujudkan. Lebih dari itu kalau dia sudah berazam, seolah harus bisa jadi kenyataan.
Salah satu contohnya ketika PWM Jatim turba ke Pulau Sapeken, Sumenep pada akhir Maret 2012. Rombongan yang dipimpin Prof Thohir Luth, itu diikuti antara lain Wakil Ketua Nur Cholis Huda, Wakil Sekretaris Tamhid Masyhudi, Ketua Majelis Ekonomi Mohammad Nadjikh, plus dari majelis lain dan unsur PWA Jatim.
Dalam sesi dialog, ada peserta yang melaporkan bahwa mata pencaharian masyarakat Sapeken mayoritas nelayan. Tangkapan ikan, dan rajungan sangat banyak di pulau ini. Tapi kesulitan memasarkan. Sehingga harganya murah. Harapannya, Muhammadiyah bisa memberikan solusi.
Berbeda dengan aktivis lainnya yang berhenti di diskusi. Beliau langsung menindaklanjuti dengan aksi. Tidak lama kemudian berdirilah pabrik pengelolaan ikan berbendera PT KML, di pulau yang tidak semua penduduknya bisa berbahasa Madura itu.
Demikian halnya, ketika diberitahu bahwa bisnis ke depan yang akan menjadi primadona adalah pertanian, begitu dapat informasi ada lahan perkebunan yang luas di Blitar, akan dijual, beliau langsung mengajak beberapa koleganya untuk membeli lahan perkebunan tersebut.
Itulah gambaran selintas betapa kuat dan tajamnya naluri bisnis beliau. Tentu masih banyak contoh yang lainnya lagi.
Bantu Fresh Money
Karakter pengusaha pada umumnya, jarang mengeluarkan uang secara tunai, baik karena alasan tidak punya fresh money maupun pertimbangan bisnis untung rugi. Kecuali pengusaha tertentu saja. Sisi ini yang kerap disalahpahami oleh sebagian aktivis yang awam dengan dunia bisnis.
Sebagian aktivis mengira kalau pengusaha punya banyak uang, lantas gampang dimintai sumbangan berupa uang. Padahal pengusaha biasanya lebih suka membantu barang. Apalagi jika yang dibantu mau memasarkan. Akibatnya, banyak aktivis kecewa ketika mengajukan bantuan dana ke pengusaha.
Dengan almarhum, saya punya pengalaman istimewa. Dua kali dibantu uang tunai meski hanya mengajukan via WA. Yakni ketika PWM hendak mengaktifkan kembali club sepak bola HW dan sewaktu menggalang dana untuk pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia, yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Ubah Gaya Muhammadiyah
Keterlibatan Mohammad Nadjikh dalam unsur pembantu pimpinan PWM Jatim, tak pelak turut mewarnai gaya penampilan PWM Jatim. Cara pandang pengusaha yang sangat memperhatikan aspek penampilan, merasa tidak nyaman dengan kendaraan yang dipakai Ketua PWM Jatim.
Ketika itu, PWM hanya memiliki satu kendaraan, berupa mobil kijang, yang dibeli pada akhir kepemimpinan Prof Fasichul Lisan (periode 2000-2005), dari hasil urunan PWM, UMM, dan seorang dermawan di Jakarta.
Pada kepemimpinan berikutnya, mobil digunakan untuk operasional ketua yang baru, Prof Syafiq A. Mughni. Melihat Ketua PWM Jatim memakai mobil kijang lama, Nadjikh merasa tidak nyaman. Mobil tersebut dinilai tidak representatif untuk pemimpin umat sekelas ketua PWM.
Kemudian ia mengajak beberapa kolega sesama pengusaha, seperti Pak Sulthon Amien, Pak Sugeng, Pak Masfuk dan lainnya, untuk urunan beli mobil baru. Tak lama kemudian, datanglah mobil Toyota Camry, dengan plat L 1 MH. Dampaknya setelah itu memang beda, terutama bagi lingkungan eksternalnya.
Piwai Galang Dukungan
Dari cerita tersebut, kita bisa melihat sisi lain dari kehebatan almarhum adalah kemampuannya dalam meyakinkan orang untuk diajak bersama-sama menyelesaikan suatu persoalan. Dalam kasus pengadaan mobil PWM misalnya, saya yakin beliau mampu membelikan secara pribadi. Tapi ia ajak koleganya untuk terlibat mengatasi masalah secara bersama-sama.
Sebagai pengusaha besar, ia memang punya wibawa yang efektif untuk memobilisasi penggalangan dana secara gotong-royong guna mendukung kepentingan dakwah. Tindakan itu sekaligus menyiratkan pesan bahwa organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini perlu memperbanyak kader pengusaha, untuk diajak bersinergi memfasilitasi kiprah dakwah.
Sejak periode sebelumnya, PWM Jatim sudah dan terus membangun sinergi dengan pimpinan amal usaha se-Jatim. Ditambah sinergi dengan pengusaha, maka pengaruh dari manajemen gotong royong amal usaha dan para pengusaha membuat PWM Jatim di-“iri” oleh beberapa PWM lainnya, termasuk Pmpinan Pusat Muhammadiyah.
Ketika ada acara-acara nasional misalnya, PWM Jatim kerap mengutus peserta melebihi kuota, dengan tujuan untuk menggembirakan semua. Mereka dijemput dan dijamu konsumsi serta akomodasinya oleh pengusaha Jatim yang memiliki usaha di kota tempat acara. Sehingga tidak membebani peserta. Hal itu tidak terjadi pada PWM lainnya.
Sehingga sempat ada panitia kegiatan nasional yang salah paham. Dikira PWM Jatim sombong, tidak mau menggunakan jatah fasilitas dari panitia, karena kurang mewah. Padahal, maksudnya untuk meringankan panitia dan menggembirakan utusannya. Sekaligus memberi bukti bahwa jika dapat menggalang sinergi dengan amal usaha dan pengusaha, hasilnya bisa bermuhammadiyah dengan gembira.
Berutang Janji
Sekitar lima tahun lalu, almarhum pernah bilang kepada saya, jika pedagang kecil yang jualan di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah mau jualan produknya, akan dilatih berdagang yang benar. Difasilitasi rombongnya dan dibantu mencarikan distributor-distributor besar untuk barang lain yang diperlukan.
Beberapa perguruan Muhammadiyah di Surabaya, Gresik, dan Lamongan sempat saya ajak ngomong soal ini, tapi kurang respon. Mungkin saya salah dalam menjelaskan, atau yang saya ajak omong bukan orang yang pandai menangkap peluang. Ringkasnya hingga beliau wafat belum terealisasikan.
Kita berharap generasi penerus Kelola Group mau mewujudkannya: meneruskan semangat sosial almarhum, yang selalu ingin bermanfaat sebesar-besarnya buat orang lain. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Kolom ini adalah salah satu tulisan dalam buku Mohammad Nadjikh Penggerak Saudagar Muhammadiyah (Hikmah Press, Agustus 2020).