AR Sutan Mansur Ideolog Muhammadiyah, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, pengamat masalah sosial politik; tinggal d Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Di Muhammadiyah, posisi dan prestasi AR Sutan Mansur termasuk istimewa. Perhatikan sekadar sebagian jejaknya, berikut ini:
Pertama, murid sekaligus menantu Dr Karim Amrullah ini dijuluki sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera oleh Konsul-Konsul daerah lain di Sumatera.
Kedua, ulama yang berkenalan dengan KH Ahmad Dahlan di Pekalongan ini, sukses merintis Muhammadiyah di banyak daerah seperti di Medan, Aceh, Banjarmasin, dan beberapa daerah lain di luar Jawa.
Ketiga, ketika Bung Karno diasingkan di Bengkulu pada 1938, kakak ipar Buya Hamka ini menjadi penasihat agamanya.
Keempat, Sutan Mansur memiliki ilmu yang luas. Beliau juga punya pengalaman hidup sebagai mujahid dakwah yang panjang.
Atas berbagai teladannya, patut kita berguru kepada Suan Mansur. Terhadap banyak langkah dakwahnya yang cemerlang, layak kita mengikutinya. Untuk itu, berbagai kisahnya yang menggugah penting kita baca.
Terkait hal di atas, sekadar menyebut sebagian sumber, sekilas biografi Sutan Mansur ada di Ensiklopedi Muhammadiyah (2015: h. 748-753). Riwayat hidupnya ada juga di Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah (Ramly dan Sucipto, 2010: h.119-131).
Tegas dan Berani
Nama lengkapnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Nama itu sering ditulis AR Sutan Mansur. Lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 15 Desember 1895. Orangtuanya, pasangan Abdul Somad Al-Kusaij dan Siti Abbasiyah, tokoh dan guru agama di kampung Ai Angek (Air Hangat), Maninjau. Bahkan, si ayah tergolong ulama terkenal di daerah itu.
Awal sekali Sutan Mansur memeroleh pendidikan agama dari kedua orangtuanya. Kemudian, untuk pengetahuan umum dia belajar di Inlandshe School (IS) pada 1902-1909. Setamat dari IS, Sutan Mansur berkesempatan mendapat beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah di Kweekschool. Lembaga yang disebut terakhir adalah Sekolah Guru, juga biasa disebut Sekolah Raja dan terletak di Bukittinggi.
Peluang itu ditolak oleh Sutan Mansur. Hal ini karena dia lebih suka memelajari agama. Kecuali itu, dia pun punya sikap anti-penjajah. Baginya, penjajahan sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Juga, penjajah sering mempersempit syiar Islam. Sikapnya yang kritis ini, terlihat sejak dia belia.
Pada 1928 dia berada di barisan depan dalam menentang pemerintah Belanda yang menjalankan peraturan Guru Ordonansi. Lewat peraturan itu, guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda.
Dalam pandangan Sutan Mansur, peraturan itu akan melenyapkan kebebasan mensyiarkan Islam. Tak hanya itu, lewat peraturan itu pemerintah Belanda hanya akan memakai ulama-ulama atau guru-guru yang tidak mempunyai pendirian hidup yang teguh.
Ketegasan sikap dan keberanian juga diperlihatkan Sutan Mansur saat penjajah berganti. Kala itu, Jepang berusaha agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan shalat. Cara yang dipilih Jepang, dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Lincah Bergerak
Dalam riwayat kependidikannya, Sutan Mansur pernah belajar kepada Dr Abdul Karim Amrullah—yang kerap disapa Haji Rasul. Seorang pembaharu Islam di Minangkabau.
Di bawah bimbingan ayah Hamka itu, pada 1910-1917 Sutan Mansur belajar al-Quran, tafsir, hadis, tauhid, bahasa Arab, kalam, mantik, tarikh, tasawuf, dan lain-lain.
Pada 1917 Sutan Mansur diambil menantu oleh gurunya. Oleh Dr Karim Amrullah, Sutan Mansur dinikahkan dengan Fatimah, putri sulungnya. Lalu, pada 1918-1919, dia dikirim oleh sang guru ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah dua tahun, dia kembali ke Maninjau.
Sutan Mansur punya keinginan besar menambah ilmu ke Al-Azhar, Mesir. Sayang, situasi politik di dalam negeri Mesir tak kondusif. Pemerintah kolonial Belanda tak mengizinkan Sutan Mansur berangkat.
Selanjutnya, Sutan Mansur ke Pekalongan. Di sana, dia berdagang dan menjadi guru agama. Muridnya, para perantau dari Sumatera dan kaum Muslimin lainnya.
Di Pekalongan, Sutan Mansur berkenalan dan aktif berinteraksi dengan KH Ahmad Dahlan yang sering datang bertabligh. Dia tertarik dengan Muhammadiyah yang dikenalkan Ahmad Dahlan karena ide yang dikembangkannya sama dengan ide gerakan pembaharuan di Sumatera Barat.
Ide itu, intinya, agar umat Islam kembali kepada ajaran tauhid sesuai ajaran Rasulullah Saw. Caranya, dengan membersihkan agama dari pengaruh adat dan tradisi yang terbukti telah membuat umat Islam terbelakang dan tertinggal. Pendek kata, ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai teladan Muhammad SAW.
Dari interaksi itu, Sutan Mansur lalu bergabung dengan Muhammadiyah pada 1922. Sebagai siasat, pada awalnya dipakailah Nurul Islam sebagai nama perkumpulan. Pada 1923, Sutan Mansur menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan, setelah ketua pertamanya mengundurkan diri karena tidak tahan menerima serangan dari pihak-pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah.
Saat Sutan Mansur di Pekalongan ada fragmen lain yang menarik. Hamka, sang adik ipar, pada sekitar 1924 datang. Tujuannya, silaturrahim dan belajar agama. Di kota itu Hamka diperkenalkan dengan banyak tokoh Islam sekaligus pergerakan, antara lain dengan Mohammad Roem. Hamka kembali ke Padang Panjang pada 1925.
Ketika terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dengan orang-orang komunis di Minangkabau pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus Pengurus Besar (PB)—kini Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhammadiyah yang mulai tumbuh di Minangkabau.
Berkat gaya kepemimpinannya yang luwes—terutama terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat—Muhammadiyah dapat diterima dengan baik. Akibatnya, Muhammadiyah berkembang pesat.
Bersama Fakhruddin dan Hamka, pada 1927 Sutan Mansur melakukan tabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh. Lewat pendekatannya yang luwes ke pemimpin-pemimpin yang berpengaruh di daerah setempat, Muhammadiyah dapat didirikan di Kotaraja, Sigli, dan Lhokseumawe.
Berikutnya, pada sekitar 1929, Sutan Mansur pun berhasil mendirikan Muhammadiyah di Banjarmasin dan beberapa daerah lain di Kalimantan.
Berbagai Peran
Muktamar Muhammadiyah di Minangkabau yang berlangsung 14-26 Maret 1930, memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil PB Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.
Terkait itu, pada 1930 Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau, Tapanuli, dan Riau. Posisi itu dijabatnya hingga 1944. Bahkan, sejak masuknya Jepang, Sutan Mansur diangkat oleh PP Muhammadiyah menjadi Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera dan Jawa.
Sebagai Konsul Besar Muhammadiyah, Sutan Mansur membuka dan memimpin Kulliyah al-Muballighin Muhammadiyah di Padang Panjang, tempat membina muballigh tingkat atas. Di sini, dididik dan digembleng kader Muhammadiyah dan kader Islam yang bertugas menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar.
Kelak, muballigh-muballigh ini akan memainkan peran penting bersama-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan Muhammadiyah. Atas perannya yang besar, Sutan Mansur dijuluki sebagai Imam Muhammadiyah Sumatera oleh Konsul-Konsul daerah lain di Sumatera.
Ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938, Sutan Mansur menjadi penasihat agamanya. Lalu, pada masa pendudukan Jepang, dia diangkat menjadi anggota dari semacam DPR mewakili Sumatera Barat.
Pada 1947—1949, oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta, Sutan Mansur diangkat menjadi Imam atau Guru Agama Islam untuk Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera berkedudukan di Bukittinggi dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
Setelah pengakuan kedaulatan pada 1950, Sutan Mansur diminta menjadi Penasihat TNI Angkatan Darat dan harus berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Namun, permintaan itu dia tolak karena Sutan Mansur harus berkeliling ke semua daerah di Sumatera untuk bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.
Pada 1952, Presiden Soekarno memintanya lagi menjadi penasihat Presiden dengan syarat harus pindah dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu juga ditolaknya. Sutan Mansur hanya bersedia menjadi penasihat tidak resmi sehingga tidak harus pindah ke Jakarta.
Capaian Prestasi
Sutan Mansur terpilih sebagai Ketua PB Muhammadiyah dalam dua kali periode. Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto pada 1953 mengukuhkannya sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1953-1956.
Untuk itu, dia harus pindah ke Yogyakarta. Di Muktamar Muhammadiyah pada 1956 di Palembang dia terpilih lagi menjadi Ketua PB Muhammadiyah periode 1956-1959.
Pada masa kepemimpinannya, upaya pemulihan ruh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan.
Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid.
Kedua, mengusahakan buq’ah mubarakah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Quran, mengaji Al-Quran untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah Senin dan Kamis.
Juga melatih puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW, dan tetap menghidupkan takwa. Selain itu, juga diupayakan hubungan silaturrahim atau kontak-kontak yang lebih luas antara pemimpin dan anggota di semua tingkatan.
Saat Sutan Mansur memimpin pada 1956-1959, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah. Khittah—tujuh poin—itu populer sebagai Khittah Palembang. Di butir (5), misalnya, disebutkan; Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
Tabligh Berbuah Buku
Sutan Mansur juga dikenal sebagai penulis produktif. Di antara karyanya, ada yang berjudul Jihad, Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim, dan Ruh Islam.
Lewat buku-bukunya, terlihat Sutan Mansur, “Berupaya menguraikan doktrin-doktrin Islam secara sistimatis dan mengaitkannya dengan tauhid melalui pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan al-Quran dan Hadits.” (Ramly dan Sucipto: 2010, h. 130).
Sekarang, kita cermati buku Jihad. Bahwa, di saat menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Sutan Mansur yang berdomisili di Yogyakarta mengadakan safari dakwah ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Di sana, untuk berapa lama beliau mengadakan serangkaian kursus bertema jihad kepada warga Muhammadiyah.
Naskah kursus jihad itu dihimpun oleh pimpinan Muhammadiyah Kalimantan Selatan dan disimpan. Sebagai arsip, naskah itu berharga.
Atas hal ini—agar materi penting tersebut bisa tersiar lebih luas—Penerbit Panji Masyarakat lalu mengambil inisiatif. Langkah yang ditempuhnya, meminta kesediaan Sutan Mansur agar naskah tersebut bisa diterbitkan dalam bentuk buku. Atas niat baik itu, Sutan Mansur mengabulkannya.
Berikut ini penjelasan Panji Masyarakat, di Kata Pengantar buku yang terbit kali pertama di 1982 itu. Bahwa, buku itu layak diterbitkan karena; Pertama, untuk mengabadikan karya seorang pengarang sekaligus pemimpin Muhammadiyah.
Kedua, untuk menjernihkan pengertian jihad. Hal ini, karena terasa di tengah-tengah masyarakat, makna jihad makin kabur. Misalnya, sering orang hanya memaknai jihad sebagai perang. Bahkan, jihad yang bersumber dari wahyu Allah dipersempit maknanya menjadi semacam makar dan tindakan-tindakan kriminal.
Akibatnya, kata suci jihad menimbulkan ketakutan. Bahkan, mungkin lambat laun kata itu akan hilang begitu saja dari diri kaum Muslimin bersamaan dengan terhapusnya ruh yang benar atas jihad.
Dengan tersiarnya buku Jihad karya Sutan Mansur—selain kita diingatkan pada makna jihad yang benar—juga dibangkitkan spirit jihad yaitu untuk bersungguh-sungguh dalam menegakkan agama Islam demi kesejahteraan lahir dan batin, dunia-akhirat.
Erat Melekat
Ahmad Rasyid Sutan Mansur wafat pada 25 Maret 1985, dalam usia 90 tahun. Banyak yang bisa dikenang atas pribadinya. Almarhum dikenal berwawasan luas dan ketokohannya juga diakui oleh kalangan di luar Muhammadiyah.
Predikatnya banyak: ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan. Buya Hamka menyebut Sutan Mansur sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. (*)
AR Sutan Mansur Ideolog Muhammadiyah; Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel AR Sutan Mansur Ideolog Muhammadiyah ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 52 Tahun ke-XXIV, 28 Agustus 2020/9 Muharam 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.