
PWMU.CO – Haedar Nashir: Pendidikan Akal Budi Harus Jadi Dasar. Yang basisnya adalah iman, takwa, dan akhlakul karimah. Jangan terjebak pada paradigma teknologis dan instrumental.
Demikian pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam Education Webinar Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Kamis (27/8/20). Bertema Pembelajaran Jarak Jauh Ramah Kuota, kegiatan virtual via Zoom itu diikuti lebih dari 300 peserta.
Berpijak pada Bumi Sosiologis
Menurut Haedar, pandemi mengajarkan pada manusia, jika banyak hal yang rapuh dalam dirinya. Termasuk dalam keluarga, pola asuh, pemerintah, dan institusi pendidikan yang selama ini bangga dengan kemampuan teknologi informasi (IT). “Ternyata memang, IT ini harus berpijak dalam bumi sosiologis masyarakatnya, dan dia tidak boleh jauh dari dunianya,” ungkap Haedar.
Aspek sosiologis yang dimaksud Haedar adalah masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masih dalam keterbatasan. “Banyak yang belum beradaptasi dengan kemampuan teknologi. Termasuk juga dalam keterbatasan yang bersifat ekonomi,” tuturnya sambil menyebut banyak keluarga yang masih kesusahan dalam keperluan sehari-harinya.
Maka, kata Haedar, di tengah situasi pandemi seperti ini, dunia pendidikan lebih-lebih persoalannya tidak sekadar masalah IT atau konsep kemerdekaan belajar yang bersifat instrumental. “Bukan hanya melihat pendidikan dengan subjek didiknya yang berkorelasi dengan IT, perusahaan, atau berdaya guna. Tetapi manusia dan tugas pendidikan itu memiliki hal mendasar, yakni akal budi,” ungkap Haedar.
Haedar mengatakan, pendidikan di manapun, di negara semaju apapun, yang menjadi dasarnya adalah akal budi. “Pendidikan yang mencoba mencerahkan akal budi manusia, sehingga menjadi manusia yang tidak hanya berilmu tetapi juga beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Sehingga menjadi manusia yang utuh,” terangnya.
Dasar Pendidikan adalah Akal Budi
Kemampuan-kemampuan teknologis dan instrumental, sambung Haedar, bisa dipelajari. Tetapi belajar hidup itu perlu aktualisasi yang panjang. “Inilah yang semestinya pendidikan nasional tidak boleh keluar dari koridornya. Kemampuan link and match dan kemampuan teknologis itu hanya sekoci,” pesan dia.
Orientasi tertentu pada sebuah fase, lanjut Haedar, ada konteks yang memerlukan penekanan. Tetapi dasar dari mendidik itu ada di UU No 20 tahun 2003. “Yakni mendidik karakter manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa berkepribadian mulia, sekaligus cerdas, berilmu, dan berkeahlian. Saya pikir dasar ini harus tetap,” tambahnya.
Haedar menyatakan, pergantian rezim pemerintahan ataupun menteri pendidikan itu hanya bersifat orientasi kebijakan. Tetapi dasarnya adalah pada undang-undang yang muaranya pada usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. “Dan, Muhammadiyah harus tetap konsisten pada dasar pendidikan yang seperti itu,” ungkap dia.
Dia juga menjelaskan, seperti kata Ivan Illich, pendidikan harus tetap berakar pada memanusiakan-manusia. “Termasuk juga mengembalikan manusia pada kulturnya sebagai manusia yang berinteraksi dengan sesama dan alamnya. Serta dia bisa hidup di setiap situasi dan zamannya. Pendidikan Islam juga punya konsep seperti itu,” kata Haedar.
Paradigma IT
Pada kesempatan itu, Haedar juga memberi pesan pada para peserta, agar jangan sampai lupa juga pada paradigma di balik IT. “Bahwa IT hanya instrumen dari paradigma pendidikan yang maju, tetapi tetap berbasis pada pendidikan akal budi. Ini menjadi penting menjadi perhatian bagi kita agar kita tidak larut,” paparnya.
Pendidikan, sambung dia, juga harus mampu menumbuhkan benih-benih kecerdasan seperti itu. Tetapi tetap tumpuannya pada kemampuan dasar, yakni akal budi yang berbasis iman, takwa, dan akhlakul karimah.
Dia juga berharap, para guru di lingkungan Muhammadiyah tetap banyak belajar dan tidak merasa panik di situasi pandemi. “Karena biasanya pikiran-pikiran brilian itu muncul di tengah gelombang masalah seperti pandemi seperti saat ini. Cuma juga harus ada kemampuan reflektif kita untuk melahirkan inovasi,” ungkapnya.
Haedar mengatakan, meski Muhammadiyah sudah satu abad lebih menjadi pelopor pendidikan nasional, namun para stakeholder-nya tetap diminta rendah hati untuk belajar.
“Tetap rendah hati dan belajar pada inovasi-inovasi kreatif yang dilakukan kelompok-kelompok kecil, yang banyak menggagas dengan diksi-diksi baru yang menarik dan disenangi anak-anak muda,” harapnya.
Dia berpesan, agar para guru dan kepala sekolah Muhammadiyah tetap kreatif dan tidak boleh gagap di tengah situasi pandemi seperti saat ini.
“Dari metodologi dan perspektif pendidikan, kita harus terus menyegarkan. Guru-guru juga harus memberi harapan, bukan hanya pada anak-anak tetapi juga pada dunia yang sedang mengalami pandemi psikososial. Harus ada harapan, jika sesudah kesulitan ada kemudahan,” kata Haedar Nashir. (*)
Haedar Nashir: Pendidikan Akal Budi Harus Jadi Dasar; Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post