PWMU.CO– Ibnu Sori. Nama lengkapnya Abdulrahman Ibrahim bin Sori. Selama 40 tahun hidup dalam perbudakan di perkebunan Natchez, Mississippi, AS milik Thomas Foster.
Abdulrahman Ibrahim bin Sori sebenarnya pangeran dari Timbo, putra Raja Futa Djalon, Guini, Afrika. Saat umur 26 tahun diculik oleh pasukan musuh tahun 1788. Dijual ke pedagang budak dengan barter senapan dan rum.
Ibnu Sori, menjadi budak muslim remaja berpendidikan, bisa bahasa Arab, menguasai al-Quran saat sekolah di Timbuktu. Saat dipaksa menjadi budak dan bekerja kasar, Ibnu Sori melawan.
Dia menyebutkan bahwa dia pangeran. Malah jadi bahan tertawaan. Akhirnya nama Pangeran menjadi julukannya untuk mengejek. Setelah sempat lari, akhirnya dia menyadari realitas bahwa dia sekarang budak yang hidup jauh dari kampung halamannya.
Dia kembali kepada majikannya. Dengan pengetahuannya dia membantu menanam kapas. Foster sukses sebagai produsen kapas. Ibnu Sori diangkat menjadi mandor. Lalu menikah dengan Isabela, seorang bidan yang jadi budak di perkebunan itu. Dia punya delapan anak.
Pertemuan yang Mengubah Hidup
Tahun 1807, dia bertemu dengan dokter ahli bedah Inggris John Cox di pasar tempat dia berjualan sayur. Dua puluh tahun lalu dokter ini pernah terdampar di pantai Afrika Barat.
Dia diselamatkan orang-orang Timbo lantas dirawat di rumah Raja Futa Djalon selama enam bulan. Dari sini terjalin pertemanan yang akrab dengan keluarganya. Cox pun mengenal sang Pangeran yang cerdas.
Mendengar nasib sang Pangeran jadi budak di Amerika, Cox berniat membeli kemerdekaannya. Foster menolak karena budaknya ini menguntungkan. Dia punya pengetahuan tentang kapas dan kepintaran mengelola kebun.
Tapi pertemuan dengan Cox ini menjadi kisah fantastik yang cepat menyebar di Mississippi. Orang membicarakan nasib tragis sang Pangeran dari Afrika itu.
Wartawan Andrew Marschalk menulis kisahnya. Karena pandai berbahasa Arab, Marschalk mengira sang Pangeran ini sebagai bangsa Moor, Maroko, yang sangat terkenal di Amerika.
Berita ini membawa keuntungan bagi Ibnu Sori. Lewat wartawan ini dia minta mengirimkan surat Sultan Maroko agar bisa pulang ke Afrika. Surat itu dikirimkan Marschalk ke Konsulat Amerika Serikat di Tangier, Maroko.
Dampaknya luar biasa. Menteri Luar Negeri AS Henry Clay khawatir peristiwa ini memperburuk hubungan diplomatik dengan Maroko. Menteri Clay mengatur pembebasan dia pada 22 Februari 1828.
Karena menjadi urusan negara, Foster tak bisa mengelak. Dia sepakat dengan pembebasan sang Pangeran saja tanpa anak istrinya. Dia juga diangkut langsung ke Afrika tanpa hak istimewa seorang pria bebas Amerika Serikat.
Kampanye Membebaskan Anak istri
Ibnu Sori bertekad membawa keluarganya. Dalam perjalanan ke Washington DC, banyak wartawan menulis kisahnya hingga dia menjadi sangat terkenal. Budak pandai membaca, menulis, bahasa Arab, Inggris, dan seorang orator.
Dia tampil sebagai pangeran muslim Afrika berpidato di kota-kota tempat dia singgah. Dia memakai pakaian bangsawan Moor pemberian Marschalk.
Dia pidato untuk pembebasan anak istrinya. Banyak orang bersimpati dan menyumbang dana. Dia juga meminta dana ke Presiden John Quincy Adams tapi ditolak.
Kisahnya menarik perhatian Thomas H Gallaudet, pendiri American School for the Deaf. Dia juga anggota American Colonization Society yang melihat Ibnu Sori sebagai kesempatan untuk menyebarkan agama Kristen ke Afrika.
Dia ikut menyumbang dengan minta tolong menulis kalimat Dengan nama Allah Bapa, ruhul Kudus dan Tuhan Yesus dalam bahasa Arab. Permintaan itu dipenuhi. Dia tuliskan kalimatArab dalam sebuah kertas.
Jadi Komoditas Politik
Kasus Ibnu Sori ternyata juga berpengaruh pada politik perbudakan di parlemen yang disuarakan agar dihapus terutama di wilayah utara. Tapi usulan itu ditentang pemilik perkebunan di selatan.
Pada masa itu, Andrew Jackson mempersiapkan pencalonan presiden melawan John Quincy Adams. Dia menggunakan kasus Ibnu Sori sebagai alat kampanye, mengejek Adams atas dukungannya.
Situasi politik itu malah tidak menguntungkan Ibnu Sori. Foster mengetahui upaya Ibnu Sori untuk membebaskan anak-anaknya, malah mengancam akan mencabut kebebasannya.
Wartawan Marschalk juga tak ingin terlibat jauh lagi. Sementara Ibnu Sori baru punya setengah dana yang dibutuhkan untuk membebaskan anak-istrinya.
Akhirnya dia berlayar ke Afrika. Dia tiba di Monrovia, Liberia, pada bulan Maret 1829. Pertama yang dia lakukan membuka sajadah dan bersujud.
Tapi kondisinya sakit dan lemah karena perjalanan. Dia menderita demam. Empat bulan kemudian meninggal pada usia 67 tahun. Dia tidak pernah kembali ke Futa Djalon atau melihat anak-anaknya lagi di Mississippi.
Thomas H Gallaudet beberapa tahun setelah kematian Ibnu Sori baru mengetahui tulisan Arab yang dimintanya itu ternyata petikan surat al-Fatihah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto