H Achmad Djauhar Arifin, Peduli dan Rajin Berbagi ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Tahun 2020 ini seolah menjadi tahun duka bagi Muhammadiyah. Sejumlah tokoh dengan profesi berbeda, yang berkontribusi besar bagi dakwah Islam berkemajuan ini meninggal secara tiba-tiba.
Dari jajaran pengusaha, setelah Mohammad Nadjikh, pemilik dan CEO Kelola Group, wafat pada 17 April 2020, menyusul kemudian H Achmad Djauhar Arifin, pendiri dan Chairman Polowijo Group yang wafat di Surabaya (26/7/2020).
Warisi Bakat Bisnis Ayahnya
Pria kelahiran Gresik, 18 November 1951, ini putera kedua dari pasangan H Sjamsoel Hadie dan Hj Romlah. Anak pertama, Achmad Moedhar Syah (wafat 2012). Sjamsoel merupakan anak dari H Abdoel Moein, seorang pedagang keturunan dari Kudus yang merantau ke Kadipaten Sidayu pada akhir kerajaan Demak.
Syamsoel mewarisi bakat bisnis ayahnya. Sama-sama menjalankan bisnis palawija, seperti kacang tanah, jagung hingga gamplek. “Jadi seperti mengikuti kurva S. Ayah saya belajar bisnis dari kakek. Lalu kakak saya mewarisi usaha dari ayah, dan saya dididik bisnis oleh kakak, sebelum akhirnya saya terbang sendiri,” ucap Arifin mengisahkan riwayat awal bisnisnya.
Arifin kecil memperoleh tempaan keras dari orangtuanya. Dia dididik oleh sang ayah untuk disiplin, menghargai waktu dan komitmen, mandiri dan berani menentang arus. Ketika pada awal 1970-an, dia menyaksikan saudara sepupu dan tetangganya mengaduk-aduk bukit kapur untuk dijual sebagai bahan campuran produksi tegel dan cat, dia ikut pula menerjuni bidang usaha tersebut.
Akhirnya, Arifin bersama kakanya pun merambah bisnis selain palawija, yaitu pupuk dolomit dan turunannya. Hingga berdiri Polowijo Gosari Group, sebuah perusahaan keluarga yang sangat besar.
Pada 1972 Arifin menikah dengan Suharti, gadis sedesa di Gosari. Dari pernikahannya, dikarunia dua anak laki-laki, yaitu Charis Arif dan Didik Pribadi Arifin.
Semangat Bushindo
Arifin adalah sedikit dari pengusaha putera daerah dan taat beragama, yang terus bekerja tanpa kenal lelah melalui perusahaannya untuk membangun pusat hortikultura, pusat dolomit, dan pusat keunggulan lainnya.
Meski hanya jebolan SMA, tapi bercita-cita menjadi seorang intelektual yang tidak standard. Menurutnya, hanya dengan cara itu dia akan mampu melakukan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Langkahnya, menjadikan banjir Bengawan Solo sebagai peluang bagi usaha, sering ditanggapi orang sebagai lompatan gila. “Kalau ada tujuh Djauhar Arifin, Jawa Timur akan cepat maju,” komentar Pakde Karwo, Gubernur Jatim ketika itu.
Pengalaman sukses bisnisnya pun tidak ingin hanya dinikmati sendiri bersama keluarga. Tapi dibagi kepada yang lainnya, melalui buku Lompatan Gila Bisnis Keluarga, yang diterbitkan Balai Pustaka.
Dalam buku itu disebutkan, perusahaan keluarga mempunyai kekuatan hebat, yakni semangat Bushindo dalam menghadapi terpaan dan badai kesulitan. “Namun apabila size usahanya sudah membesar, dan bukit kemakmuran sudah menggunung, efek negatifnya sangat rentan terjadi perpecahan,” ungkap almarhum dalam sekapur sirih bukunya.
Almarhum kerap berpesan kepada istri dan anak-anaknya agar hidupnya bisa memberi nilai tambah. “Jadilah orang yang mempunyai nilai tambah, minimal untuk keluarga dan maksimal untuk umat,” kata Didik Pribadi Arifin menirukan titah ayahnya.
Ajaran kedisiplinan paling diingat anak-anaknya, terutama masalah waktu. “Dengan kita disiplin waktu, insyallah kita bisa menghargai orang dan dihargai oleh orang lain.”
Gemar Bersedekah
Lebih dari itu tentang kepedulian atau bersedekah. “Beliau selalu bilang, kita jangan takut miskin karena bersedekah. Karena Allah menjamin itu. Juga jangan pernah putus asa dalam segala usaha. Ikhlaslah dalam menjalankanya, diiringi dengan doa,” kenang Pribadi Arifin mengenai ajaran yang didoktrinkan kepada keluarga.
Menurut Ketua PWM Jatim Saad Ibrahim, pemikiran dan tindakan Pak Arifin berorentasi ke depan, proyektif. Termasuk dalam hal pendidikan, yang antara lain diwujudkan dengan memberikan tanah ke Muhammadiyah untuk pendidikan.
Juga diwujudkan dengan membangun masjid sebagai sentral pendidikan dan kegiatan sosial ekonomi di dekat perusahaannya. “Kepeduliannya kepada umat luar biasa, dengan prinsip memberi dan memberi,” kesan Saad seraya menceritakan, pada 2 Juli 2020 beliau berunding dengan PWM dan PDM Gresik untuk bersinergi membangun rumah sakit Muhammadiyah yang akan melayani masyarakat dan karyawan perusahaannya.
Tak terhitung bantuannya pada Muhammadiyah. Di Gundanglegi Malang misalnya, selain mewakafkan tanah 16.000 meter persegi untuk panti Asuhan berikut biaya pembangunannya, juga membangunkan masjid di lokasi yang sama.
Kepedulian beliau pada pendidikan, dikarenakan beliau yakin bahwa pendidikan bisa membawa kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa. “Sekolah Muhammadiyah harus maju, harus unggul dan harus hebat. Kalau tidak maju, memalukan Muhammadiyah,” kata Pahri, direktur pondok dan Kepala SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi, Malang, menirukan pesan almarhum.
“Ayo bangkit Mas ya! Pondoknya besok harus punya ribuan santri. Kalau santrinya banyak, nanti saya wakafkan lagi tanah 5 hektar,” Pahri mengutip pesan beliau yang kerap disampaikan melalui telepon WhatsApp.
Bangun Masijd Megah
Di Gresik lebih banyak lagi bantuannya. Selain hibah Masjid Djariah Al Maun di Desa Mojopuro Gede, Bungah, juga mewakafkan tanah seluas 3,8 hektar, di Dewa Surowiti Panceng. Sekaligus dibangun masjid baru bernama Masjid Djauhar Mulia, yang peletakan batu pertamanya bersamaan peresmian gedung SMKM 5 Gresik, oleh Prof Muhadjir Effendy, Mendikbud ketika itu.
“Saya merasa gagasan dan pikiran beliau sangat cocok dengan kebutuhan pengembangan pendidikan Muhammadiyah. Beliau tidak sekadar menghibahkan lahan tanah, tapi juga membantu penggalangan dana melalui jaringan yang dimiliki,” kata Taufiqullah, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik.
“Saya senang mendengarkan mimpi-mimpi beliau, dan berusaha memahami apa yang beliau impikan, serta membantu mewujudkan impiannya seoptimal yang Persyarikatan mampu,” imbuhnya.
Menurut Taufiq, gagasannya kerap terdengar kurang lazim, tapi menarik. Misalnya, pernah bertanya, “Bolehkah saya mendirikan lembaga pendidikan atau rumah sakit dengan aset saya, tapi saya beri nama Muhammadiyah. Semua dana operasional saya siapkan, Muhammadiyah tinggal menjalankan manajemennya lalu kita bagi hasil?”
Memang, dalam pengelolaan amal usaha Muhammadiyah harus berani berpikir out of the box. Dicontohkan, kalau Muchtar Riady mengajak kerja sama Muhammadiyah dengan menyiapkan dana 1 triliun, masa Muhammadiyah tidak mau? Kan bisa diatur antara urusan idiologi dan urusan profesional. “Saya pingin menawarkan seperti kata beliau, sebelum meninggal,” kata Taufiq.
Seolah memperoleh firasat. Setahun sebelum wafat, beliau konsentrasi khusus membangun masjid megah bernama Masjid Akbar Moedhar Arifin, yang tak jauh dari kawasan pabriknya. Sayang, rencana peresmian oleh mantan Wapres H Jusuf Kalla dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir tertunda karena pandemi Covid-19.
Pembangunan masjid tersebut dimaksudkan sebagai pusat kegiatan keagamaan, pendidikan sekaligus wisata di Gresik utara. Sempat diwacanakan pula, program pertukaran guru agama dari Indonesia dengan negara Arab Saudi.
Pendowo Limo
Kini semua kendali perusahaan dan masjid diamanahkan kepada Pendowo Limo. Istilah Pendowo Limo merujuk pada lima anak laki-laki pendiri Polowijo Group. Dua dari anak almarhum Djauhar Arifin, dan tiga dari anak almarhum Moedhar Syah. Masing-masing mendapat julukan sesuai urutan usia. P51 untuk Rizal Suryanto), P52 Charis Arif, P53 Didik Pribadi Arifin, P54 Deddy Harnoko Sucahyo, dan P55 Hermawan Jefrifan.
Didik merasakan regenerasi sudah disiapkan sejak lima tahun lalu. Dengan memberi keleluasaan membawa network partner dari masing-masing anak untuk membesarkan perusahaan. Sehingga perusahaan bisa lebih berkembang dan bertambah besar.
Pendiri sudah membawa Polowijo Group ke skala nasional. Setelah dipegang generasi ke-2, Pendowo Limo menargetkan perusahaan ke skala Asia atau dunia. “Dengan modal perusahaan yang sudah ada, kami berusaha mewujudkan menjadi perusahaan multi nasional,” tekadnya.
Telah banyak warisan kebajikan yang ditinggalkan almarhum. Semoga diterima oleh Allah SWT dan menjadi washilah menuju surga-Nya.
Editor Mohammad Nurfatoni. Artkel ini dimuat kali pertama di majalah Matan edisi 170, September 2020