
Sandal Hilang Galau Kaki Hilang Santuy, adalah kisah berhikmah untuk menyemangati hati kita yang sedang galau diterpa masalah.
PWMU.CO – Seorang jamaah masjid sedang gundah hatinya—galau bahasa milenialnya. Wajahnya tersungut kecut. Tergambar perasaan kecewa dan tertekan pada dirinya. Apa gerangan yang membuatnya begitu terpukul? Ternyata sangat sepele; sandalnya hilang! Padahal sebelum peristiwa itu terjadi, dia tidak pernah merasakan penderitaan batin seperti ketika sandalnya hilang itu.
Namun, tiba-tiba dia tertegun sesaat. Dilihatnya seorang yang berwajah berseri-seri, memancarkan kebahagiaan dari hatinya. Ia lebih santai—santuy kata anak gaul sekarang. Padahal orang itu telah kehilangan kakinya, yang mengharuskannya memakai kursi roda.
Apa yang dilihat itu menyentak kesadarannya. ”Oh, musibah yang diderita pemakai kursi roda itu lebih berat dari pada musibah sandal hilang yang kualami. Namun, mengapa aku justru lebih menderita, sedangkan orang itu kelihatan bahagia?”
Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan musibah sebagai realitas objektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kata objektif diartikan mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.
Kecelakaan, jatuh sakit, kehilangan harta, ditinggal mati keluarga dekat, atau tertimpa bencana alam adalah kenyataan yang tak terhindarkan. Secara objektif kita mengatakan bahwa hal-hal seperti itu adalah benar-benar musibah.
Pertanyaannya, apakah setiap musibah harus menjadikan kita menderita?
Jika musibah adalah realitas objektif, maka penderitaan adalah realitas subjektif. Dalam KBBI daring, subjektif bermakna mengenai atau menurut pandangan (perasaan) sendiri. Dengan definisi seperti ini, maka tidak semua bencana menyebabkan penderitaan. Tergantung bagaimana individu secara subjektif menerima musibah itu.
Menderita tidaknya kita atas musibah tergantung bagaimana kita memahami musibah itu dalam perspektif spiritual. Musibah menjadi penderitaan jika kita tak mampu menampungnya dengan hati seluas samudera; seperti dalam kisah berhikmah di bawah ini.
Kelapangan Hati
Seorang pemuda sedang gundah gulana. Galau. Sebuah persoalan hidup sedang ia hadapi. Kusut, cemberut, gelisah, tegang, dan resah adalah gambaran wajah yang ia idap. Seolah dunia mau kiamat!
Tak kuasa menanggung terlalu lama gelisah yang memuncak itu sendirian, ia mencoba berkonsultasi dengan seorang kiai yang terkenal arif. Ditumpahkannya segela tetek-bengek persoalan hidup yang ia alami. Ia berharap sang kiai bisa menjadi tempat curahan hati sekaligus memberi solusi.
“Sudah, sudah semua kau tumpahkan persoalan hidupmu?” kata sang kiai.
“Ya, Pak Kiai.”
“Tolong ambilkan sesendok garam dan segelas air di dapur!” pinta sang kiai pada pemuda itu.
“Tuangkan sesendok garam dalam segelas air dan aduk sampai larut!” perintah sang kiai.
“Coba, kau icipi air dalam gelas itu,” pinta kiai lagi. “Bagaimana rasanya?”
“Asin sekali,” jawan pemuda tadi.
“Oke, sekarang ambil lagi sesendok garam dan ikuti aku!” perintah kiai.
Rupanya sang kiai mengajak pemuda itu ke belakang rumah. Diajaknya pemuda itu mendekati sebuah danau yang masih terjaga kebersihannya itu.
“Tolong tuangkan sesendok garam itu ke dalamnya. Aduk!” pinta kiai.
“Sekarang rasakan, bagaimana airnya!” tanya kiai.
“Tawar,” jawab pemuda.
“Begitulah ibaratnya hidup dan problemnya. Sebenarnya problem hidup itu hanyalah sesendok garam; seberat apapun problem itu.”
“Masalahnya, bagaimana hati kita menerima problem hidup.”
“Apakah hati kita hanya sebatas gelas atau seluas danau.”
“Jika hati kita hanya sebatas gelas, maka problem hidup yang kita hadapi seakan-akan berat sekali. Bandingkan jika problem hidup itu kita tampung dengan hati seluas danau.”
“Oh begitu ya Pak Kiai,” kata sang pemuda mencoba memahami filsafat yang barus saja diajarkan sang kiai.
Membaca—juga menulis—kisah berhikmah ini memang lebih mudah dari pada praktiknya. Tapi semoga bermanfaat! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post