Viral Anjay Jadi Perhatian Haedar Nashir. Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu kekerenan di kalangan milenial tidak berarti serba boleh. Kata-kata candaan yang berkonotasi negatif tak perlu diwariskan.
Berikut pandangan Haedar Nashir seperti yang dicuitkan di akunnya @HaedarNS, Selasa (1/9/2020)
PWMU.CO – Ramai istilah “anjay”, “bucin”, “prank”, dan sebagainya di dunia milenial penting menjadi bahan renungan semua pihak.
Lembaga keluarga, pendidikan, pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain penting lebih peduli dan empati terhadap dunia anak-anak belia tercinta.
Peran orangtua tidak kalah pentingnya, malah sangat menentukan. Anak-anak milenial itu bagian dari kehidupan kita.
Seraya melakukan edukasi sesuai alam pikiran anak-anak yang sedang bertumbuh itu dengan pedagogis yang baik. Mereka pewaris Indonesia. Milenial saat ini akan menjadi warga bangsa dewasa ke depan.
Bahkan banyak yang akan menjadi elite dan pemimpin bangsa di berbagai level. Anak-anak belia itu sejatinya juga haus edukasi yang positif dan menjadi panduan hidup mereka.
Kadang di antara mereka tidak tahu caranya. Banyak generasi milenial yang positif dan produktif menjalani kehidupan di negeri ini. Apalagi masalah dan tantangan hidup saat ini dan ke depan sangat kompleks.
Dunia Milenial Keren
Bagi kaum milenial sendiri penting terus mendewasakan diri. Hidup menjadi milenial dengan budaya populer memang tak terbantahkan. Dunia milenial itu keren.
Tapi kekerenan tidak identik dengan keharusan hidup dengan apa saja boleh. Termasuk dengan memproduksi kata-kata yang tidak etis atau tidak patut.
Candaan, celetukan, dan ekspresi yang renyah tidak harus kotor dan sembarangan. Dalam praktik masyarakat luas juga sama, kebiasaan sumpah serapah yang dianggap jadi ciri kultur tertentu, bila tidak baik tidak perlu diwariskan.
Biarpun untuk mengakrabkan hubungan, tetap ada patokan etika dan sopan santun karena kita manusia sebagai makhluk Tuhan yang mulia dan berakal-budi.
Tampillah keren dan populer dengan hal-hal produktif dan positif serta berbasis etika luhur. Kembangkan bakat dan minat dengan optimal.
Gigihlah menimba pengetahuan, iptek, keahlian, dan pengalaman positif untuk meraih sukses. Rileks dan bermain memang dunia milenial, tetapi semua ada porsi dan batasnya.
Pentingnya Etika
Di negeri yang maju sekalipun anak muda dan siapapun ada batasan etika, agama dan nilai budaya yang positif.
Apalagi di Indonesia yang memiliki akar kuat pada agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa. Benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas harus menjadi standar seleksi nilai.
Memang dalam subkultur di negeri ini ada umpatan-umpatan tertentu yang dianggap biasa, tetapi bagi generasi ke depan mestinya tidak perlu diwariskan. Kata-kata itu wajah budaya dan keadaban bangsa.
Dunia milenial yang keren, berlombalah dalam mengejar prestasi dan cita-cita dengan energi ruhani, pikiran, dan kebiasaan positif. Etika itu penting baik bagi diri maupun dalam relasi sesama.
Menjadi milenial yang keren tidak identik dengan apa saja boleh, selalu ada bingkai moral dan keadaban yang dibangun bersama secara positif.
Ini bukan kuno dan kolot, tetapi perlambang tradisi besar suatu bangsa. Jalani hidup produktif dengan berbingkai etika yang mampu menyaring nilai baik dan buruk serta pantas dan tidak pantas.
Etika itu salah satu pilar peradaban bangsa. Dengan hidup beretika kebaikan wajah budaya Indonesia akan elok di mata dunia.
Insan berakal-budi utama, memang menjunjung etika mulia. Hidup menjadi elok dan bermakna. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.