PWMU.CO – Pidato lengkap pengukuhan Abdul Mu’ti sebagai Guru Besar Bidan Imu Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembaruan
Oleh Prof Dr Abdul Mu’ti MEd
Pendahuluan
Pluralitas adalah realitas. Manusia berbeda secara basyariah (fisik), syuubiyah (suku bangsa), dan diniyyah (agama). Pluralitas atau kemajemukan memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan tanawwu, ikhtilaf, taaddud (Arab), diversity dan plurality (Inggris).
Istilah pluralitas dipergunakan dalam hubungannya dengan keragaman agama dan budaya suatu masyarakat. Pluralitas adalah takdir dan sunnatullah: sesuatu yang terjadi sesuai kehendak dan hukum Allah (Osman, 2006).
Secara umum, Qardhawi (1995), Daqaq (2013), dan Khalil (2011) menyebutkan bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, ilmiah, dan amaliah. Allah menciptakan manusia berbeda jenis kelamin, bangsa, suku (Qs. 49, al-Hujurat: 13), bahasa, warna kulit (Qs. Ar-Rum [30]: 22), dan agama (Qs. al-Maidah [5]: 48).
Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk baik dari sisi agama, bahasa, dan suku. Bangsa Indonesia memeluk agama-agama dunia seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Bahai, dan sebagainya serta agama-agama aseli (indigenous religions), termasuk di dalamnya kelompok penghayat dan aliran kepercayaan.
Di Indonesia terdapat sekitar 733 bahasa, 1340 suku besar dan kecil. Umat Islam Indonesia juga tidak tunggal dan monolitik. Berbagai madzhab fikih, aliran teologi, organisasi, dan gerakan berkembang di tubuh umat Islam.
Di dalam organisasi Islam tertentu terdapat varian yang menunjukkan dinamika internal. Sebagai contoh di Muhammadiyah, menurut Munir Mulkhan (2001) terdapat varian Muhammadiyah ikhlas (Mukhlas), Muhammadiyah Ahmad Dahlan (Muda), Muhammadiyah-Nahdlatul Ulama (Munu), dan Marhaenis Muhammadiyah (Marmud). Riset Mu’ti (2008) menemukan eksistensi varian Kristen-Muhammadiyah (Krismuha), khususnya di kawasan timur Indonesia.
Bagaimana masyarakat menyikapi perbedaan juga beragam. Di kalangan masyarakat terdapat kelompok radikal, fundamentalis, dan konservatif yang cenderung bersikap tertutup, negatif, dan menolak perbedaan. Sebaliknya, kelompok pluralis dan inklusif yang menyikapi perbedaan secara positif, terbuka, dan toleran, bahkan pada level tertentu menjalin kerja sama dengan pihak lain (Schmidt-Leukel, 2005: 14-28).
Tulisan ini berangkat dari pandangan positif terhadap perbedaan. Bahwa perbedaan dalam diri umat Islam adalah kekayaan dan rahmat (Khalili, 2011: 466) yang apabila dikelola dengan seksama akan membawa umat kepada kemajuan.
Secara khusus, tulisan ini memfokuskan pada kajian bagaimana mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang pluralistis untuk membentuk murid yang terbuka, toleran, bersikap positif, menerima, dan bekerja sama di tengah perbedaan sesuai ajaran Islam.
PAI Pluralistis: Urgensi dan Signifikansi
Indonesia adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Umat Islam hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan pemeluk agama serta aliran kepercayaan. Dalam berbagai forum dialog antariman internasional, Indonesia sering menjadi model dan rujukan bagaimana membangun harmoni dan kerukunan intern dan antarumat beragama. Kerukunan adalah DNA bangsa Indonesia.
Secara umum, umat beragama di Indonesia hidup rukun dan damai. Survei kerukunan umat beragama (KUB) Litbang Kementerian Agama menunjukkan indeks kerukunan umat beragama berapa pada angka 72,20 (2017), 70,90 (2018), dan 73,93 (2019). KUB dipengaruhi oleh faktor sosial seperti pendidikan, pendapatan, homogenitas-heterogenitas agama, dan modal sosial.
Dalam rentang tiga tahun terakhir, aspek yang tertinggi adalah kerja sama yang terendah adalah toleransi (Litbang Kemenag, 2020). Hasil survei ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, bagaimana masyarakat yang toleransinya rendah dapat tetap bekerja sama dengan pihak lain.
Akan tetapi, Indonesia masih mengalami masalah intoleransi baik ekonomi, kebudayaan, maupun keagamaan. Intoleransi ekonomi ditandai oleh kesenjangan ekonomi di mana terdapat sekelompok kecil masyarakat, bahkan individu, yang menguasai aset-aset ekonomi secara berlebihan dan terus-menerus melakukan ekspansi bisnis tanpa menghiraukan sebagian besar masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.
Terdapat sekelompok kecil masyarakat dengan ideologi budaya yang cenderung sekuler secara sistematis melakukan penetrasi budaya kepada khalayak melalui media massa, media sosial, dan kebijakan negara.
Tidak bisa dipungkiri, sedang terjadi hegemoni ekonomi dan tirani budaya di Indonesia. Intoleransi ekonomi dan budaya yang—sesungguhnya—memiliki daya rusak yang tinggi dan masif terhadap identitas dan persatuan bangsa tidak ditangani dengan serius.
Padahal, pengalaman banyak negara menunjukkan betapa besarnya daya rusak dan kontribusi ketimpangan kesejahteraan (Stiglitz, 2015), pemaksaan identitas (Sen, 2006), dan ketidakadilan politik-hukum (Blin, 2019) terhadap kekerasan dan separatisme.
Yang mendapat sorotan tajam adalah intoleransi keagamaan. Banyak pihak sangat khawatir dengan meningkatnya intoleransi keagamaan di dunia, termasuk di Indonesia. Akar masalahnya kompleks, tidak tunggal, dan linear. Termasuk sumber terjadinya kekerasan keagamaan adalah pendidikan agama Islam: materi, media dan sumber belajar, paham keagamaan guru, dan situasi sosialpolitik.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap pelajar dan mahasiswa menunjukkan gejala tingginya intoleransi (PPIM-UNDP, 2018). Survei menemukan 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal, 51,1 persen intoleran terhadap mereka yang seagama, dan 34,3 persen intoleran terhadap pemeluk agama lain. Secara umum sikap dan perilaku keagamaan masih moderat (74,2 persen), toleransi eksternal (62,9 persen), dan internal (33,2 persen).
Maknanya, pelajar dan mahasiswa lebih toleran terhadap umat agama lain dibandingkan dengan mereka yang seagama, terutama terhadap paham dan aliran yang dianggap sesat: Syiah dan Ahmadiyah. Sikap dan pandangan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu guru dan materi PAI, akses keagamaan dari internet, serta persepsi terhadap islamisme dan kinerja pemerintah.
Temuan penelitian tersebut sejalan dengan survei terhadap pandangan keagamaan guru. Menggunakan alat implicit association test (IAT) survei PPIM (2019) menyimpulkan 63,07 persen PAI intoleran terhadap agama lain, sedangkan dengan alat ukur eksplisit level intoleransinya 56,90 persen. Sikap guru PAI tersebut antara lain dipengaruhi oleh pandangan mekanisme, demografi, dan afiliasi terhadap Ormas Islam.
Dengan segala keterbukaan yang ada, Indonesia belum menjadi negara yang terbuka (inklusif). Merujuk data Social Progress Index (SPI) 2019, Indonesia masuk kategori negara ekslusif. Dengan skor 65, 62/100, Indonesia berada pada peringkat 85 dari 149 negara. Di antara skor yang terendah adalah aspek personal rights (52,92) dan inclusiveness (39,96).
Aspek personal rights terdiri atas political rights, freedom of expression, freedom of religion, access to justice, dan property rights for women. Aspek inclusiveness terdiri atas acceptance of gays and lesbians, discrimination and violence against minoritas, equality of political power by gender, equality of political power by socio economic position, dan equality of political power by social status.
Yang juga tidak kalah besar pengaruhnya terhadap intoleransi adalah internet. Schmidt dan Cohen (2013), Nicols (2017), dan Foer (2018) menjelaskan selain banyak manfaat dan sumbangannya terhadap kemajuan, revolusi dunia digital mengubah pola pikir, perilaku, budaya, ekonomi, politik, pranata dan lembaga sosial, serta agama.
Di era revolusi industri yang terkoneksi secara cepat dan masif, manusia justru semakin “bodoh”, dangkal, serba instan, dan tidak toleran. Foer (2018: 131-156) menyebut berkembangnya“virality virus” di mana manusia ingin semakin eksis dengan ekspose diri yang eksesif.
Media sosial juga melahirkan komunitas dunia maya dengan virtual in-group dan conformity yang membuat intoleran terhadap kelompok lain yang berbeda dan mudah larut dalam polarisasi politik dan pemikiran. “Kemunkaran” digital dalam bentuk hate speech dan hate spin (George, 2017) menjadi masalah sosial keagamaan yang serius. Kekerasan di dunia nyata sebagian bermula dari provokasi dan hoaks dunia maya.
Walaupun demikian, survei PPIM menemukan mayoritas pelajar dan mahasiswa menunjukkan minat yang tinggi untuk belajar dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Mereka setuju membahas permasalahan bersama (70,75 persen), bertukar pengalaman (79,12 persen), dan diskusi (89,24 persen) dengan pemeluk agama yang berbeda. Sebagian besar mereka (67,56 persen) menghargai kebudayaan lokal.
Terbuka jalan yang memungkinkan pengembangan PAI yang pluralistis yang dikembangkan sesuai prinsip pluralisme positif (Mu’ti dan Khoirudin, 2019) di mana murid memegang teguh keyakinannya dan pada saat yang sama memahami, menyadari, menerima, membantu, dan bekerja sama dengan mereka yang berbeda agama dan keyakinan.
PAI Pluralistis bukanlah suatu bentuk talfiq, sinkretisme, atau agnotisme. Di dalam PAI Pluralistis murid diberikan perspektif yang memungkinnya melihat suatu hal dari banyak sudut pandang, menilai secara kritis, dan menentukan pilihan secara mandiri, sukarela, dan bertanggung jawab. Tulisan ini menawarkan arah pembaruan PAI sebagai alternatif solusi untuk membangun kerukunan dan toleransi berdasarkan nilai-nilai dasar agama dan kebijakan atau perundangan pendidikan.
PAI Pluralistis: Basis Nilai
Pengembangan PAI Plus didasarkan atas lima nilai: ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerja sama. Yang dimaksud dengan nilai ketuhanan adalah prinsip dasar yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk beragama atau bertuhan (homo religious). Sejak masih dalam alam arwah, manusia berikrar bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhan (Qs. Al-A’raf [7]: 172).
Agama adalah fitrah dan merupakan watak manusia (Muthahhari, 2011: 175). Agama, menurut Madjid (1992:xvi) adalah “… fitrah yang diwahyukan (fithrah munazzalah-Ibn Taimiyyah) untuk menguatkan fitrah yang sudah ada pada manusia secara alami (fithrah majbulah). … agama adalah kelanjutan “natur” manusia sendiri, merupakan wujud nyata dari kecenderungan alaminya untuk mencari kebaikan dan kebenaran (hanif).” Baik Madjid maupun Muthahhari mendasarkan argumen mereka pada firman Allah:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); sesuai fitrah Allah yang disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Ar-Rum [30]: 30).
Fitrah beragama yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah beragama Islam. Di dalam Hadits Rasulullah Saw bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidak ada anak yang dilahirkan (ke dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi…” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Para pakar psikologi dan neurosains berpendapat bahwa secara psikologis dan biologis manusia memiliki sifat alamiah untuk beragama. Newberg dan Waldman (2013) dan Pasiak (2012), berpendapat bahwa dalam otak terdapat bagian yang membuat manusia cenderung kepada kehidupan spiritual yang berkembang seiring dengan interaksi antar manusia. Neurosains menjelaskan mengapa manusia bisa berubah keyakinan, sebagaimana yang disebabkan di dalam Hadits Nabi.
Karena itu, sungguhpun mendapatkan kritik keras dari beberapa ilmuwan seperti Dawkins (2007), Harris (2006), dan Hitchens (2007) mayoritas manusia, sebagaimana survei Pew Research Center (2020) tetap memegang teguh agama dan bahwa agama merupakan dasar yang membentuk manusia bermoral. Meskipun banyak meragukan peran dan eksistensi Tuhan dalam penciptaan alam semesta, Stephen Hawking (2018) juga tidak menunjukkan sikap benar-benar anti Tuhan.
Basis nilai kedua adalah kebebasan. Agar manusia tetap berada dalam fitrah dan berada di jalan Tuhan, Allah mengutus pada rasul untuk menyampaikan wahyu. Para rasul memiliki tiga tugas utama yakni tilawah, tazkiah, dan ta’lim (Qs. Al-Jumuah [62]: 2). Kepada manusia, Allah memberikan aql, nafsu, dan qalbu yang dengannya manusia memiliki kemampuan memilah hal yang benar dan batil serta memilih jalan hidup dengan segala konsekuensinya.
Semua ketentuan Allah bersifat clean dan clear. Manusia memiliki kebebasan berkehendak dan bertanggung jawab atas semua sikap dan perbuatannya. Terserah kepada manusia apakah memilih mengikuti wahyu atau nafsu, beriman atau kafir, berada di jalan Tuhan atau setan, tidak ada paksaan (Qs. Al-Baqarah [2]: 256; Al-An’am [6] 107, 108; Yunus [10]: 99, 100; Hud [11]: 118, dan Al-Kahfi [18]: 29).
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُر
“Dan katakanlah (Muhammad), ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa yang menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir…” (Qs. Al-Kahfi [18]: 29).
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (100)
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi, apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? (99) dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan seijin Allah, dan Allah akan menimpakan azab kepada orang yang tidak berakal. (100)” (Qs. Yunus [10]: 99-100).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa adanya manusia yang berbeda-beda agama adalah kehendak Allah. Dalam tafsirnya, Wahbat Zuhaili (1982:221) menjelaskan bahwa tidak seorang pun bisa dan boleh memaksa manusia untuk beriman, termasuk para Rasul Allah.
Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya dan sejelas-jelasnya. Selanjutnya apakah manusia akan beriman atau kafir merupakan kehendak manusia itu sendiri dan kehendak Allah. Tim tafsir Kementerian Agama memberikan penjelasan yang senada. Di dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya (Tim penulis Tafsir Departemen Agama, 2011: 367) dijelaskan bahwa jika Allah sungguh mudah bagi-Nya menjadikan semua manusia beriman.
Tetapi Allah tidak berkehendak atas hal tersebut. Allah hendak melaksanakan Sunnah-Nya. Di antara Sunnah Allah adalah memberi manusia akal, pikiran, dan perasaan yang membedakan mereka dengan malaikat dan makhluk yang lainnya. Dengan akal, pikiran, dan perasaannya manusia menjadi makhluk yang berbudaya, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun alam semesta.
Berdasarkan pemahaman atas penafsiran ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kebebasan beragama, bahkan untuk tidak beragama (kafir). Pluralitas agama dan keberagamaan adalah kehendak dan Sunnah Allah agar dengan akal, pikiran, perasaan, dan hati nuraninya manusia mampu membangun kebudayaan yang bermanfaat bagi dirinya dan alam semesta.
Basis nilai yang ketiga adalah keterbukaan. Selain memberikan kebebasan, Allah juga memberikan kesempatan kepada manusia untuk menentukan pilihan yang terbaik di antara berbagai pilihan. Allah memberikan kepada manusia aql sebagai potensi dan kekuatan yang memungkinkannya berpikir kritis baik terhadap dirinya sendiri (muhasabah) maupun berbagai hal dan peristiwa yang ada di lingkungan alam dan sosial. Alquran memerintahkan kepada manusia untuk menentukan pilihan secara sadar dengan ilmunya dan melarang jumud dengan nafsunya.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra [17]: 36).
Bersikap terbuka atau open mind ditunjukkan dengan sikap mau mendengar, banyak berpikir, suka belajar, dan—pada tingkat tertentu—siap berubah menjadi lebih baik. Terbuka berarti kritis yang ditandai oleh kemampuan yang mencerminkan sikap orang-orang yang cerdas (ulu al-bab) yaitu mereka yang tidak apriori terhadap hal yang baru, tetapi sebaliknya menjadi pembelajar yang berpikir mendalam, bijak bertindak, bersedia menerima koreksi atau kritik, serta memperbaiki diri dengan mengikuti pendapat yang terbaik.
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُواْ الألْبَابِ (18)
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku (17), (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal yang sehat. (18)” (Qs. Az-Zumar [39]: 17-18).
Nilai keterbukaan ditandai oleh kesiapan dan kemampuan untuk berkompetisi dengan pihak lain. Mereka senantiasa berusaha menjadi yang terbaik dengan berbuat baik, menjauhkan sikap rivalitas, dan tidak meniadakan kelompok lain. Inilah antara lain makna fastabiqu alkhairat.
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات
“… Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…” (Qs. Al-Maidah [5]: 48).
Basis nilai yang keempat adalah kebersamaan. Dalam Islam dan PAI pluralitas banyak terkait dengan khilafiah dalam masalah-masalah hukum fikih, akidah, tafsir, dan masalah-masalah praksis atau strategi dakwah dan gerakan Islam. Khilafiah terjadi karena faktor ilmiah, khususnya perbedaan metode ijtihad, pendekatan, dan tafsir Alquran dalam wilayah cabang (furu), bukan masalah pokok (ushul). Perbedaan furuiyah ini merupakan tanawwu (variasi) dan taaddud (keragaman) yang acceptable dan tolerable.
Meskipun demikian, khilafiah acapkali menjadi sumber ketegagangan dan pertentangan di kalangan umat karena berimplikasi langsung atau tidak langsung terhadap amaliah keagamaan, termasuk di dalamnya ritual ibadah mahdlah, muamalah dan akhlak. Pada ranah ini, menurut Qardhawi (1995), ikhtilaf adalah variasi yang diperbolehkan dan dibenarkan, bukan tafarruq (perpecahan) yang diharamkan.
Sesuai dengan nilai kebersamaan, ada beberapa pandangan dan sikap yang perlu dikembangkan. Pertama, mengutamakan kesamaan dibandingkan dengan perbedaan, mengusahakan titik temu di atas titik seteru (Khalili, 2011). Terlalu menonjolkan perbedaan akan membuat umat rentan. Ekspose perbedaan yang berlebihan dan perdebatan trivial yang tidak perlu (jidal) di ruang publik bisa menimbulkan persepsi negatif, anti pati, dan adu domba antar organisasi.
Di tingkat global, umat Islam seakan terbelah antara Sunni dengan Syiah. Di Indonesia, terdapat opini umat Islam terdikotomi dalam Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Dua organisasi Islam tersebut dihadapkan secara diametral, berkompetisi dan berkonfrontasi sehingga melahirkan kelompok “Islam”: tidak Muhammadiyah dan tidak NU.
Membenturkan Muhammadiyah dengan NU adalah warisan dan cara kolonial yang sudah seharusnya ditinggalkan. Perlu ikhtiar tiada henti agar “dua sayap” Islam moderat: Muhammadiyah-NU dapat bersinergi agar Garuda bisa terbang semakin tinggi. Slogan “celebriting diversity”: merayakan perbedaan yang seringkali dikumandangkan pada pendukung pluralisme bisa memiliki dua implikasi.
Di satu sisi bisa menunjukkan iklim kebebasan dan keterbukaan. Pada sisi yang lain bisa menumbuhkan sikap indifference: asal beda, tidak hirau kepada pihak lain. Dalam jangka panjang, narasi dan perselisihan paham yang terus menerus bisa menimbulkan makna pejoratif dan konklusi bahwa agama adalah sumber masalah.
Kedua, bersikap moderat (tawasuth) dengan menjauhi taashub, ghuluw, dan tatharruf: ekstremisme, idiosyncracy, dan fanatisme golongan yang berlebihan. Sejarah Islam mencatat bagaimana fanatisme madzhab menyebabkan stagnasi pemikiran, ditutupnya ijtihad, disintegrasi, dan pertumpahan darah. Sebuah pelajaran sejarah yang sangat mahal. Bersikap moderat berarti mengamalkan adab berikhtilaf.
Menurut Daqaq (2013: 129-195) ada beberapa tata krama ikhtilaf di antaranya menerima dan mengakui eksistensi kelompok lain, membersihkan diri dari nafsu permusuhan, meninggalkan primordialisme, berpikir positif terhadap kelompok lain, mengambil hal yang baik, tidak mencela dan mencari-cari kelemahan, dan bekerja sama dalam persamaan.
Ketiga, bersikap toleran, saling menghormati, dan tenggang rasa. Toleransi berarti menyadari adanya perbedaan, memahami sebab terjadinya perbedaan, memberi kesempatan pihak lain untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinan, dan—dalam batas tertentu—memfasilitasi, melindungi, serta menjamin keamanan. Dalam sejarah terdapat teladan bagaimana para ulama madzhab saling menghormati, memuliakan, bahkan dalam beberapa hal mengamalkan pendapat “madzhab yang berbeda”. Untuk membangun harmoni, Islam melarang muslim menghina pemeluk, tuhan, dan simbol agama lain.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا ۗ وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ (107) وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ … (108)
“Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan (Nya). Dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga mereka; dan engkau bukan pula pemelihara mereka (107). Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu pengetahuan…. (108)” (Qs. Al-An’am [6]: 107-108).
Nilai yang kelima adalah kerja sama. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk hidup rukun dengan menjalin ukhuwah dan saling kerja sama, tolong menolong (taawun) dalam kebaikan (al-bir) dan taqwa serta melarang kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan (QS Al-Maidah [5]: 2). Menurut Qurthubi (1996, V: 50) tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa adalah saling membantu dalam melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan yang dilarang.
Al-bir dan al-taqwa adalah dua lafadz yang mengandung pengertian sama dan saling melengkapi walaupun keduanya memiliki penekanan yang sedikit berbeda: al-bir adalah perbuatan yang disetujui atau disukai oleh sesama manusia sedangkan al-taqwa adalah perbuatan yang diridlai oleh Allah.
Dalam kehidupan dunia manusia saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Manusia memerlukan kehadiran orang lain. Bekerja sama adalah tabiat manusia. Yang kaya membantu si miskin, yang kuat melindungi yang lemah, yang sehat membantu yang sakit, dan sebagainya. Kerja sama tidak terbatas dengan mereka yang seiman, tapi juga dengan yang berbeda keyakinan. Khalili (2011: 441) menjelaskan bahwa kerja sama dapat dilakukan dalam hal-hal yang sama (al-muwafiq) dan terkait dengan kepentingan bersama.
Benar bahwa antara Islam, Kristen, dan Yahudi terdapat perbedaan ajaran, bahkan dalam masalah ketuhanan. Tetapi, sebagai sesama agama samawi terdapat kesamaan ajaran yang dalam sejarah menjadi jalan terjadinya jalinan kerja sama (Nasr, 2003:51). Jika kerja sama antar-iman saya bisa dilakukan, tentu kerja sama intern umat Islam tidak ada alasan untuk tidak dikembangkan.
Kebijakan dan Penyelenggaraan Pendidikan Agama
Secara legal, konstitusional, dan kultural, agama memiliki kedudukan yang sangat penting. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius dan taat menjalankan ajaran agama, khususnya ritual ibadah. Indonesia bukan negara teokrasi, tetapi bukan negara sekuler yang anti dan memisahkan agama dari urusan publik. Sesuai dasar negara Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, agama merupakan dasar moral dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara politik dan hukum, negara melarang semua bentuk ateisme. Negara memiliki kewajiban keagamaan untuk menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap warga negara untuk beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya (UUD 1945, pasal 29 [2]).
Bagi bangsa Indonesia, agama adalah modal sosial dan spiritual dalam membangun identitas dan mencapai cita-cita. Negara mengembangkan sistem pendidikan nasional sebagai rekayasa sosial-politik yang memungkinkan terjadinya pewarisan, konservasi, dan transformasi ajaran dan nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi dan publik.
Pendidikan nasional berfungsi “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi murid agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20/2003 pasal 3). Pendidikan adalah sarana (means) dan sekaligus ukuran keberhasilan (ends) bangsa dalam mencapai cita-cita.
Agama adalah dasar pembentukan karakter dan sekaligus karakter bangsa itu sendiri. Karakter dan kepribadian bangsa akan sirna apabila bangsa Indonesia tidak lagi beragama. Pemerintah mengembangkan pendidikan karakter sebagai bagian dari gerakan nasional revolusi mental bangsa yang dilaksanakan secara bersamasama antara satuan pendidikan (sekolah/madrasah), keluarga, dan masyarakat (Perpres 87/2017, pasal 1).
Pendidikan karakter adalah proses harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga yang dengannya diharapkan tertanam nilai-nilai Pancasila dalam karakter murid. Nilai-nilai tersebut meliputi “religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.” (Perpres 87/2017, pasal 3).
Dalam kerangka tujuan pendidikan nasional dan pembentukan karakter bangsa, pendidikan agama—termasuk PAI—merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi harus memuat pendidikan (UU 20/2003, pasal 37 [1, dan 2]).
Pendidikan agama yang dimaksudkan untuk “membentuk murid yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia” (penjelasan UU 20/2003 pasal 37 [1]) merupakan bagian dari strategi pembangunan pendidikan nasional (Penjelasan Umum UU 20/2003) dan merupakan bagian dari penguatan pendidikan karakter (PMA 2/2020) di lingkungan kementerian agama. Ketercapaian tujuan pendidikan nasional dan pembangunan pendidikan ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan pendidikan agama.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 pasal 2 [1] dan 5 [3 dan 4], selain bertujuan membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berkarakter Pancasila, pendidikan agama juga merupakan bagian penting dalam menjaga dan mewujudkan keharmonisan, kedamaian, saling menghormati, dan kerukunan sesama pemeluk agama dan terhadap pemeluk agama lain, serta menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan agama tidak hanya fokus pada pembentukan kesalehanspiritual, tetapi juga kesalehan sosial dan kesalehan kebangsaan (muwathonah).
Sejalan dengan maksud, fungsi, dan tujuan pendidikan, pendidikan agama diajarkan sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (PP. 55/2007, pasal 4 [2]) sebagai hak peserta didik (UU 20/2003, pasal 12 [1.a]). Sesuai penjelasan pasal 12, yang dimaksud pendidik adalah guru agama yang disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Sejak zaman kolonial Belanda dan Orde Baru, di Indonesia dikembangkan sistem pendidikan agama menggunakan pendekatan teaching into religion (Grimmit, 1987) di mana pendidikan agama lebih diarahkan untuk membangun komitmen beragama dan ajaran-ajarannya yang cenderung doktriner sehingga menimbulkan fanatisme berlebihan terhadap pelajaran guru dan agama yang dianutnya. Sebagian kalangan mengkritik ketentuan pendidikan agama sebagai sistem yang eksklusif dan menimbulkan segregasi sosial. Menurut sebagian lainnya, kebijakan tersebut justru lebih pluralistis dan tepat baik secara paedagogi, psikologi, dan sosiologi masyarakat yang plural.
Merujuk PMA 16/2010, penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah sekurang-kurangnya dilaksanakan melalui mata pelajaran agama (pasal 1) yang ruang lingkupnya meliputi pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. (Pasal 2 [2]). Selain enam agama tersebut, berdasarkan Permendikbud 27/2016, penganut atau penghayat aliran kepercayaan di Indonesia juga mendapatkan layanan pendidikan tersendiri.
Meskipun demikian, tidak semua murid di sekolah dapat menerima pendidikan agama sesuai agamanya. Murid dapat menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama apabila memenuhi beberapa ketentuan (pasal 4 [1]): (a) apabila dalam satu kelas jumlah murid yang seagama berjumlah minimal 15 orang, maka pendidikan agama wajib diberikan dalam satu kelas; (b) apabila jumlah murid seagama dalam satu kelas kurang dari 15 orang tetapi secara keseluruhan dalam satu satuan pendidikan berjumlah sekurang-kurangnya 15 orang makan pendidikan agama dilaksanakan dengan jadwal tersendiri yang tidak murid untuk mata pelajaran lain; (c) apabila murid seagama dalam satu satuan pendidikan kurang dari 15 orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerja sama dengan sekolah lain atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.
Terlepas dari ancaman sanksi administratif (PP. 55/2007, pasal 7 [1]), dalam praktiknya pendidikan agama tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Terdapat lima praktik pelaksanaan pendidikan agama di satuan pendidikan. Pertama, pelaksanaan pendidikan agama yang sesuai perundang-undangan. Kedua, pendidikan agama diberikan sesuai agama murid, tapi diajarkan oleh guru non guru agama.
Ketiga, pendidikan agama diajarkan sesuai agama satuan pendidikan yang berbeda dengan agama murid. Keempat, menerima pendidikan agama bersamasama dengan pemeluk agama lain. Kelima, menerima pendidikan religiositas yang di dalamnya dipelajari ajaran berbagai agama di bawah bimbingan guru agama satuan pendidikan.
Ketidakterlaksanaan ketentuan pendidikan agama disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor administratif yaitu tidak tersedianya guru agama. Menurut data kementerian agama, terdapat empat masalah guru agama antara lain jumlah yang tidak mencukupi, distribusi yang tidak proporsional, belum terpenuhinya sertifikasi, dan rendahnya kompetensi. Kedua, faktor teologi di mana banyak satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak memberikan pendidikan agama sesuai agama murid karena alasan misi agama.
Walaupun bersifat suka rela dan tidak ada tujuan konversi agama, secara sistematis pendidikan dipergunakan sebagai sarana penyebaran agama atau paham tertentu. Ketiga, faktor teknis di mana satuan pendidikan tidak memiliki sumber daya dan sumber dana untuk memenuhi ketentuan perundangan. Atas persetujuan murid atau orang tua, secara “pragmatis” satuan pendidikan menggabungkan pendidikan agama bagi murid yang jumlahnya kurang dari 15 orang dengan agama mayoritas.
PAI Pluralistis: Arah Pembaruan
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan peran pendidikan agama Islam dalam membangun manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia dalam tata kehidupan bangsa yang rukun, damai, dan harmonis diperlukan pembaruan kebijakan, pendekatan, kurikulum, dan penilaian. Arah pembaruan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dasar PAI Pluralis, regulasi dan perundangan pendidikan, dan tren perubahan di masa depan.
Pertama, pembaruan kebijakan. Secara umum kebijakan pendidikan agama dan PAI sudah tepat, sejalan dengan dasar negara Pancasila, Pembukaan UUD 1945, kebudayaan bangsa, dan ajaran serta nilai-nilai agama. Akan tetapi, dalam rangka menjadi kebebasan beragama dan terpenuhinya hak-hak sipil warga negara, khususnya kelompok minoritas, diperlukan kebijakan pendidikan agama yang lebih inklusif. Peraturan menteri agama nomor 16/2010 pasal 2 tentang ruang lingkup pendidikan agama dan pasal 4 tentang pelaksanaan pendidikan agama di sekolah perlu diubah.
Ruang lingkup pendidikan agama yang hanya meliputi enam “agama resmi” membuat warga negara yang memeluk agama lain di luar enam agama tersebut kehilangan hak pendidikan. Pelaksanaan pendidikan agama yang mensyaratkan jumlah minimal 15 (lima belas) murid yang seagama juga perlu diubah. Karena terkait dengan hak azasi manusia dan hak sipil warga negara, pendidikan agama dan keyakinan agama tidak seharusnya dikuantifikasi.
Agama adalah keyakinan yang sangat azasi dan privat. Berapa pun jumlah siswa yang seagama dan apa pun agama yang dianutnya seharusnya tetap mendapatkan pelayanan dan pemenuhan hak oleh negara. Eksklusi dan diskriminasi warga negara, termasuk dalam masalah agama dan keyakinan, sering kali disebabkan oleh faktor statistik.
Dalam iklim demokrasi liberal yang prosedural di mana kemenangan politik ditentukan sepenuhnya berdasarkan perolehan suara, perhatian politik lebih tertuju pada kelompok mayoritas. Kaum minoritas sering terabaikan, terabaikan, dan menjadi sasaran kekerasan karena jumlah mereka yang tidak signifikan. Jika satuan pendidikan mengalami masalah finansial, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memenuhi hak warga negara dan melaksanakan peraturan dan perundangan sebagaimana mestinya.
Kedua, perubahan paradigma PAI ke arah pendidikan yang lebih mindful, meaningful, dan joyful. Mindful (adjective) berarti “giving thought and care or attention to somebody/something” (Hornby, 1989: 787: mencurahkan pemikiran dan peduli atau perhatian kepada seseorang atau sesuatu. Dalam konteks PAI pendidikan yang mindful mengandung tiga aspek.
Pertama, aspek pengenalan identitas dan penerimaan perbedaan. Di tengah pluralistas umat Islam, PAI yang mindful adalah yang memberikan tempat, perhatian, pengakuan, dan kesempatan bagi semua murid yang berbeda-beda manhaj dan madzhab keislamannya. Dalam praktik PAI terdapat kecenderungan guru dan satuan pendidikan melakukan menyamakan semua murid (generalisasi), menyederhanakan persoalan (simplifikasi), dan mengabaikan atau mengesampingkan (nihilisasi) perbedaan latar belakang keagamaan murid. Guru cenderung mindless terhadap keberadaan dan keberagaman murid. Sebelum proses pembelajaran, bahkan sejak penerimaan murid baru, guru dan satuan pendidikan sudah mengetahui latar belakang keagamaan. Selain agama, manhaj dan afiliasi organisasi keislaman seharusnya menjadi bagian dari profil murid.
Kedua, aspek metode dan pendekatan pembelajaran. PAI dan pendidikan di Indonesia pada umumnya masih berpusat pada guru (teacher centered) di mana guru adalah aktor utama, sumber belajar, dan penentu “keberhasilan”. Pembelajaran cenderung protectionis: tertutup dan tidak memberikan ruang terhadap perbedaan. Mengikuti pendekatan “teaching into religion”, PAI cenderung top-down, one-sided, dan doktriner. Murid cenderung belajar dengan orientasi surface atau achiement, bukan deep learning (Biggs & Moore, 1995: 307).
Surface learning adalah proses belajar di mana orientasi belajar murid hanya untuk bersenang-senang, motivasi rendah sebatas melaksanakan tugas atau memenuhi kewajiban. Pendekatan achievement adalah proses di mana murid memiliki motivasi untuk berprestasi dengan berlomba dan berusaha mendapatkan nilai atau skor yang tinggi dan unggul di atas yang lain. Mereka akan berusaha berkonsentrasi pada materi yang memungkinkan mereka mendapatkan pengakuan akademik.
Selain dapat menimbulkan penyeragaman paham agama, pendekatan pembelajaran yang doktriner bisa menimbulkan split personality di mana murid mengalami pertentangan batin antara apa yang mereka pelajari di satuan pendidikan dengan kebiasaan ibadah di rumah atau masyarakat.
Deep learning adalah pendekatan belajar di mana murid termtivasi untuk mendalami ilmu, menemukan makna, dan mengkontekstualkan atau menghubungkan pelajaran dengan pengetahuan yang terdahulu (prior knowledge), pengalaman hidup, dan kesiapan di masa depan. Dalam pelaksanaannya, deep learning memiliki pengertian yang hampir sama dengan istilah mindful education (Langer, 1993: 44).
Mindful education atau learning adalah proses pembelajaran yang terbuka di mana murid mendapatkan kesempatan dan bimbingan untuk melihat persoalan dari banyak sudut pandang. Substansi atau prinsip dasar mindful education adalah mindfulness. Lebih lanjut langer (Langer, 1993: 44) menjelaskan:
Mindfulness is a state of mind that result from novel distinctions, examining information from new perspective, and being sensitive to context. It is an open, creative, probalitistic state of mind in which the individual might be led to finding differences among things thought similar and similarities among things thought different…. mindfulness is the capacity to see any situation or environment from several perspective. When we are are mindful we recognize that rhere is not a single optimal perspective, but many perspectives on same situation…. mindfulness is a process in which one views the same situation from several perspective.
Mindful education/learning dapat diterapkan dalam pembelajaran PAI. Misalnya dalam membahas masalah shalat, murid dapat dibimbing untuk mempelajari shalat mulai dari dalil-dalil naqli: ayat-ayat Alquran dan Hadits yang menjadi dasar ibadah shalat: perintah, waktu, syarat, kaifiat (tata cara) dan sebagainya. Pada tahap ini murid dapat dipandu memahami berbagai penafsiran ayat-ayat tentang shalat dan menilai Hadits-Hadits kaifiat shalat. Dalam pembelajaran mindful, tugas pendidikan adalah memandu, mendorong, dan memfasilitasi murid untuk berpikir kritis.
Dengan cara ini murid mampu melihat dan menyadari adanya pluralitas dan ikhtilaf sebagai proses: asal (awal), sebab, dan argumen, bukan hanya produk atau pendapat akhir. Proses ini meniscayakan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan ketrampilan berpikir kritis (critical thinking): bagaimana memahami suatu masalah, membandingkan berbagai pendapat, menganalisis suatupendapat, membangun argumen, menarik kesimpulan dan menentukan pendapat sendiri (Foresman, Fosl, dan Watson, 2017).
Pada akhir proses pembelajaran, guru tidak memberikan penilaian benar atau salah dan tidak mengarahkan agar murid menentukan pilihan atas suatu pendapat. Masalah tetap terbuka, dan murid dapat menentukan pilihan subyektif secara logis atas kesadaran sendiri. Berpikir kritis dan terbuka adalah metode pembelajaran yang dicontohkan dan diperintahkan di dalam Alquran. Berulang kali Alquran memerintahkan kepada manusia agar menggunakan aql sebagai jalan mendapatkan ilmu pengetahuan dan kebenaran (Abdullah, 1982: 81).
Ketiga, arah pembaharuan mindful education melibatkan proses dialog. Guru dapat mendorong murid untuk menjelaskan pengalaman keagamaan dan pengamalan agama. Terkait dengan kaifiat shalat, misalnya, guru dapat meminta murid melaksanakan shalat sesuai dengan kebiasaan dalam keluarga atau masyarakat. Melalui proses ini, PAI dapat membiasakan murid untuk hidup dalam suasana kelas yang pluralistik. Murid memiliki rasa percaya diri, diterima kehadirannya, dan berkesempatan belajar dari sesama murid yang lainnya.
Arah pembaharuan pendekatan PAI yang kedua adalah pembelajaran yang meaningful. Pembelajaran akan penuh makna (meaningful) apabila sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan, menjawab pertanyaan, memenuhi kebutuhan, dan memberikan bekal untuk kehidupan masa sekarang dan masa depan. Pendekatan berpusat pada murid (learner centered). Pembelajaran tidak bersifat top-down tetapi bottom-up, bukan tekstual tetapi aktual dan konstekstual.
Pembelajaran ini bukanlah hal yang baru, terutama ketika pada tahun 1990an diperkenalkan sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dalam praktiknya, CBSA dilaksanakan dengan memberikan kepada murid tugas-tugas atau menjawab pertanyaan berdasarkan buku lembar kerja siswa (LKS). Learner centered akan menjadikan pembelajaran penuh makna apabila dikembangkan berdasarkan pendekatan pembelajaran metakognitif. Belajar adalah proses alamiah di mana murid memiliki dorongan instrinsik untuk mencari dan memaknai informasi dengan pengetahuan dan semangat yang tinggi.
Belajar adalah proses konstruksi ilmu pengetahuan yang melibatkan proses berpikir tingkat tinggi dan proses pembelajaran eksekutif (executive learning) di mana murid mampu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serangkaian proses belajar dan hasilnya serta bagaimana memperbaikinya (APA, 1993). Pembelajaran dan materi pelajaran dikembangkan dengan realitas kehidupan murid, termasuk masalah-masalah keagamaan seharihari, sehingga bermanfaat dan mencerahkan.
Arah pembaruan yang ketiga dari aspek pendekatan adalah pembelajaran yang menyenangkan (joyful). Hal ini juga bukan merupakan hal yang baru. Sudah satu dekade lebih, di Indonesia dikembangkan pembelajaran menyenangkan (fun learning). Kementerian agama mengembangkan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).
Beberapa mengembangkan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, dan berbobot (PAIKEM GEMBROT). Sayangnya baik PAIKEM maupun PAIKEM GEMBROT, tampaknya, hanya sebatas slogan. Pembelajaran agama tetap saja menjadi mata pelajaran yang tidak menyenangkan, bahkan dalam beberapa kasus justru menjadi momok dan bahan olok-olok.
Selain dianggap tidak penting dan tidak menarik, menurut survey Pew Research Cemter (2020) dan Twenge (2018: 130) pada umumnya generasi milenial atau iGen di dunia, tidak terkecuali di Indonesia cenderung irreligious; tidak dekat dengan agama dan beragama dengan baik. Fun learning yang seharunya menyenangkan diterjemahkan menjadi funny learning (pembelajaran yang lucu).
Guru memaksakan diri melucu dengan humor yang kaku, kadang-kadang saru (jorok/porno), dan bernuansa kekerasan verbal atau fisik. Pembelajaran yang menyenangkan adalah warisan dan tradisi pendidikan Islam. Menurut Al-Syaibani (1979: 615-619), pembelajaran menjadi menyenangkan apabila menghadirkan pembaharuan, sifat baru, daya cipta, keaslian, kebebasan berpikir, reflektif, dan memberikan kesan dan pengalaman yang baik.
Arah pembaruan yang ketiga dalam PAI Pluralistis adalah perubahan kurikulum. Muatan kurikulum PAI terlalu berat, sangat content heavy. Analisis PPIM (2020) atas kurikulum PAI sebagaimana diatur dalam Permendikbud 21/2016 menyimpulkan bahwa muatan PAI terlalu banyak, terjadi pengulangan yang tidak perlu, kurang materi yang terkait dengan kehidupan kebangsaan, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan.
Telaah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sejalan dengan PPIM. BSNP tengah merevisi delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) termasuk standar isi PAI. SNP yang baru lebih ringkas dan padat memuat muatan yang esensial. Tidak semua hal harus diajarkan di sekolah. Murid memiliki keterbatasan waktu dan kemampuan intelektual.
Karena itu diperlukan pembaruan kurikulum dan muatan PAI yang integratif dengan disiplin keilmuan lain dan dengan lingkungan keluarga dan masyarakat. Beban belajar di perlu dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar di masyarakat. Murid mengalami social dan religious disengagement dengan teman sebaya dan lembaga pendidikan Islam tradisional di masyarakat seperti masjid dan mushalla akibat dari jam belajar di satuan pendidikan yang terlalu lama.
Meminjam istilah Dweck (2018:7), dari sisi muatan, kurikulum PAI dikembangkan dengan prinsip “growth mindset” bukan “fix mindset”. Growth mindset adalah sebuah pandangan yang positif dalam melihat realitas dan membuka harapan untuk bisa menjadi lebih baik dengan senantiasa belajar dan memperbaiki diri. Seseorang bisa saja gagal dan tidak mempelajari banyak hal di satuan pendidikan, tetapi dengan optimisme dan semangat belajar sepanjang hayat dia akan sukses.
Dari sisi strategi pembelajaran terdapat materi yang diajarkan di satuan pendidikan dan di masyarakat. Misalnya tata cara pelaksanaan (kaifiat) shalat tidak perlu diajarkan di satuan pendidikan, tetapi cukup di masyarakat. Murid belajar bagaimana melaksanakan shalat di masjid/mushalla.
Tetapi dalil naqli dan hikmah shalat dalam kehidupan perlu dibahas di kelas. Bagaimana berbakti kepada orang tua juga tidak perlu diajarkan. Murid cukup ditugaskan membuat laporan tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan orang tua sesuai budaya masyarakat setempat dan tata krama dalam keluarga.
Materi pelajaran dapat diperkaya dengan memanfaatkan materi-materi keagamaan di internet. Pemanfaatan internet memiliki makna ganda. Pertama, untuk memperkaya dan memperluas materi pelajaran. Kedua, untuk memberikan klarifikasi dan koreksi sumbersumber dan materi keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran dasar Islam, memecah belah umat, dan anti negara Pancasila.
Arah pembaruan PAI yang keempat adalah sistem evaluasi. Selama ini evaluasi PAI terlalu menekankan aspek kognitif tingkat rendah: pengetahuan dan pemahaman dasar. Evaluasi lebih banyak berkaitan dengan declarative knowledge: pengetahuan yang terkait dengan fakta-fakta (what) dan kurang pada procedural knowledge yang terkait dengan how (bagaimana) dan why (mengapa).
Pembelajaran lebih bersifat kuantitatif: reproduksi dan root memory; menekankan pada seberapa banyak yang dipelajari (how much) bukan kualitas yang dipelajari (how well). Evaluasi lebih menekankan fungsi evaluation of learning dan kurang pada fungsi evaluation for learning dan evaluation as learning. Aspek karakter dan akhlak sebagai ukuran keberhasilan PAI seringkali luput dari evaluasi. Banyak kasus murid yang meraih skor PAI tinggi dan memuaskan tetapi akhlaknya tercela.
Evaluasi PAI seharunya lebih menekankan aspek kualitatif melalui refleksi diri. Pada level tertentu, pendekatan teaching from religion (Grimmit, 1987) dapat dikembangkan. Model evaluasi dengan tes objektif pilihan ganda sudah seharusnya ditinggalkan. Selain tidak relevan dengan tujuan PAI juga bisa mengarah pada penyeragaman paham agama. Dalam tes objektif hanya ada satu jawaban yang benar. Padahal dalam masalah agama, terutama ritual banyak perbedaan pendapat yang masing-masing didukung oleh dalil naqli dan aqli.
Sebagai contoh masalah rukun wudlu dan hal-hal yang membatalkan wudlu terdapat perbedaan pendapat antara Madzhab Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali. Masih banyak khilafiah lain dalam masalah ibadah dan muamalat yang tidak mungkin digali dan dibahas dengan soal-soal ujian objektif. Dengan dihapuskannya ujian nasional (UN) dan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) sudah waktunya ujian nasional PAI tidak diadakan lagi.
Kesimpulan
Pendidikan Agama Islam merupakan mata pelajaran yang sangat penting, strategis, dan diperlukan dalam konteks tujuan pendidikan nasional, pembentukan karakter bangsa, dan identitas nasional bangsa Indonesia. Di tengah problematika moral, meningkatnya intoleransi, dan kekerasan bernuansa agama, kehadiran pendidikan agama dan PAI semakin diperlukan untuk memelihara pluralitas agama, membangun harmoni, kedamaian, kerukunan, dan persatuan bangsa.
PAI juga diperlukan agar agama dapat berperan lebih bermakna dalam mendorong kemajuan bangsa dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, PAI tidak terbatas mempelajari masalah-masalah ritual ibadah dan muamalah dengan pendekatan klasik, tetapi harus dikembangkan beyond fiqh dengan konstektualisasi agama dengan kehidupan kekinian dan menjawab tantangan masa depan. Melalui PAI murid diharapkan lebih hirau dengan masalah-masalah keummatan, kebangsaan, dan kemanusiaan global.
Di tengah dunia global dan teknologi digital, diperlukan pembaruan sistem PAI sehingga lebih dalam membentuk generasi yang pluralis. PAI perlu dikembangkan ke arah yang lebih pluralistis berdasarkan nilai-nilai pluralisme Islam dan pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful: pembelajaran yang inklusif, mencerahkan, menggerakkan, penuh makna dan menggembirakan. PAI tidak cukup melahirkan generasi yang memiliki kesalehan spiritual, tetapi kesalehan sosial, kebangsaan, dan digital. Penguasaan dan penggunaan teknologi digital adalah sebuah keniscayaan. Kurikulum PAI perlu disempurnakan.
Kemampuan guru mutlak harus ditingkatkan. Untuk itu semua, profil guru PAI harus berubah. Kompetensi akademik, profesional, dan sosial perlu diperkuat dengan keterampilan digital. Pemerintah perlu memenuhi jumlah guru PAI, memenuhi sertifikasi, dan meng-upgrade kompetensi guru PAI secara berkesenimbangun. Masih banyak guru PAI generasi kolonial yang berjiwa feodal. Generasi milenial memerlukan guru PAI yang terbuka, pluralis, dan berwawasan global. Masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tugas Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
Senarai Pustaka
Abdullah, Abdul Rahman Salih, Educational Theory: A Qur’anic Outlook, (Makkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, 1982).
Al-Syaibani, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, terjemah Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Ad-Daqaq, Jamal Faruq Jibril Mahmud, al-Ikhtilaf Bayna al-Muslimin Wa Dhawabithuhu al-Akhlaqiyyah, (Kairo: Kasyidah, 2013).
American Psychological Association, Presidential Taskforce on Psychology in Education, Learner–Centered Psychological Principles: Guidelines for School Redesign and Reform, (Washington DC: Mc Rel, 1993).
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan, “Seberapa Rukun Masyarakat Indonesia? Temuan Indeks Kerukunan Umat Beragama 2017-2019,” Policy Brief (Draf), Nomor 1 (1), 2020. Blin, Arnaud, War and Religion: Europe and the Mediterraniean from the First through the Twenty-first Century, (Oakland, California: University of Californis Press, 2019).
Dawkins, Richard, The God Delusion, (Great Britain: Black Swan, 2007).
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Rencana Strategis 2020-2024 (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2020).
Dweck, Carol S., Mindset: Changing The Way You Think to Fulfil Your Potential, (New York: Robinson, updated edition, 2017).
Foer, Franklin, World Without Mind: Why Google, Amazon, Facebook and Apple Threaten Our Future, (London: Vintage, 2018).
Foresman, Galen A., Peter S. Fosl, dan Jamie Carlin Watson, The Critical Thinking, (Chicester, West Sussex: Wiley Blackwell, 2017).
George, Cherian, Hate Spin: The Manifacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy, (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2016).
Grimmit, M.H., Religious Education and Human Development: The Relationship Between Studying Religion and Personal, Social and Moral Education, (Great Wakering: McCrimmons, 1987).
Harris, Sam, The End of Faith: Religion, Terror, and The Future of Reason, (Great Britain: Free Press, 2006).
Hawking, Stephen, Brief Answer to The Big Questions, (Great Britain: John Murray, 2018).
Hitchens, Christopher, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything, (London: Atlantic Books, 2007).
Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, fourth edition, 1989).
Khalili, Muhammad Anis Musthafa, Fiqh al-Ikhtilaf: Mabadiuhu wa Dhawabithuhu, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, 2011).
Langer, Ellen J., “A Mindful Education”, Educational Psychologist, 28 (1), halaman 43-50.
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, cetakan kedua, Desember 1992).
Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni Dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001).
Mursi, Muhammad Said, `, (Kairo: Daru At-tawzi’ wa Al-Nasyr, 2011)
Muthahhari, Murtadha, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat, dan Potensi Kita, terjemah H. Afif Muhammad, (Jakarta: Citra, 2011).
Mu’ti, Abdul, Pluralisme Keagamaan Dalam Pendidikan Muhammadiyah: Studi Kasus di Ende, Serui, dan Putussibau, (Disertasi, tidak diterbitkan, Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008).
Mu’ti, Abdul dan Azaki Khoirudin, Pluralisme Positif: Konsep dan Implementasinya Dalam Pendidikan Muhammadiyah, (Jakarta: Majelis Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah-Universitas Muhammadiyah Jakarta Press, 2019).
Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Terjemah Nurasiah Fakih Sutan Harahap, (Bandung: Mizan, 2003).
Newberg, Andrew dan Mark Waldman, Born To Believe: Gen Iman Dalam Otak, terjemah Eva Y. Nukman, (Bandung: Mizan, 2013).
Nichols, Tom, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters, (Oxford: Oxford University Press, 2017).
Osman, Mohammad Fathi, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan: Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Terjemah Irfan Abu Bakar, (Jakarta: PSIK Paramadina, 2006).
Pasiak, Taufiq, Tuhan Dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan Spiritual Berdasarkan Neurosains, (Bandung: Mizan, 2012).
PPIM, Policy Brief: Mengapa Badan Standar Nasional Pendidikan Harus Merevisi Standar Isi Muatan Pendidikan Agama Islam? (Jakarta: PPIM-Pusat Penelitian Pendidikan Agama Balitbang Kemenag, nomor 3, Juni 2020).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ketiga, 2002).
Qordhowi, Yusuf, Gerakan Islam: Antara Perbedaan yang Diperbolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, Terjemah Aunur Rofiq Saleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, cetakan ketiga, 1995).
Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid V, (Kairo: Dar al-Hadits, 1996).
Saputra, Rangga Eka, Api Dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z, Convey Report, (Jakarta: PPIM, vol. 1 (1): 2018).
———–, Pelita yang Meredup: Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia, Convey Report 2, (Jakarta: PPIMUNDP, Vol. 2 (1): 2019).
Schmidt, Eric dan Jared Cohen, The New Digital Age: Reshaping The Future of People, Nations and Business, (London: John Murray, 2014).
Schmidt-Leukel, Perry, “Exclusivism, inclusivism and Pluralism” dalam Paul F. Knitter (Editor), The Myth of Religious Superiority: A Multifaith Exploration, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2005).
Sen, Amartya, Identity and Violence: The Illusion of Destiny, (New York. London: W.W. Norton and Company, 2006).
Social Progress Imperative, 2019 Social Progress Index, www.socialprogress.org.
Stiglitz, Joseph E, The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About Them, New York. London: W.W. Norton and Company, 2015).
Tamir, Christine, Aidan Connaughton, and Ariana Monique Sarazar, The Global Divide, (Washington DC: Pew Research Center, 2020).
Tim Penyusun Al-Qur’an dan Tafsirnya Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), Jilid IV, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011).
Tim Penyusun Mushaf Alquran Terjemah Departemen Agama, Al-Qur’an, Transliterasi Latin, Terjemah Bahasa Indonesia, (Jakarta: Suara Agung, cetakan kedua, 2010).
Twenge, Jean M., iGen: Why Today’s Super Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy — and Completely Unprepared for Adulthood, (New York: Atria Paperback, 2018).
Zuhaili, Wahbat, Al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy Al-Qur’an al-Adzim wa ma’ahu Asbab al-Nuzuli wa Qawaidu al-Tartili, (Damaskus, Syuriah: Dal al-Fikr, 1982).
Perundangan-undangan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang PenguatanPendidikan Karakter.
Peraturan Menteri Agama Nomor 16/2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah.
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Penguatan Pendidikan Karakter. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.