PWMU.CO– Membenturkan Muhammadiyah dengan NU adalah warisan dan cara kolonial yang sudah seharusnya ditinggalkan.
Demikian disampaikan Prof Dr Abdul Mu’ti dalam pidato pengukuhan guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Abdul Mu’ti menawarkan pengembangan Pendidikan Agama Islam Plus didasarkan atas lima nilai: ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerja sama untuk menyatukan perbedaan antar kelompok umat Islam.
Masalah khilafiyah, kata dia, acapkali menjadi sumber ketegagangan dan pertentangan di kalangan umat karena berimplikasi langsung atau tidak langsung terhadap amaliah keagamaan, termasuk ibadah mahdhah, muamalah dan akhlak.
”Sesuai dengan nilai kebersamaan, ada beberapa pandangan dan sikap yang perlu dikembangkan. Pertama, mengutamakan kesamaan dibandingkan dengan perbedaan, mengusahakan titik temu di atas titik seteru,” ujarnya.
Terlalu menonjolkan perbedaan, sambung dia, akan membuat umat rentan. Ekspos perbedaan yang berlebihan dan perdebatan trivial yang tidak perlu (jidal) di ruang publik bisa menimbulkan persepsi negatif, anti pati, dan adu domba antar organisasi.
Di tingkat global, umat Islam seakan terbelah antara Sunni dengan Syiah. Di Indonesia, terdapat opini umat Islam terdikotomi dalam Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah.
”Dua organisasi Islam tersebut dihadapkan secara diametral, berkompetisi dan berkonfrontasi sehingga melahirkan kelompok Islam yang tidak Muhammadiyah dan tidak NU,” tuturnya.
Karena itu, kata dia, perlu ikhtiar tiada henti agar dua sayap Islam moderat, Muhammadiyah-NU, dapat bersinergi agar Garuda bisa terbang semakin tinggi. Tinggalkan sikap membenturkan Muhammadiyah dengan NU.
Jangan Asal Beda
Slogan celebriting diversity, merayakan perbedaan yang seringkali dikumandangkan pada pendukung pluralisme bisa memiliki dua implikasi.
Di satu sisi bisa menunjukkan iklim kebebasan dan keterbukaan. Pada sisi yang lain bisa menumbuhkan sikap indifference. Yaitu asal beda, tidak hirau kepada pihak lain.
Kedua, bersikap moderat (tawasuth) dengan menjauhi taashub, ghuluw, dan tatharruf: ekstremisme, idiosyncracy, dan fanatisme golongan yang berlebihan.
Sejarah Islam mencatat bagaimana fanatisme madzhab menyebabkan stagnasi pemikiran, ditutupnya ijtihad, disintegrasi, dan pertumpahan darah. Sebuah pelajaran sejarah yang sangat mahal.
Bersikap moderat berarti mengamalkan adab berikhtilaf yaitu menerima dan mengakui eksistensi kelompok lain, membersihkan diri dari nafsu permusuhan, meninggalkan primordialisme, berpikir positif terhadap kelompok lain, mengambil hal yang baik, tidak mencela dan mencari-cari kelemahan, dan bekerja sama dalam persamaan.
Ketiga, bersikap toleran, saling menghormati, dan tenggang rasa. Toleransi berarti menyadari adanya perbedaan, memahami sebab terjadinya perbedaan, memberi kesempatan pihak lain untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinan, dan—dalam batas tertentu—memfasilitasi, melindungi, serta menjamin keamanan.
Dalam sejarah terdapat teladan bagaimana para ulama madzhab saling menghormati, memuliakan, bahkan dalam beberapa hal mengamalkan pendapat “madzhab yang berbeda”. Untuk membangun harmoni, Islam melarang muslim menghina pemeluk, tuhan, dan simbol agama lain. (*)
Editor Sugeng Purwanto