Risma Factor! Penentuan Cawali Surabaya tulisan Ali Murtadlo, jurnalis senior di Surabaya
PWMU.CO–Pemilihan Wali Kota Surabaya awal Desember 2020 bakal seru dan asyik. Seperti menonton Barca vs Real Madrid. Kandidatnya sama-sama kuat. Terutama dari partai pendukungnya dan suporternya.
Mahfud Arifin (MA) dan Mujiaman Sukirno diusung oleh delapan partai: Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PPP, PKS, Demokrat, dan Golkar. Total delapan partai yang dalam pileg lalu meraih 853.443 suara. Perolehan kursi semuanya 31.
Sedangkan PDIP yang kemarin menetapkan Eri Cahyadi dan Armuji sebagai cawali dan cawawali mengumpulkan 418.873 suara. Perolehan kursi di DPRD Surabaya sebanyak 15 buah. Meski dikerubut oleh delapan partai, PDIP tetap percaya diri karena menjadi partai yang memperoleh suara terbesar dan incumbent.
Partai paling buncit, PSI yang mempunyai 4 kursi di DPRD Surabaya belum menjatuhkan kemana akan berlabuh. Namun tokoh-tokoh Banteng meyakini PSI akan bergabung dengannya.
Dari segi pengantinnya, sama-sama masih rendah tingkat popularitas dan elektabiltasnya. Baik Machfud Arifin-Mujiaman maupun Eri-Armuji. Wakil Walikota Whisnu Sakti Buana dari PDIP yang lebih punya comparative advantage karena menjadi wawalinya Bu Risma, malah disingkirkan. Padahal dia ini bekas Ketua PDIP Surabaya juga.
Lebih parah lagi, jika kelak diehard supporternya ada yang ngambek seperti saat di kantor PDIP Jatim yang sempat protes teriak-teriak dan bahkan pingsan.
Telat Deklarasi
MA yang mantan Kapolda Jatim dan Arek Suroboyo asli punya keuntungan start lebih awal. Sudah silaturahmi ke mana-mana, sudah penggalangan kepada siapa saja. Hanya agak telat mencari pasangannya yang akhirnya jatuh kepada Dirut PDAM Mujiaman Sukirno.
Eri setali tiga uang. Bahkan, menurut saya, lebih parah dibanding MA. Kepala Bappeko yang menjadi anak emas Bu Risma selama ini seperti tenggelam di dapur Pemkot.
Akhirnya, tidak dikenal orang. Armuji yang kini anggota DPRD Jatim dan sebelumnya pernah menjadi ketua DPRD Surabaya lebih lumayan dibanding Eri. Tapi jauh di bawah popularitas Whisnu.
Bu Mega tentu sudah menghitung tentang itu. Bukankah Risma dulu juga begitu ketika diorbitkan Bambang DH? Saya yakin jurus itulah yang dipakai untuk meyakinkan Bu Mega.
Kemenangan telak Risma-Whisnu yang mencapai 86,22 persen melawan Rasiyo-Lucy Kurniasari dari Partai Demokrat, tentu menjadi pertimbangan tersendiri.
Baperan
Risma factor itulah yang menjadi kuncinya sehingga orang sekelas Whisnu yang notabenenya sudah punya bekal popularitas, tersingkir.
Tapi akhir-akhir ini, ketika Risma sudah pintar menikmati dunia politiknya, sudah pandai memainkan buzzer dan influencernya, pada saat yang sama, sebagian warga Surabaya merasa too much terhadap gaya marahnya, gaya menangisnya, gaya bapernya.
Itu terlihat ketika kota ini kewalahan menangani corona dan sebagian warga menghujatnya. Meme bermunculan di mana-mana.
So? Risma factor could be positive, dan juga negatif. Masih banyak waktu menuju ke Surabaya 1. Kita nikmati pertandingannya. Semoga fairplay dan enak ditonton. Yang penting, tujuan utamanya tercapai: kita mendapatkan pemimpin sekelas Risma atau syukur-syukur di atasnya. Salam!
Editor Sugeng Purwanto