Rezeki Mahal di Tengah Covid. Kolom ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Apa rezeki yang sangat berharga—yang kalau dinilai mahal banget harganya—di tengah pandemi Covid-19?
Unuk menjawab pertanyaan itu, kita bahas dulu apa makna rezeki. Selama ini kita memersepsikan bahwa yang disebut rezeki adalah harta benda. Misalnya jika kita mengatakan, “Aku baru saja dapat rezeki.” Ternyata yang dimaksud rezeki dalam pernyataan di atas adalah bonus dari perusahaan.
Pemakanaan rezeki dengan harta benda, tentu tidak salah. Dalam al-Quran sendiri bisa kita dapati pemaknaan seperti itu.
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki. Tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl 71)
Dua Jenis Rezeki
Tetapi benarkah rezeki selalu dalam pengertian materi, harta, atau benda-benda? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak ayat berikut:
“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (al-Hajj 58).
Rezeki dalam ayat di atas, tentu sangat jauh jika diartikan materi, karena rezeki di sini berkaitan dengan orang yang telah mati syahid. Karena itu salah satu tafsir rezeki dalam ayat tersebut adalah surga. Lihat misalnya Al-Quran dan Terjemahnya, terbitan Kemenag.
Salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita juga memberi makna non-material pada rezeki, “Rabbi zidni ilma, warzukni fahma, wajalni minasshalihiin. Ya Tuhanku, berilah aku tambahan ilmu, berilah rezeki berupa kepahaman, dan jadikanlah aku termasuk hambamu yang shaleh. Jadi, rezeki dalam doa di atas berupa kepahaman ilmu.
Penjelasan di atas menjadikan kita paham bahwa rezeki memiliki spektrum yang luas. Qurays Shihab, seorang pakar tafsir al-Quran, mengelompokkan rezeki menjadi dua. Yaitu rezeki aktif dan rezeki pasif. Materi berupa harta benda yang kita miliki adalah rezeki aktif. Sementara kesehatan, kebahagian, pengetahuan dan sebagainya termasuk rezeki pasif.
Meluaskan Syukur
Apa pentingnya kita memahami rezeki dalam spektrum yang luas ini. Pertama, tentu akan meluaskan rasa syukur kita. Mungkin selama ini kita baru bersyukur jika mendapat rezeki berupa uang atau benda-benda fisik. Dan sebaliknya jika kita lagi kesulitan uang, maka kita tidak bersyukur.
Sementara pada saat bersamaan, kita sehat walafiat, keluarga bahagia dengan anak shalih-shalihah. Bukankah itu rezeki yang tak ternilai harganya?
Apalah artinya uang berlimpah, jika tertimpa sakit parah? Kita tak akan pernah bisa merasakan kenikmatan uang itu. Atau malah cepat atau lambat, uang itu akan terkuras demi penyembuhan sakit kita!
Apalah arti uang melimpah jika keluarga berantakan. Ayah dan ibu yang super-sibuk dengan hobi masing-masing dan melalaikan anak-anaknya, yang akhirnya lari pada narkotik?
Jadi, dalam hidup, mungkin Allah memberi kita rezeki aktif tidak melimpah, tapi Allah memberi rezeki pasif berupa kesehatan yang prima. Maka, itu suatu hal yang sangat penting untuk disyukuri.
Mungkin Allah memberi kadar rezeki aktif yang terbatas, tetapi kita dianugerahi kehidupan berumah tangga yang tenang dan damai. Bukankah itu sebuah kenikmatan yang besar?
Konsep Rezeki Sebersih-bersihnya
Kedua, dengan demikian maka rezeki aktif bukanlah satu-satunya tolok ukur kesuksesan atau kebahagiaan. Rezeki aktif bukanlah segala-galanya. Pemahaman ini penting karena jangan sampai kita terpesona dengan rezeki aktif berupa harta benda lantas kita lalai dengan nilai-nilai ketika terseret mengejarnya.
Sebab seringkali dalam memperoleh (baca menumpuk) harta benda, kita mengabaikan etika dan moral. Kita singkirkan halal dan haram, demi harta benda—yang harta benda itu kita bayangkan akan melambungkan martabat kita?
Terlalu banyak contoh bagaimana ending dari orang-orang yang terobsesi oleh kesuksesan harta benda dengan melanggar nilai-nilai. Maka, bukan kebahagiaan yang digapai, bukan pula kesejahteraan dan kesuksesan, melainkan hilangnya martabat diri dan keluarga.
Banyaknya orang-orang yang semula terhormat dan akhirnya masuk bui akibat tindak kejahatan korupsi adalah contoh yang tak terbantahkan.
Ketiga, seperti diajarkan oleh Islam, maka dalam memandang rezeki yang terpenting adalah barakah. Bahasa awamnya, “Biar sedikit yang penting barakah.” Seorang guru sufi memberi nasihat, yang penting soal harta adalah sebersih-bersihnya, dan bukan sebanyak-banyaknya. Rezeki barakah diperoleh dengan kesadaran penuh bahwa semua itu berasal dari Allah:
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman (ar-Rum 37).
Juga rezeki harus diperoleh dengan cara halal dan melibatkan etika kerja, juga etika berusaha. Insyaallah rezeki yang barakah itu akan mengantarkan pada kemanfaatan yang lebih luas, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan; dan jauh dari bencana!
Ini Rezeki Mahal di Tengah Covid
Kini setelah enam bulan kita dilanda pandemi Covid-19, maka terasa sekali jika kesehatan dan keselamatan jiwa adalah rezeki yang mahal. Rezeki yang sangat berharga.
Di Indonesia, per 1 September 2020 jumlah warga yang terinfeksi Covid-19 sebanyak 177.571. Dari jumlah itu yang sembuh adalah 128.057; yang masih dirawat 42.009, dan meninggal dunia 7.705.
Dari yang wafat itu terdapat 200 tenaga kesehatan. Yaitu dokter 102; perawat 76 bidan 10, dokter gigi 7, serta 5 terdiri dari radiografer, apoteker, dan analis laboratorium (Kompas, 4/9/2020).
Yang lebih memprihatinkan, sakit atau meninggal karena virus Corona terbaru itu tidak hanya menimpa fisik. Tapi juga berdampak sosial. Misalnya soal karantina—baik di rumah sakit maupun mandiri di rumah—yang melelahkan; yang tidak saja menyangkut korban, melainkan juga orang-orang terdekat.
Belum lagi dampak psikologis ‘perginya’ tradisi sosial besuk dan melayat pada korban. Dan bahkan munculnya stigma negatif dan lain-lain.
Artinya, sehat dan selamat—juga sembuh—dari Covid-19 adalah anugerah atau rezeki dari Allah yang sangat besar.
Karena itu mari kita syukuri. Caranya: banyak beribadah dan jalankan ikhtiar optimal: hindari kerumunan, pakai masker yang benar, sering cuci tangan dengan sabun. Juga tumbuhkan solidaritas. Bantu korban dan mereka yang terdampak. (*)