Ahmad Dahlan dan Pencarian Kebenaran, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan; tinggal di Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Dalam hal keyakinan, tak mudah bagi banyak orang untuk mengubahnya. Tentang ini, al-Quran menjelaskannya. Bahwa, ketika Islam datang, banyak yang masih berpegang kuat kepada agama nenek moyang. Maka, terkait ini, menarik jika kita ikuti pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam hal menetapkan keyakinan.
Manusia dan Keyakinan
Sejak dahulu, dalam keyakinan, sangat banyak manusia yang hanya taqlid yaitu sekadar menirukan tingkah laku orang lain. Pihak yang ditiru bisa orangtua, guru, teman, atau masyarakat di sekitarnya.
Hal yang demikian ini, tergambarkan di dalam al-Quran: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’. Mereka menjawab, ‘(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan, apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (Luqman 21).
Seperti telah menjadi tabiat manusia, banyak di antara mereka yang menilai bahwa apa-apa yang telah diterimanya, termasuk dalam keyakinan, itulah yang benar. Sementara, yang selain dari itu dianggap salah. Bahkan tak berhenti di situ, dinilai pula sebagai musuh.
Atas anggapan bahwa hanya keyakinannya saja yang benar dan untuk itu harus dibela, maka mereka mencari-cari alasan atau dalil. Tujuannya, sekadar memertahankan bahwa apa yang telah diterima itu benar dan menolak serta tidak memedulikan alasan atau dalil sekuat apapun jika itu berasal dari “seberang”. Mereka merasa nyaman dengan apa yang selama ini telah dipegangnya.
Sebuah Catatan
Di dalam al-Quran ada ilmu dan petunjuk yang terang bagi manusia. Misalnya, di dalam al-Quran ada konsep ketuhanan yang jelas sehingga tak perlu menebak-nebak dalam ketidakpastian. Tapi, atas pedoman hidup yang menyelamatkan itu, banyak manusia yang bergeming dalam ketidakpercayaan. Mereka masih memegang dongeng atau tahayul tentang Tuhan tanpa hendak memergunakan akal untuk bersikap kritis.
Kecenderungan banyak manusia yang seperti itu, tak luput dari perhatian Ahmad Dahlan yang menyatakan: “Manusia itu kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa.
Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk diubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan (i’tiqad), perasaan, kehendak maupun amal perbuatan.
Kalau ada yang akan mengubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar” (KRH Hadjid, 2013: 17).
Saran Ahmad Dahlan
Mengingat bahwa keyakinan adalah hal yang sangat fundamental—yaitu berakibat kepada keselamatan dunia dan akhirat—maka wajib bagi setiap orang untuk menjatuhkan pilihan secara matang dan sepenuh tanggung jawab.
Terkait cara memilih keyakinan, Ahmad Dahlan punya resep yang baik. Kata Ahmad Dahlan, “Orang yang mencari barang yang haq, kebenaran, itu, perumpamaannya demikian: Seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen. Pihak yang beragama Islam membawa Kitab Suci al-Quran dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bibel (Perjanjian Lama dan Baru).
Kemudian kedua Kitab Suci itu diletakkan di atas meja. Lalu kedua orang tadi mengosongkan hatinya, kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun.
Seterusnya, bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Lagi pula pembicaraannya dengan baik-baik, tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterusnya.
Demikianlah, kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi sebagian besar dari manusia hanya menurut anggapan-anggapan saja, diputuskan sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya itu dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya” (KRH Hadjid, 2013: 19-20).
Dari nasihat Ahmad Dahlan di atas, terasa jika kita harus benar-benar bisa keluar dari kungkungan nilai yang bersifat subjektif. Dengan hati dan pikiran jernih, kita harus “Mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran”. Untuk itu, gunakanlah akal.
Di awal proses pencarian keyakinan, posisi “hati dan pikiran jernih” memang sangat kita perlukan. Hal ini, karena pada kebanyakan manusia, ada semacam bawaan yaitu “Membenci kepada yang tidak diketahuinya”.
Setelah Kebenaran Datang
Di antara yang bisa memengaruhi keyakinan sesorang adalah keberadaan thaghut. Siapa thaghut? “Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah”, demikian penjelasan di Terjemahan al-Quran terbitan Kementerian Agama.
Sementara, menurut Hamka, thaghut adalah orang yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sangat berkuasa, sehingga dapat menyamai kekuasaan Allah (Tafsir Azhar, 2007: 6259).
Dalam menetapkan keyakinan, kita harus berlepas diri dari pengaruh thaghut. Perhatikanlah petunjuk az-Zumar 17-18 ini: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku (ayat 17).
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (ayat 18).
Jika akal sudah bisa membandingkan secara benar—antara ajaran thaghut dengan dengan ajaran Allah—lalu mereka memilih ajaran Allah, maka itulah sikap yang paling baik. Mereka beruntung mendapat petunjuk Allah karena bisa mengganakan akal dengan baik.
Mari buka asbabun nuzul, sebab-sebab turunya al-Quran. Dalam sebuah riwayat, yang dimaksud ‘Orang-orang yang menjauhi thaghut‘ pada ayat az-Zumar 17 adalah Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, dan Zaid bin ‘Amr bin Nafil, yang telah mengaku bahwa ‘Tiada Tuhan kecuali Allah’.
Pengakuan ketiganya itu sekaligus deklarasi bahwa mereka sudah melepaskan diri dari belenggu jahiliyah setelah datang kebenaran yaitu Islam.
Akal dan Rasa
Dalam masalah keyakinan, gunakan akal, kedepankan sikap kritis. Mari bayangkan, bagaimana akal Salman Al-Farisi membenarkan Al-Hijr 43 yang lalu diikutinya dengan perasaannya yang tersentak.
Tersentak, sebab khawatir bahwa apa yang dilukiskan di ayat itu menimpa dirinya. Adapun al-Hijr: 43 itu berbunyi: “Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya” (al-Hijr 43).
Dalam sebuah riwayat, ketika Salman Al-Farisi mendengar ayat itu, dia lari selama tiga hari menjauhkan diri dari orang karena takut. Hal itu dilakukannya seperti orang yang tidak sadar, sekali lagi, karena disebabkan rasa takutnya yang tinggi.
Setelah itu dia dipertemukan dengan Rasululah SAW. Di depan Nabi, Salman Al-Farisi menyampaikan, “Ya Rasulullah, dengan turunnya ayat ini—Al-Hijr 43—terasa putuslah jantungku.”
Allah lalu menurunkan ayat selanjutnya yang menegaskan bahwa bagi kaum yang bertakwa disediakan surga yang nyaman. “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): ‘Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman’.” (al-Hijr 45-46).
Kritis dan Terbuka
Manusia itu perlu sekali mendengarkan banyak berita baik. Dari siapa saja datangnya kabar baik, harus kita dengar. Berbagai ilmu jangan sampai kita tolak, hanya karena-misalnya-berasal dari “pihak lain”. Hal yang terbaik, terimalah semua ilmu atau kabar baik itu, kemudian endapkan. Lalu, pikir sedalam-dalamnya sebelum pada akhirnya dipilih yang benar.
Terutama ketika berada dalam situasi “hendak memilih”, doa yang biasa kita lantunkan berikut ini diulang-ulang lagi. “Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami yang haq itu haq. Kemudian, kami mengharap karunia-Mu supaya kami dapat mengikuti yang haq itu. Yaa Allah, perlihatkanlah kepada kami yang bathil itu bathil. Lalu, kami mengharap karunia-Mu agar dapat menjauhinya.”
Ahmad Dahlan dikenal kritis. Sebagai pribadi yang beriman, beliau tak rela berada di bawah tradisi masyarakat yang bertabrakan dengan syariat Islam. Atas masyarakat yang masih terbelenggu dengan ajaran-ajaran yang tak berdasar, beliau beri taushiah dan hikmah. Ahmad Dahlan juga dikenal terbuka. Sebagai pribadi yang bertakwa, beliau sering menggunakan metode diskusi dalam menemukan kebenaran dan menetapkan keyakinan.
Membaca pribadi Ahmad Dahlan, kita seperti menemukan contoh yang baik atas pengamalan an-Nahl 125 ini: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (*)
Ahmad Dahlan dan Pencarian Kebenaran; Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Ahmad Dahlan dan Pencarian Kebenaran ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 1 Tahun ke-XXV, 4 September 2020/16 Muharam 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.