“Di sini kita tidur di atas tikar belaka. Ini latihan hidup sederhana. Kita akan makan hasil masakan sendiri. Mencuci piring sendiri, mencari kayu sendiri, mengambil air sendiri dari mata air. Segala pekerjaan harus kita kerjakan bersama untuk latihan hidup bersama dalam tatanan saling menolong. Betapapun kantuk menguasai diri, kita harus siap dibangunkan menerima giliran jaga. Nah sekarang kalian boleh melepas lelah kecuali yang kena giliran jaga.”
Di malam yang hening, di kaki bukit yang dingin, di bawah bintang yang berkelip, pesan-pesan Soedirman itu masuk jauh ke relung hati para pandu remaja itu. Malam semakin larut udara semakin dingin. Mereka yang tidak tugas jaga sudah masuk kemah menghindari dingin dan melepas lelah.
Seorang anggota HW tengah malam mendatangi tenda Soedirman. “Mas Dirman, tidak tidur di tenda kami saja? Lebih hangat.” Tenda Soedirman memang lebih tipis dan sederhana. Pasti dingin. Yang tebal untuk anggota yang lain. “Terima kasih, biar di sini saja. Selamat tidur,” jawab Soedirman.
Ia tidak tidur karena dingin. Lalu dibukanya ransel dan dikeluarkan Alquran. Ia melawan dingin dengan mengaji dan terus mengaji. Gerimis mulai turun menambah dingin. Sebagian pandu ada yang tak tahan lalu pindah ke rumah penduduk. Tenda Soedirman basah kuyup. Pertugas jaga mendekati tenda Soedirman. Ia menunggu Soedirman selesai mengaji, lalu menawari pindah ke tenda yang hangat atau ke rumah penduduk.
“Biarlah aku tetap di sini. Ini latihan, Dik. Di belakang hari boleh jadi kita akan mengahdapi penderitaan yang lebih berat daripada rasa dingin ini. Selamat berjaga,” jawab Soedirman.
baca sambungan di hal 3 …