Tahun duka cita: saat Nabi kehilangan sang perisai Abu Thalib, pelindung ancaman dari luar, dan sang Dinamo Khadijah, penggerak perjuangan dari dalam.
PWMU.CO – “Merdeka” dari pemboikotan tidak membuat Rasulullah SAW serta-merta bersuka cita. Sebab selepas tiga tahun (616–619) diboikot, Rasulullah SAW kembali diuji oleh peristiwa yang sangat menyedihkan. Paman beliau, Abu Thalib (80), meninggal dunia.
Tentu, meninggalnya Abu Thalib sangat berpengaruh pada Rasulullah, baik sebagai pribadi, kemenakannya, maupun dalam kedudukan-Nya sebagai pembawa dan penyebar ajaran Islam.
Hal ini bisa dipahami dengan melihat posisi Abu Thalib dalam kancah kehidupan dan perjuangan Rasulullah. Abu Thalib adalah semacam perisai bagi Nabi dari serangan musuh dari luar. Abu Thalib adalah penjaga keamanan dan keselamatannya.
Memang—meminjam H. Fuad Hasyem—sepintas Abu Thalib telah melakukan sesuatu yang aneh. Ia membiarkan Rasulullah membangun masyarakat baru yang bakal menelan masyarakatnya sendiri.
Abu Thalib telah membiarkan Islam tumbuh sambil pelan-pelan ia lenyap di bawah bayang-bayang ajaran tahuid yang dibawa Rasulullah SAW. Dengan kata lain, Abu Thalib telah melakukan sebuah paradoks: melindungi Islam yang nantinya akan melenyapkan sistem ia sendiri.
Dilema Abu Thalib
Tetapi itulah Abu Thalib. Ia tidak punya pilihan lain. Ia tak kuasa membendung ajaran Islam; tak kuasa menghadapi Muhammad SAW, meskipun berkali-kali ia coba. Berkali-kali Abu Thalib dibujuk dan diintimidasi oleh kaum kafir Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi; namun terbukti ia tidak mampu melakukannya.
Ini misalnya bisa kita lihat dari salah satu episode dilematis yang dialami Abu Thalib, seperti dikutip Muhammad H. Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (Litera AntarNusa, 2002):
Suatu saat Quraisy meminta ketegasan Abu Thalib, “Abu Thalib, engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah meminta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tetapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita—sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”
Mendapat intimidasi semacam ini Abu Thalib berupaya untuk membujuk Nabi, “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.” Pernyataan yang menunjukkan keraguan sekaligus kepasrahan Abu Thalib terhadap tuntutan kaummnya dan membiarkan Rasulullah diadili oleh kaum kafir Quraisy.
Tetapi mendapati Muhammad SAW tetap tegar dengan kebenaran yang dibawanya—seperti yang terucap dari beliau, “Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”
Mantab Lindungi Nabi
Abu Thalib gemetar dan terpesona mendengar jawaban Nabi tersebut. Namun ia bingung antara dua pilihan: menghadapi intimidasi kaumnya dan ketegaran kemenakannya itu. Tiba-tiba ia berkata, “Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”
Maka Abu Thalib dalam sejarah dikenal sebagai pembela Rasulullah. Karena sesungguhnya ia percaya akan kejujuran Muhamamd SAW dan yakin akan kebenaran misi yang dibawanya.
Tetapi ini mungkin satu misteri sikap Abu Thalib. Dari pendiriannya selama ini, ia mestinya telah memeluk Islam. Kalaupun toh tidak dilakukannya—seperti dilaporkan kebanyakan sejarawan—maka ia bagaikan jadi sasaran tembakan silang: dijauhi para pembesar Quraisy, dikagumi para pengikut Islam; tetapi disesalkan oleh kedua belah pihak.
Nah, kepergian Abu Thalib dalam posisi dan perannya seperti itu membuat Rasulullah sangat terpukul, karena ia kini jadi rentan, posisinya lemah, tiada lagi dukungan moril dan kekuatan
“Sang Dinamo” Khadijah
Duka cita belum lagi hilang, kesedihan kembali datang. Saat Khadijah meninggal dunia. Nabi sangat terpukul. Khadijah, adalah istri yang memberikan kasih sayang, yang menguatkan dan mendinginkan hatinya.
Jika Abu Thalib adalah perisai atas serangan musuh dari luar, maka Khadijah bagaikan dinamo, yang menggerakkan kekuatan dari dalam diri Rasulullah.
Khadijah cermin dari sejarah panjang nan berat di awal masa-masa perjuangan Nabi. Dari seorang janda kaya terkemuka ketika dinikahi Muhammad, berubah menjadi seorang ibu tua yang “dimiskinkan” oleh perjuangan suaminya. Ia adalah wanita pemeluk Islam pertama yang tak pernah mencicipi kejayaan yang dibawa oleh suaminya pada dasawarsa kemudian.
Bagi Rasulullah, kepergian Khadijah berarti kehampaan. Sebab, Khadijah adalah pelipur ketika kegundahan datang menghadang. Tengoklah misalnya, episode ketika Muhammad kali pertama menerima wahyu, seperti yang dikutip Muhammad H. Haikal:
Rasulullah SAW kembali dari ber-tahannuth. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil berkata, “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya.
Dengan penuh kasih sayang dan ketulusan hati, Khadijah memberikan dorongan semangat.
“Oh putra pamanku. Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah tidak akan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Mendengar kalimat-kalimat lembut itu, Rasulullah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh rasa kasih.
Detik-Detik Wafatnya Khadijah
Memang, kehadiran Khadijah sangat berarti bagi Nabi. Maka, di saat-saat kepergiannya, Rasulullah menunggui di tepi ranjangnya. Dengan hidup dan mati menggeletak samping-menyamping dan hanya dibatasi garis tipis seperti ini, Rasulullah barangkali dapat merasakan betapa besarnya nilai Khadijah, secara lebih gamblang dan tajam.
Bahwa tujuan akhir kehidupan rumah tangga bukan kekayaan, karena Khadijah telah mengorbanknnya. Bukan reputasi dan keharuman nama, karena ini pun telah luntur sejak mereka diejek dan dinista kaum kafir Quraisy.
Di saat-saat begini, mungkin perasaan Rasulullah guncang: bagaimana kalau garis tipis ini sirna dan Khadijah meninggalkannya? Tetapi Nabi sadar betul bahwa Tuhan menciptakan makhluk dengan umur terbatas.
Tiada penyesalan karena istrinya telah memberikan segalanya. Rasululah menatap wajah pucat istrinya. Sekonyong-konyong pembatas hidup dan mati itu membaur. Khadijah menarik napas terakhir.
Lengkaplah duka yang menimpa Rasulullah SAW. Dalam waktu sebulan, dua pilar dalam dakwahnya telah pergi meninggalkannya. Rasulullah sangat berduka, sehingga tahun itu disebut Tahun Duka Cita (Aamul Huzni). (*)
Tahun Duka Cita: Saat Nabi Kehilangan Perisai dan Dinamo; Penulis/Editor: Mohammad Nurfatoni.