PWMU.CO– Ujaran Puan Maharani, politikus PDIP yang juga Ketua DPR membuat pernyataan sensitif tentang Sumatera Barat.
”Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila,” begitu pernyataan Puan Maharani saat penyerahan rekomendasi kepala daerah Sumbar, Rabu (2/9/2020) lalu.
Pernyataan itu memantik kecaman kepada anak Megawati Soekarnoputri ini. Karena pernyataan itu mengandung pengertian warga Sumatera Barat selama ini bukan pendukung Pancasila.
Orang-orang PDIP merasa paling Pancasila. Itu tampak dari pernyataan dan jargon yang dikeluarkan. Misalnya dulu ada jargon: Saya Pancasila, Saya Indonesia. Tapi korupsi dan kemiskinan terus berlangsung hingga kini.
Padahal yang diperlukan bukan jargon tapi melaksanakan cita-cita Pancasila oleh penguasa dalam seluruh kebijakannya sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Karena Bung Karno dianggap penggali Pancasila maka anak keturunannya merasa yang paling paham tentang Pancasila. Bahkan PDIP menganggap Pancasila itu lahir 1 Juni 1945 saat pidato Bung Karno di BPUPKI.
Konsep Pancasila yang dianut PDIP juga sesuai pidato Bung Karno yang bisa diperas jadi Trisila dan Ekasila. Padahal dokumen resmi negara rumusan yang disebut Pancasila itu baru final rumusannya dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Dokumen ini juga tidak mencantumkan tentang peras memeras Pancasila.
Sebenarnya nama Pancasila sendiri tidak ada dalam Pembukaan ataupun Batang Tubuh UUD 1945. Dalam alinea terakhir Pembukaan UUD 1945 berbunyi … susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Mahaesa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hanya begitulah redaksinya. Tak ada kata Pancasila. Dicari di slempitan alinea Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 tak bakal ditemukan. Hanya kita sepakat tidak tertulis bahwa dasar negara itu disebut Pancasila. Seandainya ada orang yang menyodorkan istilah lain bukan berarti dia itu radikal, intoleran, apalagi dituduh pendukung khilafah.
Hasil Pemilu di Sumbar
Ujaran Puan Maharani itu sebenarnya cermin frustasi orang PDIP terhadap hasil Pemilu di Sumatra Barat. PDIP kalah di provinsi itu. Hasil suaranya kecil meskipun secara nasional jadi pemenang Pemilu.
Pemilu 2019, di DPRD Sumbar dari 65 kursi, PDIP hanya dapat 3 kursi. Bandingkan dengan Gerindra 14 kursi. Lalu PKS, PAN, dan Demokrat 10 kursi. Bandingkan dengan Nasdem, partai baru, juga dapat 3 kursi.
Lebih kecewa lagi di DPR RI tak ada wakil rakyat dari PDIP Sumatera Barat hasil Pemilu 2019. Pada Pemilu 1999, PDIP dapat dua kursi DPR. Pemilu 2004 dan 2009, sama sekali tak mendapat kursi DPR.Pemilu 2014, raih satu kursi.
Suara Pemilihan Presiden untuk jago PDIP juga kalah. Pilpres 2014, Prabowo-Hatta Rajasa dapat 1.797.505 suara. Capres-cawapres dukungan PDIP Jokowi-Jusuf Kalla mendapatkan 539.308 suara.
Pilpres 2019, Prabowo-Sandi memperoleh suara 2.488.733, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin meraih 407.761 suara.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga heran kenapa rakyat Sumatera Barat belum menyukai partainya. ”Seperti Sumbar itu saya pikir kenapa ya, kenapa ya, kenapa rakyat Sumatera Barat sepertinya belum menyukai PDIP?” kata Megawati saat memberikan pengarahan kepada calon kepala daerah dari PDIP secara virtual, Rabu (2/9/2020).
Pemilihan Gubernur
Sumatera Barat yang dipimpin Gubernur Irwan Prayitno dari PKS selama sepuluh tahun juga menjadi sentimen politik bagi orang-orang PDIP. PKS, di mata orang-orang sok nasionalis dicurigai bakal memberlakukan syariah Islam dan pendukung khilafah. Ini stigma untuk musuh politik di zaman rezim sekarang.
Seperti penilaian politikus PDIP Zuhairi Misrawi. Menurut dia, pernyataan Puan Maharani harapan agar Pancasila benar-benar membumi dalam laku keseharian dan kehidupan berbangsa. Sebab, Provinsi Sumatera Barat setelah 10 tahun dipimpin PKS berubah total.
”Banyak kader PKS yang memprovokasi masyarakat untuk menolak kepemimpinan Pak Jokowi. Padahal Presiden Jokowi adalah Presiden Indonesia yang menaruh perhatian besar terhadap kemajuan Sumatera Barat,” ujar Gus Mis, panggilan dia, seperti ditulis detik.com.
Menurut alumnus Universitas Al Azhar Mesir ini, sepuluh tahun di bawah kepemimpinan PKS tidak ada kemajuan fundamental. Fakta yang ada, intoleransi dan politik identitas berkembang di wilayah yang masyarakatnya dikenal terbuka.
Sekarang gara-gara pernyataan Puan itu kandidat Gubernur-Wakil Gubernur Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan dari PDIP. Akibatnya Partai Banteng ini tak ikut kontestasi Pilkada 2020.
Pasangan kandidat ini cukup diusung oleh Partai Demokrat dan PAN yang masing-masing punya 10 kursi. Daripada blunder dan mengurangi perolehan suaranya akibat ujaran Puan Maharani, maka lebih memilih tanpa dukungan PDIP yang suaranya kecil. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto