Salah Bicara Gampang Obatnya tulisan Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Saya termasuk yang tidak aman jika bicara. Baik bicara yang enteng-enteng kepada isteri, saat bertanya di suatu seminar, menegur teman kantor, atau memberi ceramah.
Buktinya, saya sering diberitahu isteri kalau tadi ada kata-kata yang tidak pas untuk disampaikan. Bisa menyakiti yang bersangkutan. ”Tak usah menyebut orang. Contoh yang umum saja,” kata nyonya saat mengomentari kultum saya.
Saya menyadari itu. Background saya yang wartawan terbiasa menulis apa adanya, sering terbawa pada saat berbicara. Cenderung straight to the point. Kurang ada bunga-bunganya sehingga tidak menohok langsung. Tidak bikin panas di telinga dan dada.
Ketika makin berumur ini, saya menyadari bahwa saya punya beberapa koleksi salah bicara. Saya sangat menyesalkan itu. Karena itu, saya sangat setuju dengan nasihat rasul: bicaralah yang baik atau diamlah.
Untungnya saya bukan siapa-siapa. Bukan pejabat publik. Bukan seperti Mbak Puan Maharani yang Ketua DPR RI yang sedang jadi rasanan orang-orang Minang. Salah bicara saat mengumumkan cagub-cawagub Sumbar untuk Pilkada 2020.
”Rekomendasi diberikan kepada Ir Mulyadi dan Drs H Ali Mukhni. Merdeka! Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila,” kata puteri Ketua Umum PDIP Megawati ini.
Tidak pakai lama, ujaran Puan itu langsung heboh, gaduh. Orang Minang tersinggung. Beberapa ada yang melaporkannya ke polisi. Bahkan Mulyadi dan Ali Mukhni yang dapat rekomendasi memilih mengembalikannya. Takut mengganggu suara mereka di pilkada nanti.
Minta Maaf
Terpeleset itu lumrah. Human being, manusiawi. Bahkan ada pepatahnya: al insanu mahallul khatha’ wa al nisyan, manusia tempatnya salah dan lupa. Hanya sayangnya, tidak segera minta maaf. Padahal salah satu ciri masyarakat kita gampang memaafkan dan melupakan.
Sekelas Mbak Puan mestinya harus ada konsultan PR, public relations-nya. Dan, PR hebat bisa meng-encourage untuk segera mengklirkan itu dengan minta maaf. ”Apology has the ability to disarm others of their anger and to prevent further misunderstandings. Minta maaf punya kemampuan untuk menurunkan kemarahan dan kesalahpahaman lebih lanjut,” tulis Beverly Angel, dalam Psychology Today.
Saya tidak mengkritisi politik dinasti yang lagi marak sekarang ini. Yang saya sayangkan jika yang didorong maju itu kurang siap mental dan kemampuan. Akibatnya, banyak menimbulkan kegaduhan.
Di zaman Pak Harto dulu, rasanya, pemimpin yang diorbitkan harus sudah melewati berbagai jenjang. Tidak ada pemimpin yang ujug-ujung, tiba-tiba. Paling tidak, mereka yang jadi pemimpin nasional maupun daerah, sudah pernah ikut Lemhannas. Di situ mereka ditempa, selain ketahanan, strategi kepemimpinan, juga communication skill.
Tahapan Lemhannas inilah yang sekarang di-by pass. Mumpung peluang lagi terbuka selebar-lebarnya, siap tidak siap dijalani dulu. Belajar sambil berjalan. Risikonya: menabrak-nabrak. Jika sudah begini, yang kasihan ibu pertiwi. Kapan majunya. Salam!
Editor Sugeng Purwanto