Raden Musaid Werdisastro, Orang Muhammadiyah Penulis Babad Sumenep tulisan Bahrus Surur-Iyunk, Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumenep.
PWMU.CO-Raden Musaid Werdisastro adalah orang yang berani mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di Madura. Di Kota Sumenep tahun 1927.
Dia mengajak bangsawan berpikiran maju yang menjadi teman dekatnya untuk menjadi pimpinan persyarikatan. Seperti R. Wiryoatmodjo, R. Tjitrowidjojo, dan M. Ismail Sosrosoegondo, guru HIS.
Peresmian organisasi bertempat di pendapa rumahnya di Bangselok. Dihadiri beberapa santri dan pegawai. Setelah Muhammadiyah berdiri terus mengadakan pengajian rutin yang dihadiri anggota. Penceramah dari pimpinan, kadang mengundang dari luar kota.
Dakwah Muhammadiyah di Madura sebenarnya sudah masuk awal tahun 1920-an. Huub de Jonge, antropolog asal Belanda dalam penelitiannya mencatat, Muhammadiyah sudah masuk di daerah Prenduan, Pragaan.
Terjadinya pertentangan dengan ulama setempat tentang fikih menjadikan Muhammadiyah tidak berkembang pesat. Lalu pengajiannya berpindah tempat ke Kota Sumenep sekitar 1926 dimotori oleh H. Muhd. Ali Sastronegoro. Tempatnya di rumah Raden Musaid. Musaid mengenal Muhammadiyah dari kerabatnya di Surabaya yaitu KH Mas Mansur.
Pengajian dibina oleh mubalig K. Moh. Fanan dari Magelang. Tapi kemudian dia pindah ke Jember dan meninggal di sana. Lantas pengajian diisi oleh mubaligh Sumenep KH Abusuja’ ceramah setiap malam Rabu, dan KH Zaenal Arifin pada malam Sabtu.
Pada masa ini pengajian rutin dihadiri 50-60 orang diadakan dua kali sepekan. Setiap bulan dihadirkan pembicara dari Yogyakarta dan Surabaya. Tapi pengajian ini hanya berlangsung setahun. Bubar karena perbedaan paham dan pemikiran di antara jamaah pengajian.
Perbedaan itu terutama memahami makna ar-ruju’ ila kitabillah wa sunnati rasulillah, kembali kepada al-Quran dan sunnah Rasul, madzhab, dan penafsiran bid’ah.
Mohammad Saleh
Pengajian berikutnya hanya dilakukan oleh anggota yang sepaham seperti M. Ismail Sosrosoegondo dan belasan warga lainnya. Ketika tahun 1928, M. Ismail dipindah keluar kota, pada rentang tahun 1929-1931 sudah mulai muncul generasi muda.
Aisyiyah, Hizbul Wathan, Taman Pustaka mulai dibentuk. Juga pendirian ranting di Ambunten, Pasongsongan, Pasean, Tanjung Saronggi, dan Pakong.
Muhammadiyah juga mengubah kebiasaan masyarakat memberikan zakat fitrah berupa beras kepada kiai, kini diberikan langsung kepada fakir miskin. Perubahan seperti ini juga menjadi rasanan sebagai pembawa paham baru.
Pada tahun 1931 hingga masuknya penjajahan Jepang, Muhammadiyah mulai mendapatkan kader-kader muda potensial berpendidikan. Seperti R. Mohammad Saleh Werdisastro, putra Musaid. Saat itu dia menjadi kepala HIS Partikelir Sumekar Pangabru di Sumenep.
Kader lain R. Sedonegoro, kepala SD Pangarangan, Abdur Rahman Wongsodiredjo. Mohammad Saleh terpilih sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah dan R. Musaid Werdisastro sebagai penasihat.
Tapi Mohammad Saleh akhirnya meninggalkan Sumenep dan berkarier sukses di luar kota. Dia menjadi ketua Komite Nasional Daerah Yogyakarta, Wakil Walikota Yogya, lalu menjadi Wali Kota Solo hingga Residen Kedu.Meninggal 14 Mei 1966 umur 64 tahun.
Babad Soengenep
Raden Musaid adalah cicit sastrawan Sumenep, R. Kiai Abdurrahman Werdisastro. Dia mendapat pendidikan mantri hewan di Solo. Di masa awal pernikahannya dengan Aminatuzzuhra, hidupnya masih pas-pasan. Bekerja serabutan. Kadang ikut borongan membangun rumah di Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan.
Istrinya bekerja membuat kain batik. Keluarga ini memiliki empat putra yaitu R. Sulaiman, Mariyatul Kibtiyah, R. Abdullah dan Muhammad Saleh.
Sejak muda Musaid gemar membaca. Punya koleksi buku agama dan sejarah sangat banyak. Ia pecinta budaya, sastra dan sejarah. Salah satu minatnya adalah mempelajari naskah-naskah yang tersimpan di keraton dan menulis cerita lisan sejarah Sumenep.
Lewat penelitian naskah kuno dan wawancara akhirnya tersusunlah Babad Soengenep. Isinya sejarah dan legenda raja-raja Sumenep mulai Pangeran Mandaraga di abad 13 hingga Pangeran Ario Mangkudiningrat abad 19. Diceritakan pula legenda Joko Tole dan Gajah Mada.
Babad ini ditulis dengan huruf Jawa berbahasa Madura. Babad Soengenep diterbitkan oleh Balai Pustaka di Batavia pada tanggal 15 Februari 1914. Honor menulisnya sangat besar. Sebanyak 2000 gulden.
Dari modal uang honor itu Musaid bisa membeli sawah. Sawah ini terus dikelola hingga berkembang mencapai 13 hektare luasnya. Hidupnya jadi meningkat kaya. Hasil panen melimpah. Lalu mengamalkan surat al-Maun dengan memberi beras kepada fakir miskin. Menjamin makanan para jamaah waktu pengajian. Dengan kekayaannya itu pula gerak dakwah Islam dihidupkan.
Walaupun demikian Muhammadiyah sampai kini belum menjadi dominan di Pulau Garam. Hingga muncul anekdot, orang Madura itu 90 persen muslim, sisanya Muhammadiyah. (*)
Editor Sugeng Purwanto