PWMU.CO – Ada tapak kaki yang tak pernah hilang. Para tapak kaki pencari kebenaran. Tapak kaki Rasul dan Sahabat-sahabtanya. Tapak penuh darah penderitaan untuk merengkuh ‘kebenaran’ yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. Dan penderitaan itu, tidak hanya sekedar di kaki dan di badan, tetapi yang lebih menyakitkan lagi, rasa sakit itu ada di dalam dada. Di dada seorang yang hatinya selalu diselimuti dengan kelembutan dan kedamaian.
(Baca: Hijrah Mengajarkan, Tidak Ada Jalan Buntu dalam Kehidupan Ini)
Perjalanan penuh dengan kepedihan, sekaligus harapan. Rasul dan para Sahabat rela meninggalkan tanah kelahiran, tanah yang dicintainya. Tanah leluhur dan tanah awal mula paham tauhid dikibarkan melalui dada seorang hamba bernama Muhammad.
Medinah menjadi tanah penuh harap, setelah tertatih dan terusir dari Thaif. Tanah Yatsrib menjadi impian selanjutnya, mengerek paham tauhid untuk selalu berkibar. Mekah – Medinah bukan jarak yang dekat. Tetapi iman menjadi penguat impian Rasul dan Sahabat. Kekuatan iman mereka menjadi penompang kekuatan fisik. Kekelahan menjadi irama perjalanan yang selalu mengajak mereka menyenandungkan lagu impian untuk tiba di tanah harapan. Bertemu dengan saudara-saudara baru.
Perjalanan melalui tanah tandus seakan berubah oase yang menyejukkan ketika peluk haru bercampur peluh dalam dekapan kaum Anshar: menyambut saudaranya kaum Muhajirin. Persahabatan mulai terangkai. Persaudaran pembawa impian akan segera terwujud untuk membela agama Tauhid.
Sejak saat itu, Medinah menjadi titik sejarah perkembangan agama Tauhid yang tidak boleh dilupakan. Ke-tauhid-an yang diajarkan Rasul dan para Sahabat tidak hanya berkutat pada bidang keagamaan saja. Tetapi meluas pada bidang-bidang lainnya: politik dan perekonomian. Pada saat itu peradaban Islam menjadi embrio sinerigitas antara dzikir dan pikir.
Umar bin Khatab, Sahabat Nabi dan seorang khalifah besar dengan ijtihad-ijtihadnya, menyadari bahwa hijrah Nabi saw harus menjadi sumber motivasi bagi kaum muslimin. Umar bin Khatab menjabarkan kepada para Sahabat bahwa tonggak sejarah tidak hanya harus selalu dikenang tetapi yang lebih utama, hijrah Rasul ke Medinah harus menjadi perpustakaan hidup dan kehidupan. Harus terjaga dengan rapih dan dipelajari sebagai proses perjuangan tiada henti Rasul dan Sahabatnya.
Esensi pemilihan hijrahnya Rasul serta sahabat ke Medinah oleh khalifah Umar Bin Khatab sebagai tahun baru Islam bukan hanya sekedar pilihan acak semata dari beberapa pilihan yang ada.
Umar Bin Khatab, salah satu khalifah besar Islam dengan visi dan misinya jauh kedepan, memotivasi para sahabat bahwa pemilihan hijrah sebagai tahun baru Islam diharapkan mampu menjadi penyemangat awal bagi muslimin untuk selalu mau meneruskan kibaran bendera kebesaran Islam yang telah dibentangkan oleh Rasul dan para Sahabat.
Dan kibaran bendera itu sekarang di tangan kita hingga hitungan ke-1438. Di balik hitungan angka yang begitu panjang, insyaallah masih terngiang di telinga kita derap langkah kaki Rasul dan Sahabat melewati padang tandus untuk menggapai suatu harapan. Insyaallah indra penciuman kita, masih mencium aroma keringat perjuangan Rasul dan Sahabat yang tak pernah kering membasahi semangat kaum muslim menegakkan panji-panji kebesaran Islam.
Insyaallah tubuh kita ikut merasakan kehangatan peluk dan cium yang tulus dari saudara-saudara Anshar kepada saudara-saudara barunya kaum Muhajirin sebagai tonggak ukhuwah islamiyah.
Dan, sebenarnya masih banyak lagi harapan Umar Bin Khatab terhadap kaum muslimin untuk mengenang, melanjutkan, dan mempelajari makna perjalanan impian sahabat tercintanya, Muhammad saw: menyusuri padang tandus yang panjang untuk menggapai sebuah impian. Mampukah kita menjadi penerus mimpi Muhammad SAW dan menjadi penerus mimpi Umar Bin Khatab serta para sahabat?
Tetapi, ketika pendulum tonggak sejarah kebangkitan dan perkembangan Islam hanya menjadi sebuah kilauan sejarah, patut disayangkan. Proses pembelajarannya akan terhenti. Yang ada hanya sekedar ritual untuk memperingati bahwa 1 Muharam adalah tahun baru Islam, sebagai pembeda dengan tahun baru Masehi. (*)
Kolom C’Moel, Ketua Bidang Ekonomi dan Pemberdayaan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sidoarjo