Kiai Usman, Pendiri Masjid Muhammadiyah Pertama di Surabaya terletak di Kaliasin. Inilah cerita sosok dan perjuangan dakwahnya.
PWMU.CO–Masjid Sholeh di Kaliasin VIII/9 yang mulai dibangun tahun 1921 itu masih berdiri kokoh. Di belakang pendirian masjid itu ada nama Kiai Usman. Rumahnya persis di belakang masjid yang sekarang ditempati cucunya Hari Mukti.
Menurut cerita Hari Mukti, kakeknya, Kiai Usman, tokoh Muhammadiyah. Pernah menjabat Wakil Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya yang dibentuk oleh KH Mas Mansur tahun 1921. Semua keluarganya seperti istri, anak, menantu, cucu jadi aktivis Muhammadiyah.
Istrinya Na’mah, ikut memprakarsai berdirinya Aisyah Surabaya. Keduanya mempunyai dua anak yaitu Ali Toha dan Dewi Aisyah. Anak perempuan, Dewi Aisyah, menikah dengan Mat Yasin Wisatmo, pejuang kemerdekaan, pendiri Hizbul Wathan, juga menjadi ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya tahun 1947 dan 1977.
Kiai Usman lahir di Desa Perning, Mojokerto, tahun 1873. Saat remaja pindah ke Surabaya menjadi pejahit ikut saudaranya. Di kota ini dia aktif mengaji.
Di pengajian inilah dia mengenal KH Mas Mansur. Karena itu ketika pendirian Cabang Muhammadiyah Surabaya tanggal 1 Nopember 1921, dia dijadikan wakil ketua. Saat itu umurnya sudah 48 tahun.
Masjid Sholeh Dibangun
Di tahun itu, dia menerima wakaf tanah dari keluarga Bajubair untuk masjid yang terletak di Kaliasin VIII. Segera dia galang dana pembangunan. Dalam waktu setahun pembangunan masjid selesai.
Tahun 1922 Masjid Sholeh diresmikan oleh KH Syuja’, utusan KH Ahmad Dahlan mewakili Hoofdbestuur Muhammadiyah. Itulah masjid pertama milik Muhammadiyah di Surabaya.
Dari sinilah dakwah persyarikatan menyebar. Kiai Usman mengisi masjid itu dengan membuka sekolah rakyat untuk anak-anak kampung. Juga menggelar pengajian, mengajar ngaji, dan melatih silat anak-anak Kaliasin. Dia memang pendekar silat.
Karena jadi guru silat, kata Hari, kakeknya dianggap orang sakti. ”Suatu hari ada pemuda Masjid Sholeh diserang oleh seseorang yang tidak dikenal. Akibatnya opname di rumah sakit,” ceritanya.
Jamaah masjid marah dan ingin mencari dan membalas perlakuan itu. Namun Kiai Usman melarang. Jamaah diajak shalat tahajud dan berdoa meminta agar penyerang disadarkan.
”Tak berapa lama, datang seseorang di antar keluarganya ke rumah Kiai Usman. Orang itu meminta maaf karena dia kesakitan di sekujur tubuhnya. Dia mengaku telah menyerang pemuda masjid,” tuturnya.
Wali Rong Puluh
Tahun 1927, dunia dilanda krisis moneter termasuk Hindia Belanda. Ekonomi macet. Banyak perusahaan tutup. Akibatnya pengangguran melonjak. Kondisi ini juga berpengaruh kepada kehidupan dakwah Muhammadiyah.
Pengajian di beberapa grup di kampung-kampung terhenti karena ditinggal pengurusnya yang kesulitan uang. Beberapa pengurus tak bisa aktif lagi. Guru di sekolah Muhammadiyah tak gajian. Dokter dan perawat di Klinik Sidodadi juga lesu.
Mas Mansur langsung mengundang seluruh pimpinan dan pengurus Muhammadiyah Surabaya berkumpul di rumahnya Kalimas Udik IC. Kejadian itu pas tanggal 1 Muharram. Rapat membahas kemajuan dakwah Muhammadiyah ini sampai tengah malam hingga tersisa 20 orang termasuk Kiai Usman dan menantunya Wisatmo.
Sebanyak 20 orang ini kemudian berbaiat satu persatu bersumpah terus berdakwah. KH Mas Mansur yang pertama mengucapkan baiat. ”Walaupun tinggal seorang saya dan istri tetap meneruskan Muhammadiyah selama hayat di kandung badan dengan syariat Nabi Muhammad saw tetap saya bela.”
Orang yang berbaiat disebut Wali Rong Puluh. Mereka adalah KH Mas Mansur (Kampung Baru Sawahan) Kiai Usman (Kaliasin), Mat Yasin Wisatmo (Kaliasin), Wondowidjojo (Plampitan), Tjiptoredjo (Grogol), Mas Getong (Pandean), Hardjodipuro (Bubutan), M. Saleh Ibrahim (Kedung Sroko).
Mas Idris, Soemoredjo (Kedung Rukem). Abd. Barry, HA Rahman Utsman (Ketapang Ardiguna), Saleh Cilik (Bibis), H. Muhammad Oerip (Temenggungan), Pak Yatiman (Genteng), Satiman (Genteng), Adjar Sunyoto (Kunti), M. Badjuri (Tlungagung), Sumoatmodjo (Kedung Rukem), Martodjojo (Wonorejo), Abdul Bari (Kaliasin).
Tahun 1938 Kiai Usman wafat di usia 65 tahun. Namun nama dan perjuangannya masih dikenang di Masjid Sholeh yang gerak dakwahnya masih hidup hingga kini. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto