Kaji Durahim, Tebang Pohon Sesembahan ditulis oleh Nadjib Hamid Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Ini kisah tentang tokoh Muhammadiyah.
PWMU.CO – Sejarah dakwah Islam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, kerap dihadapkan pada sistem keyakinan masyarakat purba: animisme dan dinamisme yang telah mengakar di masyarakat bawah.
Hal itu pula yang dialami H. Abd. Rochim Masrur ketika awal berdakwah di kampungnya, di Desa Jompong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Kawasan pantai utara Laut Jawa.
Seperti kisah Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala sesembahan kaumnya. Kaji Durahim—demikian ia akrab dipanggil—pernah menebang pohon Trenggulun besar yang ketika itu dijadikan sesembahan bagi masyarakat Jompong dan sekitarnya.
Kisah Tebang Pohon Keramat
Pada era enam puluhan, pria kelahiran Paciran, Lamongan, 16 Agustus 1935 ini dikenal sebagai anggota Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) yang sangat berani dalam memberantas aneka kemusyrikan.
Didukung perawakannya yang tinggi besar, plus wajah yang ganteng pula, menjadikan langkah dakwahnya kian berwibawa, dan membuat takut para musuhnya.
Diceritakan oleh Hj Chusniyah, istrinya, dulu di bawah pohon Trenggulun tersebut terdapat batu besar berbentuk Lumpang Kenteng yang diyakini masyarakat bisa membikin orang kaya, jika dapat mengangkatnya. Melihat praktik semacam itu, suaminya tidak tinggal diam.
Dibantu kawan-kawan seperjuangannya, dia lantas membersihkan lahan berstatus tanah GG tersebut, dari beragam kemusyrikan. Setelah berhasil, di atas lahan berukuran 12,5×21 meter itu, pada 1966 didirikan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Jompong.
Tempaan Ibu Asuh
Keberanian putra dari pasangan Haji Masrur bin Iskandar dan Hj Kuntari binti Sofwan, itu tidak lepas dari tempaan ibu asuhnya. Maklum, dia sudah menjadi yatim piatu sejak usia tiga tahun. Lalu dibesarkan dalam asuhan saudara sepupu dari ibunya, Hj Chusaini Mukahar.
“Pada 1940, dia sempat ikut Pakdenya, H Zaini (kakak dari Abdullah Iskandar), tapi kemudian diambil kembali oleh Chusaini hingga usia dewasa,” kisah istrinya.
Sebagai yatim piatu, dia dididik disiplin dan kerja keras. Dasar tauhidnya diperoleh semasa menempuh pendidikan agama di MM Paciran dan SMP Islam Tuban. Setelah itu, disekolahkan di SMAI Malang. Tidak diperoleh penjelasan, semasa di Malang banyak bergaul dengan siapa. Yang pasti, keterlibatannya dalam Kokam kian menyalakan spirit jihadnya.
Menikahi Chusniyah
Sepulang dari Malang, pada 26 April 2954 dia memulai hidup berkeluarga dengan menikahi gadis pujaannya, Chusniyah, putri dari pasangan Haji Sofwan dan Hj Masyumi. Dua tahun kemudian (1956) dia menunaikan ibadah haji bersama ibu mertuanya.
Dari hasil pernikahannya, dikaruniai 9 anak dan 22 cucu. Anak pertama, Lilik Wahyudi menikah dengan Umi Rusdiana. Kemudian berturut turut Dra Dwi Wahyuni menikah dengan Drs Sumarmo dan Nurul Wahdiyati SH, menikah dengan dr Edy Purnomo SpM.
Menyusul Dra Irma Wahyulia menikah dengan Totok Harjoko SH; Drs Rifki Wahidin menikah dengan Meisuri Sulistyawati SPsi; Ir Hery Wahyubustomi dengan Drh Ayuk Yunita Irawati; Elis Wahyuhidayati SE dengan Didit Endriawan SH; Riska Wahyuhidayat SIP dengan Dra Kritianti. Sedangkan anak terakhir, Ani Rufaida SH.
Dalam beramar makruf nahi mungkar, Kaji Durahim boleh dibilang sebagai pengikut setia perjuangan KH Ahmad Dahlan. Dia sudah menjadi anggota Muhammadiyah sejak dini, bahkan pada 12 Maret 1962 sudah memiliki NBM (nomor baku Muhammadiyah), dan menjadi pimpinan Muhammadiyah Cabang Blimbing, yang ketika itu ikut daerah Bojonegoro.
Kaji Durahim memang bukan mubaligh dalam arti suka berceramah atau berkhutbah. Sehingga namanya kurang populer dibanding mubaligh lainnya. Tapi aktivitas dakwahnya tidak kalah padat.
Selain di Persyarikatan, aktif di partai Masyumi, kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terakhir, di partai Amanat Nasional Nasonal (PAN).
Juga terlibat kepengurusan di lembaga sosial dan pendidikan lainnya. Seperti MIM Jompong, Ketua Takmir Masjid Mariyam (masjid keluarga), pengurus SDN Brondong I mulai dari anak nomor 1 sampai 8 sampai cucunya, pengurus SMPN Paciran sewaktu dipimpin Dr Rasiyo, SMP PGRI Brondong, LKMD, BUUD, Organda, KAPI, dan anggota Kadn Lamongan. “Di tempat-tempat itu misi Persyarikatan ditegakkan,” ungkap Chusniyah.
Sokongan Istri
Seperti kata pepatah, di balik lelaki sukses, selalu ada wanita hebat di belakangnya. Demikian pula yang dialami pengurus Pedagang Ikan Muhammadiyah Brondong ini. Istrinya bukan hanya men-support, tapi juga terjun langsung.
Misalnya, ketika menjabat Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Brondong, ia mondar-mandir melobi Bupati, Kepala BPN Lamongan, dan BPN Provinsi, agar tanah GG bekas tempat kemusyirikan itu bisa menjadi hak milik Persyarikatan.
“Alhamdulillah sertifikat hak milik atas nama Muhammadiyah dengan No: 624, bisa kami terima pada 26 Maret 1997, tanpa biaya sedikit pun,” ujar Chusniyah seraya menjelaskan bahwa sertifikat dimaksud sudah diserahkan kepada Pimpinan Ranting Muhammadiyah Jompong, Brondong.
Seiring bertambahnya usia, aktivitas dakwah Kaji Durahim mengendor pula. Dia dipanggil untuk menghadap Ilahi dalam usia genap 80 tahun, tepatnya pada Senin (11/5/2015) malam.
“Beliau lahir pada Senin kliwon, menikah Senin Kliwon, dan wafat Senin kliwon,” kenang Chusniyah.
Editor Mohammad Nurfatoni.