PWMU.CO – Surat al-Adiyat: Inspirasi Khalid bin Walid kalahkan Romawi yang dipimpin Kaisar Heraclius dengan strategi ‘menerbangkan debu’ dalam Perang Yarmuk tahun 636.
***
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah (1); dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya) (2); dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi (3).
Maka ia menerbangkan debu (4); dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh (5); sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya (6).
Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya (7); dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta (8).
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur (9); dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada (10); sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka (11).
Strategi Menerbangkan Debu
Di dalam surat al-Adiyat terdapat strategi perang yang hebat. Strategi itulah yang menginspirasi Khalid bin Walid saat mengalahkan Romawi di bawah Kaisar Heraclius.
Heraclius yang dikenal sebagai panglima perang tangguh dan tercatat pernah mengalakan Persia itu ternyata jatuh mentalnya akibat strategi “menerbangkan debu” yang diterapkan Khalid.
Mental Heraclius jatuh melihat debu yang beterbangan. Seolah-olah debu itu disebabkan oleh pasukan kuda yang banyak.
Demikian salah satu tafsir surat al-Adiyat yang disampaikan KH Sachroji Bisri. Menurutnya, Khalid bin Walid mempelajari strategi itu dari membaca al-Quran surat al-Adiyat.
Diilustrasikannya, Khalid melepas 20 pasukan kuda bergerak dan menimbulkan debu yang beterbangan. Setelah itu digantikan kelompok 20 pasukan kuda lainnya. Begitu seterusnya.
Taktik inilah yang membuat 1000 pasukan Islam mampu mengalahkan 10 ribu pasukan Romawi Timur dan berhasil merebut Damaskus, Suriah.
Hanya Dua Kuda di Perang Badar
Dengan merujuk Tafsir Jalalain, Sachroji Bisri menjelaskan rangkaian ayat yang berhubungan dengan itu. Ayat pertama wal adiyati dabha bermakna demi kuda yang berlari kencang di dalam peperangan; yang bersuara terengah-engah, yakni suara dari perut ketika sedang berlari kencang.
Ayat kedua wal muriyati qadha berarti kuda yang kukunya menyalakan atau memantik api. Falmughirati subha berarti kuda yang menyerang musuh di waktu Subuh.
Sementara faatsarnabihi naq’a, artinya, menimbulkan atsar atau bekas, yaitu debu. Dan wawasatnabihi jam’an bermakna kuda itu masuk ke tengah-tengah kumpulan musuh.
Dia menjelaskan, al-adiyat adalah kata jamak (plural) bermakna ‘yang berlari kencang itu banyak’. Dalam Perang Badar, kuda pasukan Islam cuma dua. Karena itu Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa yang berlari kencang itu unta. Sementara Abdullah bin Abbas menyebut kuda.
“Jadi yang bergerak cepat itu bisa kuda, bisa unta. Dalam kondisi sekarang, yang bergerak cepat itu ada mesinnya. Apakah itu rudal? Terserah (menafsirkannya). “Boleh saja ditafsirkan gitu. Kita jangan egois dalam menafsirkan. Tapi untuk menafsirkan itu, kita perlu (menguasai) Quran dan Hadits.” jelasnya.
Gerak Cepat Dakwah
Di luar konteks peperangan, al-adiyat bisa diartikan sebagai gerak cepat dalam berdakwah.
Ada dua hal yang bisa diambil dari semangat surat al-Adiyat. Pertama, umat Islam harus mengadakan aktivitas dakwah dengan percepatan.
“Praktik di lapangan itu penting. Jangan hanya ngaji. Dalam strategi dibutuhkan taktik yakni pelaksanaan di lapangan. Ini perlu kecerdasan. Kita jangan diem saja,” kata kiai asal Banten ini sambil mengingatkan bahwa shalat tahajud adalah salah satu sumber kreativitas dalam menerapkan strategi taktik.
Kedua, umat Islam harus punya keunggulan. Dan itu harus dibuktikan. “Ketika orang lain belum siap (masih tidur di waktu subuh), kita sudah bergerak cepat,” katanya.
Jangan Bakhil
Pelajaran lain yang bisa diambil dari surat al-Adiyat adalah larangan bakhil atau kikir dalam soal harta, karena terlalu cinta kepadanya.
Karena itu Sachroji Bisri mangajak membiasakan berinfak, termasuk kepada anak-anak. “Biasakan anak kita kasih duit untuk orang lain. Atau kita biasakan mengeluarkan infak, misalnya tiap Jumat. Kita latih anak-cucu kita biar tidak medit (kikir). Biasakan. Kalau nggak ya sulit ketika sudah dewasa untuk berbagi,” katanya. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni