Fokus Agama, Lupa Radikalisme Politik-Ekonomi, kolom oleh Biyanto, Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Isu radikalisme kembali menjadi perbincangan publik. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi.
Ketika menjadi narasumber webinar tentang Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparat Sipil Negara (ASN), Menag menyatakan bahwa anak-anak yang good looking, pintar Bahasa Arab dan hafal al-Qurán merupakan sumber radikalisme.
Akibat pernyataan kontroversial itu, Menag pun menjadi bulan-bulanan media. Sejumlah kalangan mengritik pernyataan Menag. Kritik tajam juga datang dari ketua dan anggota Komisi VIII DPR yang menjadi mitra kerja Kementerian Agama (Kemenag).
Klarifikasi Menag
Menag memang memberikan klarifikasi sekaligus penjelasan terhadap konteks pernyataan yang menghebohkan itu dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VIII DPR (7/9/2020).
Sebelumnya, klarifikasi juga diberikan Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, yang menyatakan bahwa pernyataan Menag mengenai soal good looking itu hanya ilustrasi.
Pernyataan Menag tidak bermaksud menuduh atau menyinggung pihak manapun. Sayangnya, semua klarifikasi nyaris tidak mengurangi kritik pada Menag.
Hal itu karena bagian pernyataan Menag dalam webinar yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah tersebar luas.
Makna Radikal
Secara etimologis kata radikal sejatinya bermakna netral. Radikal bisa berarti positif dan negatif, sangat bergantung pada konteks penggunaannya.
Dalam filsafat, misalnya, radikal justru bermakna sangat positif. Bahkan radikal menjadi bagian dari karakter berpikir filsafati, selain sifat menyeluruh dan spekulatif.
Radikal menunjukkan karakter berpikir yang mendalam. Radikal juga berarti berpikir secara radix, berpikir dari akar persoalan. Dengan berpikir radikal seorang filsuf dapat menjelaskan fenomena secara reflektif dan komprehensif.
Radikal Negatif
Sementara makna negatif dari kata radikal merujuk pada budaya suka menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Apalagi jika budaya itu diekspresikan dalam bentuk kekerasan pada orang yang tidak sepaham dengan dirinya.
Kelompok radikalis dengan karakter negatif selalu berpikiran: He who is not with me is against me (orang yang tidak sama dengan saya adalah musuh saya). Pandangan ini sangat berbahaya karena dapat menghadirkan teror bagi orang atau kelompok lain.
Dimensi radikal yang berkonotasi negatif akan lebih menguat jika berubah menjadi ideologi atau paham dalam bentuk radikalisme.
Sebagai ideologi, radikalisme menjadi sistem keyakinan atau nilai yang terus diperjuangkan. Pada konteks itulah tokoh-tokoh gerakan radikal akan terus mencari kader sebagai pelanjut perjuangan. Melalui cara itulah radikalisme dengan segala ekspresinya akan semakin kuat mengakar dalam hati sanubari pengikutnya.
Salah satu kelompok yang disasar oleh pembawa virus radikal adalah kaum muda. Kaum muda sangat rentan terpapar ideologi radikal karena tergolong masih labil.
Mereka pada umumnya sedang berproses untuk menemukan jati diri (becoming). Di tengah proses identifikasi jati diri itulah para pelajar dan remaja mudah tergoda ideologi radikal.
Karena virus radikal dalam konotasi yang negatif terus disemai, terutama di kalangan kaum muda, maka dapat dipahami jika perhatian pemerintah terhadap radikalisme sungguh luar biasa.
Tampak sekali ada komitmen lintas instansi di pemerintahan untuk mengkonter radikalisme. Namun sangat disayangkan jika komitmen untuk mengkonter radikalisme terkadang dilakukan secara membabi buta.
Sebagai contoh, mengaitkan radikalisme dengan masjid, pendidikan Islam, dan majelis taklim. Demikian juga dengan tuduhan terhadap anak-anak muda yang fasih berbahasa Arab, penghafal al-Qurán (hafidh), dan pemakmur masjid yang berwajah rupawan (good looking) sebagai pembawa virus radikalisme. Semua tuduhan jelas kontrapoduktif sekaligus melukai perasaan umat.
Radikalisme Politik
Merujuk pada penjelasan Azyumardi Azra (2019), radikalisme dalam perspektif yang lebih popular dapat dimaknai sebagai paham atau praksis anti-Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), anti-Pancasila, anti-UUD 1945, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu, jika ada seseorang atau kelompok yang ingin mendirikan negara dengan sistem khilafah (daulah Islamiyah), maka mereka akan mendapat label radikal. Sebab, pandangan politik yang lintas batas (transnasional) dinilai tidak sejalan dengan negara Pancasila dan NKRI. Padahal Pancasila dan NKRI merupakan konsensus sekaligus kesepakatan luhur para pendiri bangsa.
Perhatian pemerintah terhadap radikalisme tampaknya baru sebatas pada isu yang berkaitan dengan keagamaan (fokus agama). Padahal radikalisme sejatinya lebih menunjukkan dimensi politik daripada keagamaan.
Lebih ironi lagi, terjadi simplifikasi pandangan yang mengatakan bahwa radikalisme berkaitan dengan agama tertentu. Padahal faktanya radikalisme dapat muncul dalam banyak tradisi keagamaan.
Dengan demikian, pelaku radikalisme juga potensial muncul dari penganut agama dan etnis manapun. Pemahaman ini penting agar program mengkonter radikalisme menjadi komitmen seluruh elemen bangsa.
Untuk mengkonter radikalisme, seluruh elemen bangsa juga penting memahami bentuk radikalisme di luar keagamaan. Di antara ekspresi radikalisme di luar keagamaan adalah radikalisme politik dan radikalisme ekonomi.
Bentuk radikalisme politik dalam praktiknya dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Termasuk cara-cara memenangkan calon yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan elit negeri ini dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang.
Praktik politik dinasti merupakan wujud radikalisme dalam politik yang pada saatnya membahayakan masa depan demokrasi di negeri tercinta.
Radikalisme Ekonomi
Sementara radikalisme ekonomi dilakukan dalam bentuk kepemilikan mayoritas aset dan penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh sekelompok kecil golongan bangsa.
Data Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di negeri ini menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara ada 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaaan penduduk.
Data ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia masih diwarnai ketimpangan yang luar biasa. Realitasi inilah yang disebut radikalisme ekonomi.
Jika radikalisme politik dan ekonomi tumbuh subur, maka segala usaha mengkonter radikalisme bernuansa keagamaan tidak akan pernah sukses. Sebab dalam waktu bersamaan pemerintah juga memberikan peluang (window of opportunity) munculnya radikalimse melalui kebijakan yang tidak berkeadilan, terutama di bidang ekonomi.
Harus diingat, salah satu pemicu munculnya radikalisme adalah ketidakadilan. Agar ikhtiar mengkonter radikalisme keagamaan tidak kontraproduktif, maka pemerintah dan elit negeri ini harus mengikis ketakadilan politik dan ekonomi. (*)
Fokus Agama, Lupa Radikalisme Politik-Ekonomi; Editor Mohammad Nurfatoni.