Penusukan Syeikh Ali Jaber, Din Syamsuddin Minta Jenderal Polisi Idham Aziz—dan juga Presiden Joko Widodo—untuk turun tangan. Mengingat bobot kasus ini berdimensi luas.
PWMU.CO – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Prof Dr M. Din Syamsuddin meminta keadilan hukum ditegakkan atas penusukan Syeikh Ali Jaber yang dilakukan oleh Alpin Andria di Masjid Falahuddin di Lampung, Ahad (13/9/2020).
Menurut Din Syamsuddin, kejadian tersebut adalah kebiadaban yang tidak boleh terjadi di Negara Pancasila yang berdasarkan hukum.
Hal tersebut merupakan pengulangan dari kejadian serupa beberapa waktu lalu ketika secara beruntun terjadi penganiayaan dan tindak kekerasan atas para ulama atau dai oleh orang yang mengaku atau diakui oleh Polri sebagai orang gila.
“Hingga sekarang tidak ada berita penyelesaian. Kini modus operandi serupa terulang kembali,” terang Din Syamsuddin dalam keterangan tertulis yang diberikan PWMU.CO Senin (14/9/2020) malam.
“Seyogyanya Polri jangan terlalu mudah percaya dengan pengakuan orangtua pelaku bahwa dia sudah empat tahun mengalami gangguan kejiwaan,” tegas Din Syamsuddin.
Tak Masuk Akal Gila
Din Syamsuddin menyampaikan, bukti-bukti atau kesaksian banyak pihak yang beredar luas di media sosial mengindikaskan bahwa Alpin Andria tidaklah gila.
Seperti dia sering bermain media sosial, muncul di tempat umum sebagai orang waras, atau dia sedang memerlukan uang, dan lan sebagainya. “Janganlah dianggap remeh atau diabaikan oleh Polri,” katanya.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015 itu, dari kejadian tersebut banyak hal yang tidak masuk akal. Maka, ujarnya, banyak kalangan sangat meragukan bahwa pelaku penikaman adalah orang gila.
“Tidaklah masuk akal sehat jika ada seorang gila merencanakan suatu perbuatan, dengan mendatangi sebuah acara berpakaian rapi dengan sengaja membawa pisau. Dan kemudian menuju sasaran tertentu. Yakni figur ulama yang juga qari’ yang terkenal santun. Kecuali ia adalah seseorang yang waras, dan patut diduga merupakan suruhan dari pihak yang memiliki tujuan tertentu,” kata Din Syamsuddin.
“Maka sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI kami mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus ini. Menyingkap tentang kemungkinan ada pihak yang bermain di baliknya. Memproses secara transparan, objektif dan imparsial, hingga menyeret pelaku ke ruang pengadilan dan keadilan. Untuk dikenakan sanksi maksimal sebagai hukum yang berlaku,” tegasnya.
“Kami meyakini bahwa tindakan penikaman itu adalah bentuk kriminalisasi terhadap ulama atau tokoh Islam. Dan dirasakan merupakan bagian dari skenario terorisasi terhadap ulama dan tokoh Islam,” tegas Din Syamsuddin.
Minta Polri Lakukan Empat Hal
Oleh karena itu, Din Syamsuddin meminta Polri bersungguh-sungguh menegakkan keadilan hukum. Dengan cara, pertama, memeriksa pelaku penikaman dengan melibatkan tim psikiater independen.
Kedua, memperhatikan bukti-bukti atau kesaksian yang disampaikan banyak pihak bahwa pelaku penikaman tidaklah gila.
Ketiga, meminta Polri agar jangan mudah menerima pengakuan sepihak dari orangtua pelaku tanpa verifikasi dan mengabaikan bukti-bukti dan testimoni banyak pihak.
Keempat, menyeret pelaku ke meja pengadilan dan keadilan untuk dituntut hukuman maksimal sesuai hukum yang berlaku.
Minta Kapolri dan Presiden Turun Tangan
Din Syamsuddin berpendapat ketakmauan dan ketakmampuan Polri untuk menyingkap kasus ini—seperti kasus-kasus penganiayaan terhadap ulama atau dai pada masa lalu—akan mengurangi kepercayaan masyarakat khususnya umat Islam terhadap Polri.
“Mengngat bobot dari kasus ini yang berdimensi luas, karena mengenai figur ulama atau tokoh Islam. Maka kami mengharapkan kepada Bapak Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz, dan juga Bapak Presiden Joko Widodo, untuk turun tangan mengatasinya,” ujarnya.
Dia juga menyerukan kepada umat Islam untuk tetap tenang dan menahan diri serta tidak terhasut untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
“Kami berharap kepada para pengacara Muslim agar dapat mengawal kasus ini. Demi tegaknya hukum secara berkeadilan di Negara Pancasila,” pinta Din Syamsuddin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.