PWMU.CO – H Mustari Ahmad adalah sosok pendakwah dari “Pulau Bekisar” Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur yang sangat dekat dengan warga.
DIa berdakwahdengan menggunakan bahasa orang pinggiran. Komunikasinya pun menyesuaikan dengan siapa ia berbicara. Selalu ada bahan yang cocok untuk dibicarakan dengan warga. Mustari dapat berbicara tentang topik apa saja.
Meskipun bertubuh sedikit tambun, dia masih terlihat sangat lincah bergerak. Dengan sepeda motor trail-nya, Mustari menyusuri Pulau Kangean sampai ke pedalaman dan pegunungan terjal. Tujuaannya: menghidupkan Muhammadiyah.
Saat musin hujan—ketika sepeda motor biasa tidak bisa melewati jalan pematang sawah yang berlumpur—Mustari tetap bisa melewatinya. Ketika sepeda motor lain tidak mampu naik ke atas perbukitan dengan jalan jalan berbatu, lelaki yang sangat aktif ini melenggang begitu saja.
Dengan sepeda motor bertangki kuning itu dia pun mengikuti kegiatan Muhammadiyah hingga Yogyakarta dan Jakarta.
Tidak Sulit Bergaul
H Mustari Ahmad tidak pernah mengalami kesulitan bergaul dengan semua kalangan. Ketika seorang menteri atau gubernur datang ke Arjasa, Kangean, dia bertanya dan melakukan pendekatan untuk Muhammadiyah dan warga Kangean.
Ketika dia diundang bupati untuk acara silaturahmi dengan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, dia tidak segan untuk mengingatkan pejabat yang kadang sedikit lupa dengan kondisi Kangean yang mengenaskan. Apalagi dengan camat dan kepala dinas, sangat biasa dia mengingatkan.
Dia kalangan masyarakat biasa, dia tidak lupa untuk turun dan bercerita tentang keadaan yang mereka alami. Hampir seluruh pelosok Kangean yang luasnya mencapai 425 kilometer persegi itu pernah ia kunjungi. Sebagai Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Arjasa dari tahun 1990-an hingga wafatnya (2005), dia berperan sebagai sosok penceramah agama sekaligu pemandu warga Persyarikatan Kangean.
Mudah Diterima saat Berdakwah
Selain sebagai Ketua PCM, pria kelahirkan Kampung Gilin, Desa Beranta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, 17 Juni 1944 ini juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Amanat Nasional (PAN) Arjasa Kangean.
Karena itu Mustari paham dan mengerti tentang teori politik dan seluk-beluk pemerintahan. Sebagsi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Modern Islamiyah dia juga memahami penyelenggaraan pendidikan dan kegiatan sosial.
Dengan keluwesannya tersebut, dakwah H Mustari Ahmad. Ketika berhadapan dengan seorang intelektual-akademis, dia memakai bahasa mereka. Ketika berhadapan dengan masyarakat awam, memakai bahasa orang awam.
Tak heran selama periode kepemimpinannya sebagai Ketua PCM Arjasa tahun 1990-2005 berkembang 11 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di Arjasa.
Nyantri di Bangil Pasuruan
H Mustari Ahmad dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah. Sempat nyantri ke Pondok Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil Pasuruan. Sepulang dari situ, dia membantu ayahnya berdagang kayu.
Suatu saat, dia diutus ayahnya untuk mengantarkan uang ke Pulau Kangean, pusat kayu jati saat itu. Untung tak dapat ditolak, dia kecantol dengan gadis Kangean bernama Marti’ah.
Pada 24 Oktober 1963, Mustari muda mengakhiri masa lajangnya. Mulai saat itulah, Mustari muda menetap di Kangean. Dari pernikahannya, ia dikaruniai 5 oanak: Ummi Fariqah, Muhammadi, Amran, Inayah Hartinah, dan Anas.
Tahun 1964, Muhammadiyah Arjasa dirintis dan didirikan. H Sudomo, seorang pegawai Depdikbud Kecamatan Arjasa. Dia menjadi Ketua PCM pertama. Meski tidak besar, namun Muhammadiyah saat itu didukung oleh tokoh-tokoh lokal yang cukup kuat.
Mulai H Abu Bakar, Kepala Desa Pandeman beberapa kali periode yang menanamkan nilai-nilai Islam berorientasi Muhammadiyah di Desa Pandeman;
Ada juga H Sudomo, H Adnan, H Ahmad DS, H Mustari Ahmad, H Musarraf,, H Nangrang Muhajir, H Hasbullah, H Sulaiman, H Attaurrahman, H Musahun, H Imran Rawi, H Abdurrahman, dan H Mansyuri.
Paruh kedua tahun 1967, Mustari Ahmad mengundang seorang mubalig yang juga pamannya sendiri, Ustadz Salihin Bahar—dai asal Desa Beranta Pamekasan untuk menjadi penceramah pada acara pengajian.
Meski hanya sebulan berada di Kangean Salihin Bahar ‘sempat’ melakukan dua hal. Pertama, dia mendirikan dan mengaktifkan kelompok pengajian. Kedua, merintis berdirinya Masjid At-Taqwa yang ada di Kampung Pasar Desa Kalikatak Arjasa Kangean.
Masjid Beratap Daun Kelapa
Menurut Bapak H Musarraf salah seorang sesepuh Muhammadiyah Arjasa yang pernah ngaji kepada Ustadz Salihin Bahar, Masjid At-Taqwa berdiri di atas empat tiang kayu jati yang diangkat dari Desa Sawah Sumur, 6 kilometer dari Desa Kalikatak. Bergenteng daun kelapa dan berlantai tanah. Empat kayu ini dibawa malam-malam agar tidak ketahuan orang.
Pendirian masjid Muhammadiyah pertama ini diiringi cemoohan dan ancaman dari mereka yang tidak menyukai cikal bakal berdirinya Muhammadiyah. Seorang tukang kayu dari Desa Kolo-Kolo, setiap hendak bekerja untuk pembangunan masjid itu, tidak berani melewati jalan umum mengingat ancaman yang begitu gencar. Ia harus melewati persawahan luar desa.
Sepulangnya Ustadz Salihin Bahar, datanglah Ust Hasan Basri yang lebih halus dalam penyampaian pencerahan pemikiran Muhammadiyah. Kedatangan dia juga hanya dalam rangka mengisi pengajian dan tidak ada maksud berdakwah dalam jangka waktu yang lama.
Tantangan Warga Muhammadiyah
Tantangan luar biasa dihadapi warga Persyarikatan Kangean adalah ketika warga Muhammadiyah mengadakan shalat Id di Alun-Alun Arjasa pada awal tahun 1970-an. Cemoohan pun datang. Mereka mengatakan, “Orang Muhammadiyah itu kayak kambing yang mau merumput di alun-alun.”
Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Sumenep yang asli Kangean Hj Arafah Surur memaparkan, tantangan yang lebih mengenaskan lagi. Lapangan yang telah disiapkan semalaman, paginya telah dipenuhi kotoran manusia. Jamaah yang hendak shalat Id harus berpindah tempat dengan membuat shaf yang baru.
Kedatangan Ustadz Abd Kadir Muhammad pada 1974 mendorong didirikannya Yayasan Pondok Pesantren Modern Islamiyah yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Yayasan tersebut diketuai H Sudomo merangkap sebagai Ketua PCM saat itu.
Sepeninggal Sudomo dan Ustadz Kadir Muhammad, yayasan dipegang H Mustari Ahmad. Pada masa inilah yayasan berkembang menyatu dengan Muhammadiyah dan partai politik, Partai Amanat Nasional. Maklum, H Mustari Ahmad memegang kendali Ketua PCM Arjasa, Ketua Yayasan PPMI, dan Ketua DPC PAN Arjasa.
Terganjal Ijazah
Tahun 2004, berkat kerja keras dan kegigihannya keliling Kangean dan Sapeken, PAN ketambahan seorang anggota dewan dari Dapil VII (Kangean-Sapeken). H Mustari sempat melaporkan keberhasilannya tersebut kepada PWM Jatim dalam sebuah pertemuan.
“Alhamdulillah kami dapat mengantarkan seorang anggota dewan dari Dapil VII meski dengan ‘kursi roda’ (karena hanya mengandalkan sisa suara),” tuturnya suatu hari.
Mestinya H Mustari Ahmad sendiri yang menduduki kursi legislatif, namun karena terganjal ijazah, kursi caleg tersebut diberikan kepada anak menantu H Musarraf yang juga tokoh Muhammadiyah dan PAN Arjasa, Bahrus Surur, yang sekarang menjadi Wakil Ketua PDM Sumenep.
Selain pergerakannya yang aktif, H Mustari Ahmad benar-benar menjadi tempat mengadu dan mencari pembelaan bagi warga Persyarikatan yang punya masalah. Bahkan, ketika Gubernur Soelarso datang ke Kangean, H Mustari Ahmad tidak segan untuk memperjuangkan guru PNS dari anak muda Muhammadiyah Kangean.
Gigih Turun ke Lapangan
Yang menarik dari H Mustari Ahmad adalah kegigihannya dalam mengembangkan Muhammadiyah ke pelosok. Juga gaya kepemimpinan yang turun langsung ke lapangan. DIa pernah memperbaiki sendiri rumah orang miskin yang buta di Pandeman dan menyantuninya setiap bulan.
DIa juga pernah memimpin langsung pembangunan jembatan Duko bersama warga Muhammadiyah, ketika masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan kondisi sekitar. Juga membangun dan membina sendiri kampung binaan di Dusun Patereman Angkatan Arjasa.
H Mustari Ahmad meninggal pada 21 Maret 2005 bertepatan 11 Shafar 1426, sehari setelah Musyawarah Cabang Pemuda Muhammadiyah Arjasa. Ketika itu, dia masih terpilih sebagai Ketua PCM Arjasa.
Semoga kita bisa meneladani ketulusan, keluwesan dan kesabarannya dalam berdakwah. (*)
Penulis Vieki Ardhina. Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.