Negara seperti Inikah yang Diinginkan? tulisan Prof Dr Achmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Siapa yang mengatakan bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Susah juga mencari jawabannya.
Perdebatan tentang dasar negara di sidang Konstituante yang deadlock akhirnya kembali menghasilkan negara berdasarkan Pancasila setelah terbitnya Dekrit Presiden 1959.
Karena itu Indonesia bukan teokrasi. Bukan negara agama yang mendasarkan undang-undang dan semua aturan berdasarkan agama. Juga bukan demokrasi sekuler atau sekuler demokrasi.
Tetapi kalau mau diambil tengahnya, boleh juga disebut negara Teodemokrasi. Istilah yang diambil dari konsep negara yang ditawarkan Abul A’la Maududi. Sebutan ini diberikan sebagai jalan tengah antara teokrasi dan demokrasi Barat yang sekuler.
Negara sekuler sebagai salah satu konsep sekularisasi dalam institusi sosial yang paling formal, menjunjung tinggi netralitas dalam masalah agama. Negara sekuler tidak mendukung orang yang beragama maupun tidak beragama. Negara tidak dapat mencampuri urusan pribadi agama warga masyarakat.
Demokrasi yang dipahami sebagai sebuah sistem yang memberikan kebebasan pada rakyat, asal tidak menyakiti, menjadi elemen penting negara sekuler.
Penguasa Tak Konsisten
Dalam kaitan ini tidak akan ada keinginan pemerintah untuk mengontrol umat beragama melalui sertifikasi ulama seperti di era Presiden SBY maupun yang menjalankan sertifikasi mubaligh, khotib seperti di era Presiden Jokowi sekarang ini.
Penguasa sendiri tak konsisten dengan posisi agama dalam negara. Kadang presiden bicara agama harus dipisahkan dari urusan negara. Tapi pemerintah mengontrol mubaligh dengan sertifikasi.
Jika keinginan sertifikasi mubaligh seperti itu dilakukan, maka artinya agama masuk dalam struktur negara. Ada paham resmi agama negara. Hal ini akan berlanjut dengan berbagai pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas keagamaan umat beragama.
Di beberapa negara muslim ada paham resmi agama negara seperti Malaysia, Arab Saudi. Karenanya di negara seperti itu ada kontrol negara melalui sertifikasi ulama dan sebagainya.
Dari suspicious perspective, kontrol seperti ini yang sebagian umat muslim Indonesia menyetujuinya. Karena ada harapan tradisi keberagamaan mereka akan diterima (karena kondisi politik sekarang) menjadi model beragama seseorang.
Agama akan diamalkan hanya terkait ritual pribadi, simbol-simbol keagamaan dilarang dalam kehidupan publik. Agama Islam bisa diamalkan hanya shalat, puasa, zakat, dan haji. Selain itu, terkait dengan yang selain ibadah madhah, tidak akan diperkenankan.
Model negara seperti inikah yang diinginkan?
Editor Sugeng Purwanto