PWMU.CO – Di bidang tulis-menulis, sepertinya Muhammadiyah masih tertinggal dibanding organisasi lain. Belum banyak di antara pemimpin dan aktivis Muhammadiyah yang aktif menulis. Dakwah lebih sering disampaikan melalui ceramah daripada artikel atau buku. Padahal, karya tulis tersimpan lebih awet. Pembacanya juga tidak terbatas.
Seperti sering saya bilang, syarat untuk dapat menulis ya harus menulis. Bukan harus membaca. Kalau sudah bisa menulis, lalu ingin karya tulis tampak bagus, barulah caranya adalah membaca. Jadi, membaca itu sarana untuk menjadikan karya tulis berbobot.
(Baca: Memanfaatkan Sosmed dengan Cerdas dan Bijaksana dan Jihad Digital untuk Menebar Kebaikan di Dunia Maya)
Bukannya banyak membaca agar bisa menulis atau mempunyai karya tulis. Itu pendapat keliru. Supaya bisa menulis tentu harus mau berlatih menulis. Sesering mungkin. Saya sendiri berlatih menulis sejak tahun 2006. Sampai sekarang. Maka saya bisa menulis. Karena saya lama berlatih menulis. Dengan apa saya berlatih? Ya dengan rajin menulis.
Dan, karena saya juga ingin karya tulis saya layak baca, di situlah saya kemudian dituntut untuk membaca. Pernah suatu kali saya berhenti menulis. Saya hanya fokus membaca. Berhari-hari. Dengan hanya membaca saja, tanpa menulis, saya berpikir bahwa saya akan dapat mengendapkan ide, lalu menghasilkan karya tulis yang tajam. Ibarat kendaraan, saya ingin berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar.
(Baca juga: Muhammadiyah Jatim Lahirkan Mujahid Digital dan Mencerdaskan Masyarakat Melalui Jihad Digital)
Rupanya saya salah. Dengan berhenti menulis, bukannya ide jadi mengendap. Justru ide saya tidak muncul. Membaca juga tidak bisa konsen ke satu buku, namun gonta-ganti banyak buku, sehingga tidak ada satu buku pun yang tuntas saya baca.
Giliran saya hendak mulai menulis lagi, susah sekali ide ini keluar. Padahal setiap hari saya membaca. Parahnya lagi, kesibukan saya saban hari seolah menjadi kurang produktif. Tidak menghasilkan catatan apa pun. Tidak ada file satu pun yang mungkin saya olah menjadi buku. Setiap habis membaca juga tidak menghasilkan apa-apa, karena memang tidak saya peras menjadi karya tulis. Rugi sekali deh rasanya. Sungguh menyesal.
Sejak itu, saya kembali menggairahkan kebiasaan menulis. Tidak ada lagi pikiran untuk berhenti menulis guna fokus membaca. Tidak. Saya akan lakukan keduanya: ya membaca, ya menulis. Saya tidak mau mengalami kerugian serupa. Terjatuh di liang penyesalan yang sama, emoh ah. (*)
Kolom M Husnaini, Penulis buku-buku inspiratif; Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PCM Solokuro, Lamongan.