PWMU.CO– Situasi ekonomi menjelang meletusnya Gerakan 30 September oleh PKI (G30S/PKI) digambarkan oleh Salim Said dalam bukunya Gestapu hidup rakyat sangat susah.
Salim Said waktu itu berumur 21 tahun, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan wartawan Harian Angkatan Bersenjata (AB). Baru dua tahun menjadi penduduk Jakarta.
Dia menceritakan, situasi ekonomi saat itu inflasi mengamuk dengan dahsyat mencapai 650 persen. Barang-barang sulit ditemukan di pasar. Harga keperluan sehari-hari berubah dan beranjak mahal setiap harinya. Tapi kualitas barang di pasar amat buruk.
Contoh, mandi dengan sabun Bris keluaran Unilever sebagai sabun produksi dalam negeri terbaik waktu itu menyebabkan kulit jadi bersisik segera setelah badan dikeringkan.
Obat-obatan, terutama anti biotik, harus diperoleh di pasar gelap dengan harga mahal. Dia pernah ikut ngobyek jual obat bersama dr. Abdul Gafur (yang kemudian menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada masa Orde Baru) dengan keuntungan tipis.
Waktu itu untuk survive, sebagian besar orang terpaksa terlibat ngobyek, kata lain dari nyatut untuk menambah sedikit uang di saku. Dia juga pernah bekerja paro waktu di toko sandang pangan yang menyalurkan beras murah dan minyak tanah kepada penduduk.
Toko-toko sandang pangan bisa ditemukan di mana-mana waktu itu. Untuk membeli beberapa liter beras murah dengan kualitas rendah harus antre panjang sambil membawa kartu dari kelurahan. Pemandangan antre beras, minyak ada di mana-mana.
Sebagai penjaga toko, bayarannya juga beberapa liter beras. Karena dia anak kost, setiap mau makan malam, sebagian beras murah itu ditukarkan dengan nasi uduk di PKL.
Kelompok Diskusi
Kendati hidup sulit mahasiswa dan aktivis mengikuti perkembangan politik dalam kelompok diskusi. Salah satu tempat diskusi di rumah pondokan Wiratmo Soekito. Aktivis yang sering muncul Soe Hok Jin (Arief Budiman), Goenawan Mohamad, Rahman Tolleng, Ekky Syahruddin, dan sejumlah tokoh-tokoh muda Islam serta beberapa perwira TNI.
Selain hampir tiap hari mendengarkan dan kemudian mendiskusikan pidato Presiden Sukarno yang sama sekali tidak berhubungan dengan situasi ekonomi yang makin memburuk. Dengan uang yang amat terbatas urunan beli koran. Di zaman itu koran-koran umumnya sudah dikuasai PKI dan kekuatan kiri.
Salah satu koran yang wajib baca waktu itu Bintang Timur yang mempunyai rubrik kebudayaan Lentera asuhan Pramoedya Ananta Toer. Koran ini milik Partindo (Partai Indonesia). Tapi menyerahkan halaman budaya kepada orang komunis.
Pramoedya menjadikan halaman koran itu untuk membabat seniman budayawan dan karya-karya seni serta pemikiran yang dianggap sebagai kontra revolusioner dan antek Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).
Komunis Makin Dominan
Kelompok seniman non komunis yang bergabung dalam Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dihajar oleh Pramudya dalam lembaran Lentera setelah Manikebu dilarang oleh Sukarno pada 1964.
Nama-nama dan alamat rumah seniman Manikebu di berbagai kota di Indonesia dimuat dalam halaman koran itu. Dengan cara ini, pemuda Komunis di setiap kota mendatangi rumah itu dan melancarkan teror.
Mendekati operasi Gestapu makin ganas pembabatan itu. Salah satu sasarannya adalah Hamka yang dikenal sebagai politisi Masyumi, ulama, dan novelis. Banyak tulisan menyerang Hamka lewat novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van DerWijk.
Novel yang awalnya cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat itu dituduh menjiplak novel Majdulin atau Magdalena, di Bawah Naungan Pohon Tili. Novel ini disadur dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi dari novel Perancis Sous les Tilleuls karya Jean-Baptiste Alphonse Karr.
Pengritik Hamka itu memakai nama Abdullah Said Patmadji (Abdullah SP) menulis di halaman Lentera Bintang Timur: Karena Hamka tak merespon, tulisannya makin galak menuduh Hamka sebagai pembohong. (*)
Editor Sugeng Purwanto