Nanang Husnan Kaharuddin, Dipaksa Jadi Ketua ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Muhammadiyah dan organisasi otonomnya punya jargon unik terkait suksesi kepemimpinan. Bahwa seseorang tidak boleh meminta jabatan, tapi juga tidak boleh menolak jabatan yang diberikan.
Biasanya calon yang berambisi kalah oleh yang tidak diperhitungkan. KH Mas Mansur misalnya, terpilih sebagai Ketua Hoofdbestuur/HB—kini Ketua Umum Pimpinan Pusat—Muhammadiyah dalam Kongres Besar Tahunan ke-26, di Yogyakarta tahun 1937, padahal tidak mencalonkan.
Demikian pula Nanang Husnan Kaharuddin. Dia terpilih sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jatim periode 1994-1998, yang sebelumnya sama sekali tidak diperhitungkan.
Pria kelahiran Lamongan, 19 April 1955, ini awalnya lebih dikenal sebagai wartawan Surabaya Post. Sebagai kuli tinta, dia pernah membuat gempar media massa. Tulisannya tentang kesesatan ajaran keamiran dan baiat ala Islam Jamaah, membuat heboh dunia dakwah.
Bermula dari tulisan-tulisannya, gerakan tersebut lantas dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Akibat tulisan dia tentang kasus Islam Jamaah, dia mendapat teror luar biasa,” kenang Ahmad Munir, salah seorang kawan akrabnya.
Setelah tahun 1990-an aktivitas kewartawanannya sebenarnya sudah mulai menurun. Pada saat yang sama, dia menjabat Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Jombang (1990-1994). Ketika Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Bandung akhir 1993, dia menjadi salah satu anggota muktamar.
Naluri Wartawan
Menyaksikan muktamar berlangsung panas—gara-gara sesama utusan Jawa Timur saling berebut panggung—naluri kewartawanannya pun muncul kembali. Setiap hari dia memberitakan tentang perkembangan muktamar. Pada gilirannya, nama Nanang pun ikut melambung.
Dalam periode yang sama, saya menjadi anggota Departemen Kader Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur. Sehingga relatif sering bertemu. Intensitas pertemuan kian terasa, setelah pada akhir 1994 kami berdua “dipaksa” sejarah untuk menjadi Ketua dan Sekretaris PWPM Jatim. Sejak itu kami sering saling berkunjung ke rumah masing-masing.
Ikhwal “dipaksa” jadi ketua wilayah, itu berawal dari krisis kepemimpinan yang terjadi di tingkat wilayah.
Ceritanya, pada akhir 1992 PWPM Jatim ditinggal studi S2 oleh ketua dan sekretarisnya. Muhammad Najib sebagai ketua, sekolah S2 di ITB, dan Itok Wicaksono S2 di UGM Yogyakarta.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa personalia untuk mengambil alih kepemimpinannya, melalui pertemuan pada 20 Mei 1993, di Perguruan Muhammadiyah Pucang Surabaya.
Tak diduga, suksesi yang dipaksakan itu menyisakan setumpuk masalah, dan melahirkan mosi tidak percaya dari beberapa pimpinan daerah. Puncaknya, terjadi pada Muktamar di Bandung akhir Desember 1993. Ketika Djoko Susilo dimandati untuk menyampaikan pandangan umum atas nama pimpinan wilayah, diprotes keras oleh utusan daerah, bahkan diturunkan paksa.
Sejak saat itu konflik berlangsung terbuka. Puncaknya, terjadi pada Musywil ke-10 di Surabaya. Dalam acara yang berlangsung tanggal 11 Desember 1994 di gedung SMAM Sutorejo Surabaya, itu muncul sikap antiwilayah dari para anggota Musywil. Mereka kemudian mencari figur yang dianggap bukan berasal dari wilayah.
Ditodong Jadi Ketua
Menariknya, beberapa ketua daerah seperti Mas Sudarmadji dari Nganjuk, Mas Anwar Ikhsan dari Sidoarjo, Mas Edy Sanyoto Madiun, termasuk utusan dari Malang Raya, menghubungi saya. Posisi saya yang akan berangkat mengikuti ujian Universitas Terbuka di kampus Universitas Airlangga Surabaya, dipaksa untuk membatalkan dan diminta menuju ke tempat acara.
Sampai di arena musyawarah, saya langsung disodori dua nama. “Silakan Anda pilih Mas Nanang atau Mas Mirdasy yang menjadi ketua,” pinta mereka, dengan memaksa. “Semua sepakat Anda sekretarisnya,” imbuh mereka.
“Mas Nanang atau Mas Mirdasy sama saja. Keduanya sahabat baik,” jawab saya. Lalu mereka memutuskan Mas Nanang sebagai calon ketua.
Hasilnya sesuai rencana. Nanang H. Kaharuddin terpilih sebagai ketua, bersama delapan anggota formatur yang terdiri dari Mohammad Mirdasy, Nadjib Hamid, Fathur Rohim MD, Nidzhom Hidayatullah, Sjamsul Huda, Tri Fathurrahman, Hamri Al-Jauhari, dan Sudarmadji. Dalam rapat formatur, saya terpilih sebagai sekretaris.
Tetap Tinggal di Desa
Selama menjadi ketua, dia tetap tinggal di desa, di Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang. Sementara tugas organisasi sehari-hari lebih banyak dilaksanakan anggota pimpinan lainnya. Sejak awal, dia memang tidak punya ambisi menjadi ketua wilayah, kecuali karena dipaksa rekan-rekannya untuk menyelamatkan organisasi ini agar keluar dari himpitan berbagai masalah.
Periode ini boleh dibilang sebagai periode penuh ujian, sekaligus penuh kenangan. Proses pergantingan pimpinan tanpa diiringi penyerahan data organisasi, apalagi keuangan. “Malah kami ditagih utang periode sebelumnya dari sebuah perusahaan percetakan,” kata Tamhid Masyhudi, Bendahara PWPM memberikan kesaksian.
Tapi pada periode ini pula kegiatan kolosal berhasil dilaksanakan. Yaitu tabligh akbar yang digelar bersama ortom angkatan muda Muhammadiyah di Stadion Tambaksari Surabaya, pada 1 September 1996. Sekaligus sebagai penanda kebangkitan kembali Kokam. Hadir sebagai pembicara utama pada perhelatan tersebut, Ketua (Umum) Pmpinan Pusat Muhammadiyah, Dr M. Amien Rais.
Tabligh akbar digelar dalam situasi politik yang memanas jelang Pemilu 1998. Ketika itu, bergulir isu suksesi dan kebangkitan kembali anak-anak aktivis PKI.
Di tengah acara, dilakukan pelantikan anggota kehormatan Tapak Suci, yang terdiri dari Gubernur Jatim Basofi Sudirman, Pangdam Jaya Imam Utomo, dan Pangkotama lainnya.
Berjuang dari Bawah
Kiprah Nanang dimulai dari bawah. Sebelum jadi ketua wilayah, dia sudah aktif menggerakkan dakwah di bidang ekonomi melalui Koperasi Surya Sekawan yang didirikan di daerahnya.
Purna tugas sebagai ketua wilayah, ia tetap aktif berdakwah baik melalui Persyarikatan maupun media massa. Pendiri Koran “Radar Minggu” dan mantan Ketua PCM Perak/Bandar Kedungmulyo Jombang ini terus menekuni profesi jurnalistiknya.
Pada periode 2010-2015 suami dari Shofi Inayati ini kembali masuk jajaran Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jombang. Tapi belum genap setahun pengabdiannya, pada 16 September 2011 dirinya dipanggil menghadap Sang Pencipta.
Menurut istrinya, Nanang mulai sering mengeluh sakit sejak pulang dari Muktamar ke-46 di Yogyakarta. Tapi menurut dia, suaminya tidak terlalu peduli pada kondisi kesehatannya. Bahkan ketika berada di rumah sakit hendak operasi akibat penyakit yang menderanya, dia “melarikan diri”, pulang ke rumah membonceng sepeda motor temannya.
Nanang dikenal sebagai aktivis yang sederhana, ditunjukkan dengan tetap memilih berdomisili di desa. Tapi sangat peduli pada pendidikan agama.
Kedua anaknya—Izzul Anif Maghtuna dan Yunan Natsir Safrudin—alumni Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.