PWMU.CO– Hukum memelihara anjing dan malaikat yang tak mau mau rumah karena ada anjing dapat dijelaskan sebagai berikut. Islam mengajarkan berbuat baik kepada binatang. Bahkan dapat menjadi jalan memperoleh pahala dan mendapat ampunan Allah.
Ada hadits mengisahkan berbuat baik kepada anjing yang kehausan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا :يَا رَسُولَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا. فَقَالَ: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Diriwayatkan dari Abu Huraira bahwa, Rasulullah saw pernah bercerita, suatu ketika ada seorang laki-laki melewati satu jalan dalam keadaan sangat kehausan. Kemudian ia menemukan sumur. Ia berhenti di sumur itu dan meminum airnya. Ketika ia selesai dan beranjak dari sumur itu, ia menemukan seekor anjing yang menjulur-julurkan lidah sembari memakan tanah yang lembab karena kehausan. Lelaki itu kemudian bergumam, anjing ini kehausan seperti yang tadi aku rasakan. Ia pun kembali ke sumur dan mengisi sepatunya dengan air, kemudian ia memegangi anjing tersebut dengan tangan dan memberinya minum. Allah kemudian memberinya pahala dan mengampuni dosa-dosanya.
Para sahabat kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa di dalam binatang ada pahala juga bagi kami?”
Rasulullah menjawab, pada setiap yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup) ada pahala.
Islam membuat batasan syariat dalam hal memanfaatkan dan berinteraksi dengan binatang. Aturan itu misalnya Islam mengajarkan tentang halalnya binatang ternak (QS. 16: 66, 22: 28, 23: 21), dan binatang laut untuk dimakan.
Islam mendorong agar manusia memfungsikan binatang sebagai partner untuk membantunya mencari rezeki (QS. 5: 4, 16: 5-6) dan sebagai alat transportasi (QS. 40: 79).
Islam mengharamkan binatang yang kotor (QS. 7: 157), binatang buas yang bertaring dan bercakar, dan secara spesifik al-Quran menyebut haramnya babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh dan yang ditanduk (QS. 5: 3).
Anjing Terlatih
Untuk anjing ditemukan beberapa nash yang mengatur batasan berinteraksi dengannya. Sehingga ditarik kesimpulan pada dasarnya Islam melarang memelihara anjing, kecuali memanfaatkan untuk kebutuhan sangat diperlukan. Dalil nash hukum memelihara anjing adalah
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu ..(al-Maidah (5): 4)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ (رواه مسلم وأبو داود)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga ternak, berburu dan bercocok tanam, maka pahalanya akan berkurang setiap satu hari sebanyak satu qirath. (HR Muslim dan Abu Dawud)
عن ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُماَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ (رواه البخاري ومسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa yang memelihara anjing, selain anjing ternak dan anjing untuk berburu, maka berkuranglah setiap hari dari perbuatannnya dua qirath.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ayat al-Quran dan dua hadits di atas menunjukkan, menurut ajaran Islam anjing tidak boleh dipergunakan kecuali untuk kepentingan membantu pertanian, menggembalakan hewan atau berburu. Dari tiga fungsi tersebut, para ulama menarik satu ‘illat (kausa hukum) berupa kemanfaatan dalam berinteraksi dengan anjing (Ibnu Bathal, XI: 379).
Jika terdapat suatu manfaat tertentu yang bersifat halal, maka anjing boleh digunakan. Oleh karena itu beberapa ulama kemudian memberlakukan kausa tersebut kepada fungsi anjing lainnya, seperti menjaga rumah (al-Mahalla, IX: 13, Fath al-Bari, VII: 171) dan menjadi hewan pelacak.
Hukum Makruh dan Haram
Di luar kepentingan itu, Islam menutup rapat celah untuk memelihara anjing. Memang dalam literatur Islam klasik ditemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jenis hukum memelihara anjing, apakah makruh atau sampai pada derajat haram.
Di antara ulama yang menganggap makruh hukum memelihara anjing adalah Ibnu Abdil Barr (XIV: 218), seorang ulama dari Andalusia yang bermazhab Maliki.
Menurutnya, sesuatu yang dihukumi haram, haruslah bersifat tetap (konstan), tidak kondisional dan tanpa mengenal eksepsi (pengecualian) (Nail al-Authar, XII: 493).
Menurutnya, hukum memelihara anjing tidak mencapai derajat haram, karena perbedaan situasi dapat membawa hukumnya menjadi berubah. Namun logika ini dapat diselesaikan oleh satu kaidah hukum, مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ، وَمَا حُرِّمَ لِلسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ artinya, sesuatu yang diharamkan karena dzatnya (asalnya), maka ia dapat dibolehkan karena ada suatu kondisi darurat, dan sesuatu yang diharamkan sebagai langkah preventif, maka ia dapat dibolehkan karena ada kebutuhan terhadapnya.
Pengecualian memang dapat terjadi di dalam hal-hal yang haram karena ada situasi yang mengharuskannya atau menghendakinya.
Sebagian besar ulama Islam seperti al-Nawawi, V; 421, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar, XV: 413, al-‘Aini, XXX: 486, al-Shan’ani, IV: 70 berpendapat, memelihara anjing di luar kepentingan yang telah disebutkan di atas hukumnya haram.
Pengertian Berkurang Dua Qirath
Di antara indikasi keharaman tersebut adalah keterangan Nabi saw tentang berkurangnya pahala setiap hari sebanyak satu atau dua qirath karena memelihara anjing.
Di dalam ilmu ushul fikih disebutkan bahwa perbuatan haram ditunjukkan tidak semata-mata oleh suatu larangan (al-nahy), tetapi bisa juga oleh implikasi (al-‘uqubah) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut (Wahbah al-Zuhailiy, I: 86-7).
Beberapa ulama telah berusaha menjelaskan makna “berkurangnya pahala” dan besaran qirath dalam hadits tadi. Pengertian “berkurangnya pahala” menurut al-Qari seperti dinukil oleh Mubarakfuri adalah hilangnya pahala masa lalu.
Sementara menurut Mubarakfuri sendiri dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV: 137) adalah perbuatan baik di masa depan tidak diberi pahala. Tidak ada yang dapat dikomentari dari dua kemungkinan penafsiran tersebut kecuali dengan mengatakan wallahu a’lam.
Sedangkan pengertian qirath dalam dua hadis di atas menurut para ulama adalah suatu simbol akan kerasnya peringatan dari perbuatan memelihara anjing. Ibnu Bathal (dikutip dari al-Ainiy, XXI: 98) menggunakan istilah innahu ghalazhun alaihim (memelihara anjing adalah perkara berat untuk umat Islam). Sedangkan besaran qirath, menurut para ulama hanya Allah yang tahu (Abadi, VI: 306). Bisa jadi qirath di sini hanya suatu metafora (majaz) untuk suatu perbuatan yang amat tidak disukai oleh Allah.
Malaikat Tak Mau Masuk Rumah
Di antara ‘illat (kausa atau motif hukum) dari terlarangnya memelihara anjing selain untuk kebutuhan yang disebutkan di atas adalah penegasan dan peringatan dari Rasulullah saw, malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing.
Peringatan Rasulullah tersebut bermakna bahwa rumah tersebut tidak mendapatkan kebaikan, rahmat, keberkahan dan tidak mendapatkan pengampunan dari Allah (al-Nawawi, VII: 207). Hadis yang menerangkan hal tersebut adalah
عَنْ أَبِى طَلْحَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يَقُولُ: لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ تَمَاثِيلُ (رواه البخاري ومسلم واللفظ له)
Diriwayatkan dari Abu Thalhah al-Anshari, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing (dipelihara) dan patung (untuk disembah). (HR Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Muslim)
Suatu catatan diperlukan di sini bahwa makna hadis tersebut tidak berarti bahwa malaikat maut dan malaikat pencatat amal perbuatan manusia juga tidak masuk ke dalam rumah manusia pemelihara anjing, sehingga pemelihara anjing berada pada zona aman (ghairu mukallaf). Malaikat-malaikat tersebut tetap menjalankan tugasnya, karena itulah kewajiban yang mereka emban dari Allah.
Keberadaan anjing di luar rumah harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai menjilati pemiliknya atau menjilati barang-barang lain yang bersih. Karena jilatan anjing, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis, adalah suatu najis yang harus dihindari. (*)
Selengkapnya bisa dibaca di tarjih.or.id
Editor Sugeng Purwanto