Antara Konsep dan Aplikasi Bernegara tulisan Prof Dr Achmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Dalam praktik di lapangan beberapa konsep negara seperti yang disebutkan dalam tulisan terdahulu seringkali mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan itu.
Teo-demokrasi yang digagas oleh Abul A’la Maududi sebenarnya muncul belakangan. Sebelumnya, ia mencoba mewujudkan keinginan menegakkan negara Islam dengan mendirikan pilot proyek Darul Islam di Pathankot, Punjab, pada 1938.
Darul Islam merupakan proyek percontohan yang penghuninya adalah kaum muslimin hidup secara ”Islami”. Proyek ini bertahan selama sembilan bulan. Pada 1938 ia memindahkan Darul Islam dari Pathankot ke Lahore.
Pandangan Maududi (1902-1979) tentang negara Islam memiliki kesamaan dengan pandangan Hasan Al-Banna (1906-1949). Keduanya berpendapat bahwa negara Islam harus ada guna menjamin terlaksananya syariat Islam.
Maududi banyak menulis tentang politik. Konsep tentang negara banyak ditemukan di beberapa tulisannya. Semuanya kemudian diedit dan terkumpul dalam Islamic Law and Constitution. Dalam buku ini dibicarakan tentang idealnya sebuah negara.
Kepala negara dipilih dari para khalifah (warga negara muslim). Jabatan tertinggi ini disebut Amir, Khalifah atau Presiden. Maududi juga mengambil tiga lembaga tinggi negara dalam konsep negara modern: eksekutif, yudikatif, dan legislatif (Montesquieu). Namun, hak tertinggi ada pada kepala negara. Keputusan ketiga lembaga tinggi bisa diveto oleh kepala negara.
Aplikasi Konsep Maududi
Dalam bukunya Maududi menyebutkan, salah satu persyaratan kepala negara adalah laki-laki. Di lapangan persyaratan ini ternyata tidak bisa dijalankan. Antara konsep dan aplikasi bernegara tidak selalu selaras.
Dalam Pemilihan Presiden Pakistan pada 1965, ia mencalonkan adiknya Ali Jinnah, Fatima Jinnah, bersaing dengan Jenderal Ayub Khan. Jadi konsep ternyata bisa berubah menghadapi kenyataan di lapangan.
Di Amerika Serikat (AS), negara paling sekuler di dunia, mengetrapkan persyaratan yang paling ketat bagi siapa saja yang ingin menjadi pejabat publik. Semua pejabat publik harus steril dari perilaku menyimpang dari etika moral agama. Karena keputusan yang dihasilkan oleh pemimpin itu berdampak bagi kehidupan masyarakat.
Jadi di AS sekularisme negara ternyata tidak terlepas dari nilai etika moral agama, terutama dalam semua proses politik. Hal inilah yang mendiang Presiden Ronald Reagan pernah menyatakan bahwa tradisi politik di AS terpengaruh oleh pemikiran etika politik Ibnu Khaldun.
Ini tidak berarti bahwa para pejabat di AS semuanya steril dara penyimpangan. Penyimpangan ditemukan juga. Tetapi kontrol masyarakat sangat ketat. Demikian juga penegakan aturan yang menyimpang bagi seorang pejabat tetap ditegakkan tanpa pandang status.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia?
Editor Sugeng Purwanto