Kuliah Hidup dari Sang OB tulisan Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Kalau kisahnya tidak istimewa, tak mungkin dibukukan. Kalau tak mengandung kisah-kisah unik, mana mungkin Bos DI’sway mau mem-podcast-kan. Jika bukan OB (Office boy) ekselen, mana mungkin diajak rapat direksi.
Inilah kisah office boy yang bukunya diberi kata pengantar tiga penggede Jawa Pos. Dahlan Iskan, Nany Wijaya, Dhimam Abror. Ada banyak kuliah hidup dari sini.
Jika kejadian ini tidak menimpa OB istimewa, mungkin dia sudah dipecat. Bayangkan, bosnya sakit, sedang operasi, dia mengirim SMS begini: yen arep matek, ojo ngajak-ngajak (kalau mau mati, jangan ngajak-ngajak).
Memang SMS nyasar, salah kirim. Tapi repotnya luar biasa. Begitu ada jawaban: siapa Anda? Dia kaget. Itu pasti bukan khas jawaban temannya. Benar. Salah kirim. Celakanya nyasar ke HP Nany Wijaya, Direktur JP sekaligus Dirut Nyata, atasan yang justru sering dilayaninya. ”Ngimpi opo. Apes.”
Tapi inilah wisdom pertama dari Suryadi, OB kita yang istimewa ini. ”Yen tak jawab molo. Kalau saya jawab pasti masalah. Harus diselesaikan dengan silaturahim,” katanya dalam buku yang dijuduli Sesekali Jadi Orang Penting yang ditulis ciamik oleh Cak Fu (Fuad Ariyanto) bersama Mas Yarno ini.
Menunggu Nany Wijaya
Tiap hari, dia menengok ruang kerja Mbak Nany, panggilan wartawan termasuk Suryadi kepadanya. Hari pertama sampai hari keenam nihil. Deg-degannya tak habis-habis. Begitu hari ketujuh muncul. Tak pakai basa-basi langsung minta maaf.
”Mbak, saya yang ngirim SMS itu. Salah kirim. Mestinya ke teman plek-ku yang selalu kalau tak punya duit minta ditraktir. Makanya saya jawab gitu. Gak tahunya salah kirim,” katanya.
Apa jawab Mbak Nany? ”Oh koen ta Sur. Yo wis, gak popo tak sepuro. Ojok,mbok baleni, bahasane kasar iku,” katanya. Sejak itu dia kapok menyimpan nomor penggede JP. Langsung didelete. Takut nyasar lagi.
Bukan sekali itu Suryadi bikin sakit hati Mbak Nany. Nasi Pe Wonokromo favorit Nany yang sengaja diinapkan semalam di ruangannya, katanya biar bumbunya merasuk ke dagingnya, dibuang oleh Suryadi yang membersihkan.
Begitu datang, itu yang ditanya. ”Sur, tahu nasi di sini?”
”Wah sudah saya buang, Mbak. Saya kira nasi basi?” jawabnya.
”Aduh Sur, aku wis kemecer, cepet-cepet ngantor pingin segera makan itu,” katanya.
Apes Berkali-kali
Tak hanya Nany Wijaya yang “dikerjai” OB istimewa ini. Ada Imam Sudjadi, Wapemred. ”Sur, tulung bikinkan kopi.”
”Siap ini, Pak,” katanya.
”Lho kok cepat?”
”Ya kebetulan barusan bikin.”
Begitu diminum, langsung disemburkan. Suryadi kaget. ”Gak salah ta Sur. Coba minumen.” Begitu Suryadi minum, dia baru sadar kalau kopi itu dicampurinya garam. Maksudnya untuk Misran, teman pleknya di JP yang sering mengerjainya. Maksudnya membalas, tapi kena batunya.
Tak hanya itu. Bos besar DI malah terhitung paling sering “digarap” Suryadi. Begitu awal masuk JP, DI yang berpenampilan sangat sederhana, berkali-kali diusir oleh Suryadi. Baca koran di tangga diusir. Pindah ke ruang redaksi, sambil mengangkat kaki, diusir.
Bahkan, suatu hari, dia kunci DI di ruang rapat redaksi. Suryadi sudah pulang sambil membawa kuncinya. DI yang terkunci di dalam, diminta sabar karena harus mengambil kunci di rumah Suryadi di Kaliasin.
Apes berkali-kali. Salah berkali-kali. Mengapa selamat? Karena yang apes dan salah-salah tadi bukan sifat dasar Suryadi. Nonteknis. Sifat dasarnya adalah rajin, super jujur (bawa ratusan juta uang penagihan, tak serupiah pun berkurang), menyenangkan, dan pekerja keras.
Seperti bosnya, DI, dialah karyawan yang jam kerjanya tidak hitungan. Berangkat pukul 5 pagi, pulang pukul 9 malam. Dia ditegur DI karena itu. ”Pulang, kasihan anak istri,” katanya.
Ini baru secuil dari isi buku yang sangat menghibur di kala pandemi sekarang ini. Banyak sekali kuliah hidup dari sang OB yang bisa kita petik dari buku 129 halaman ini. Silakan baca sendiri. Dua jam selesai. Salam!
Editor Sugeng Purwanto