Pertemuan Mao dan Aidit di Peking menjadi pendorong bagi PKI segera melakukan Gerakan 30 September 1965.
PWMU.CO-Bulan Agustus 1965 kesehatan Bung Karno memburuk. Ketua PKI DN Aidit yang bulan itu berada di Peking Cina membicarakan kesehatan Presiden RI dengan Mao Tse Tung.
Pertemuan Mao dan Aidit berlangsung di Markas Partai Komunis Cina di Zhongnanhai, sebuah gedung dalam Kota Terlarang di Peking.
Presiden Mao Tse Tung punya informasi terkini tentang kesehatan Bung Karno dari para dokter Cina yang merawatnya. Juga dari Kedutaan Besar, dan informan lain. Keduanya juga membicarakan soal pemasokan senjata untuk Angkatan Kelima atau Tentara Rakyat.
Tanggal 4 Agustus Bung Karno pingsan. Dokter Cina yang merawatnya menginformasikan kematiannya bisa datang sewaktu-waktu atau atau lumpuh. Aidit juga mendapat informasi itu dari Menteri Luar Negeri Subandrio.
Aidit meminta pendapat Mao tindakan apa yang harus dilakukan dalam situasi ini.
Tanggapan Mao cepat dan lugas sekali. Pertemuan itu 5 Agustus 1965. Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965 menuliskan pembicaraan itu mulai halaman 76.
”Kamu harus bertindak cepat,” kata Mao.
”Saya khawatir AD akan menjadi penghalang,” jawab Aidit.
”Baiklah, lakukanlah apa yang saya nasihatkan kepadamu. Habisi semua jenderal dan para perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu,” tutur Mao.
”Itu berarti membunuh beberapa ratus perwira,” tukas Aidit.
”Di Shensi Utara saya membunuh 20.000 orang kader dalam sekali pukul saja,” tandas Mao.
Analisis Posisi Bung Karno
Pertemuan Mao dan Aidit lantas menilai karakter Presiden Sukarno yang negatif dan yang positif. Penilaian ini membicarakan sampai sejauh mana kemampuan presiden, berdasarkan kondisi kesehatannya sekarang untuk ikut menggelorakan tujuan revolusioner Cina di Asia Tenggara dan sasaran PKI di front dalam-negeri. Keduanya berkesimpulan Bung Karno tak mampu melanjutkan perjuangan revolusionernya.
Tapi Mao maupun Aidit sependapat Presiden Sukarno tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Sebagai Panglima Tertinggi ABRI dapat memberhentikan atau menghabisi para jenderal AD yang menentang kedekatannya dengan Cina, konfrontasi bersenjata dengan Malaysia, serta mempersenjatai buruh dan tani.
Presiden juga dapat menunjuk kabinet Gotong Royong di mana PKI akan menjadi pemain yang dominan, selanjutnya akan membuka jalan ke arah transformasi sosialisme sepenuhnya di negeri itu.
Setelah melegitimasikan transisi ini, Mao menyarankan kepada Aidit agar presiden harus pensiun. Kemudian digantikan oleh seseorang yang bukan- komunis. Aidit harus memegang jabatan perdana menteri untuk mengendalikan seluruh lini kekuasaan.
Rumah Istirahat di Danau Angsa
Sebelum berpisah, Aidit mendapat janji Mao yang segera memasok bagi presiden 30.000 pucuk senjata untuk memukul para jenderal reaksioner. Mengirim dengan kapal laut sejumlah besar senjata untuk perlengkapan Angkatan Kelima.
Aidit ke Jakarta didampingi dua orang ”dokter” Dr Wang Hsin Te dan Dr Tan Min Hsuen untuk menyertai tim dokter Cina yang telah merawat presiden. Dokter ini diperkirakan juga bagain dari intelijen.
Aidit tiba di Jakarta tanggal 7 Agustus pukul 12.00 siang. Dia langsung menemui presiden di Istana Merdeka melaporkan pertemuannya dengan Mao. Besoknya menemui Bung Karno lagi di Istana Bogor.
Kemudian Marsekal Chen Yi utusan pemerintah Cina ke Jakarta menghadiri perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1965. Chen Yi membawa pesan dari Peking yang disampaikan kepada Menlu Subandrio, Cina telah mempersiapkan sebuah tempat tinggal yang nyaman untuk Sukarno di Danau Angsa di Cina untuk perawatan presiden dan antisipasi jika terjadi kemelut di Jakarta sebelum meletus G30S/PKI. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto