G30S/PKI: Dilupakan atau Dimaafkan? Kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah tinggal di Lamongan.
PWMU.CO – Forgiveness but not forgetting, memaafkan tapi tidak melupakan adalah ungkapan yang akrab di kalangan masyarakat Eropa dalam mengenang kekejaman Nazi.
Dalam konteks belajar sejarah, memaafkan sebuah peristiwa kelam tidak harus dengan jalan melupakan atau menghapus dari buku-buku sejarah. Bahkan, meminjam Cicero seorang filsuf Yunani, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan.
Sejarah Penting di Bulan September
Pada bulan September terjadi peristiwa-peristiwa besar yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, baik yang heroik maupun kelam. Seperti rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta 19 September 1945; insiden bendera di Surabaya 19 September 1945, Hari Olah Raga Nasional 9 September, Hari Tani Nasional 24 September, Hari Statistik 26 September, Peristiwa Madiun 18 September 1948, dan Gerakan 30 September 1965.
Dari peristiwa-peristiwa bersejarah itu, Peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September paling hangat, bahkan paling panas, dibahas. Sebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah keterlibatan kelompok komunis.
Dalam Peristiwa Madiun 1948 nama komunis belum muncul karena menggunakan nama Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Berkat kejelian Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri Mohammad Hatta yang mampu mengenali FDR sebagai gerakan kelompok komunis berbahaya, gerakan pimpinan Muso dan Amir Syarifudin itu berhasil ditumpas.
Setelah 1948, kelompok komunis berupaya bangkit dan berhasil melakukan konsolidasi dengan mengikuti Pemilihan Umum 1955 dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun perolehan suaranya di bawah partai-partai nasionalis dan Islam, PNI, Masyumi, dan NU, tetapi lobi-lobi PKI mampu memikat Presiden Soekarno.
Kedekatan Presiden dengan PKI membuat Wakil Presiden Mohammad Hatta merasa tidak nyaman dan mengundurkan diri pada tahun 1956.
Setelah pengunduran diri Mohammad Hatta, ketegangan demi ketegangan pemerintah dengan tokoh-tokoh Islam dan demokrasi semakin sering terjadi. Bahkan tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir dan Buya Hamka (Masyumi), Anak Agung Gde Agung, dan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Imron Rosyadi dipenjara rezim.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dipengaruhi PKI semakin dirasakan tidak sejalan dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Demokrasi Terpimpin menyebabkan krisis sosial, politik, dan ekonomi berkepanjangan di tahun 1960-an.
Segala kemelut sosial, ekonomi, politik mencapai puncaknya pada 30 September 1965. Tujuh petinggi TNI Angkatan Darat diperlakukan sejara keji pada sepertiga malam 30 September 1965 hingga usai Subuh.
Sebagian kalangan menyebut peristiwa 30 September sebagai hal yang “wajar” dalam revolusi sosial sebuah negara sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Komunisme Global
Revolusi sosial sebagai gerakan khas kaum komunis terbukti sukses di Rusia pada tahun 1917, di China daratan tahun 1949, dan di sejumlah negara Eropa Timur, Amerika Latin, Asia dan Afrika.
Gerakan revolusi sosial komunisme mampu memikat masyarakat yang kurang terpelajar dan menjadi korban ketidakadilan selama masa kolonialisme dan imperialisme.
Tampilnya Republik Rakyat China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi baru sejak pertengahan tahun 1990-an menandai kebangkitan paham komunis setelah runtuhnya komunis lama Uni Sovyet, Jerman Timur, Yugoslavia dan sejumlah negara Eropa Timur lainnya.
Sejumlah negara terikat kerja sama ekonomi dengan RRC berupa tawaran-tawaran investasi atau pinjaman untuk memajukan infrastruktur.
Sebagian tokoh masyarakat di Indonesia khawatir kedekatan pemerintah Indonesia dengan RRC akhir-akhir ini akan mengulang sejarah kelam tahun 1965. Tanggal 30 September 2020 merupakan peringatan G30S/PKI ke-55, sebuah peristiwa besar yang tidak boleh dilupakan, namun wajib dimaafkan.
Muhammadiyah Maafkan Tokoh Komunis
Dalam hal memaafkan kaum komunis, persyarikatan Muhammadiyah telah melakukan sejak masa ISDV (Indische Social Democratie Verenigde) tahun 1920-an. Pada beberapa kesempatan, aktivis ISDV yang bermaksud menyampaikan ide gerakannya diberi tempat dalam forum-forum persyarikatan, tetapi pada kesempatan yang sama KH Ahmad Dahlan juga menjelaskan beberapa kelemahan ide-ide ISDV pada kader-kader Muhammadiyah.
Pada masa ISDV tahun 1920-an yang fenomenal adalah keberadaan Drijowongso seorang aktivis buruh pada masa pemberontakan dan pemogokan ISDV tahun 1921. Setelah bebas dari penjara pemerintah kolonial, Drijowongso diangkat sebagai Sekretaris Penolong Kesengsaraan Oemem (PKO).
Pengangkatan dilakukan setelah Drijowongso melalui proses bersungguh-sungguh menjadi anggota persyarikatan dan menjadi muslim yang baik.
Hoofdbestuur (HB)—kini Pimpinan Pusat (PP)— Muhammadiyah men-tanfidh catatan sejarah penting keberadaan Drijowongso, dimulai ketika KH Ahmad Dahlan menerima surat dari Drijowongso dari balik penjara pemerintah kolonial setelah memimpin aksi pemogokan buruh.
Surat berisi permohonan kepada Muhammadiyah untuk merawat anak istri Drijowongso selama di penjara. Merespons surat ini KH Ahmad Dahlan bersama Haji Fahruddin pada tanggal 20 November 1921 menjemput sendiri anak dan istri Drijowongso dari Porong Sidoarjo untuk dibawa ke Yogyakarta selepas acara tabligh di sejumlah daerah di Jawa Timur.
Pembubaran Masyumi
Memasuki tahun 1960-an, peristiwa mencekam yang dialami persyarikatan Muhammadiyah—meskipun tidak secara langsung—adalah pembubaran partai Masyumi.
Tidak bisa disangkal bahwa partai Masyumi sebagai wadah aspirasi politik utama warga Muhammadiyah pada pemilu 1955. Penahanan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Kasman Singodimejo, Buya Hamka dan lain-lain tidak sampai memantik dendam persyarikatan Muhammadiyah pada pemerintah atau pada PKI yang banyak memengaruhi kebijakan pemerintah masa demokrasi terpimpin.
Pada saat pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga pembubaran partai Masyumi, persyarikatan Muhammadiyah masih terwakili di dalam pemerintahan dengan keberadaan Ir H Juanda yang menjabat Perdana Menteri pada tahun 1957-1963. Posisi “unik” ini menyelamatkan Muhammadiyah secara organisasi dari tekanan dan gangguan serius gerakan PKI yang mendominasi politik Indonesia tahun 1955-1965.
Setelah G30S/PKI 1965 persyarikatan Muhammadiyah bergabung dalam penumpasan dengan membentuk organ Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) pada 1 Oktober 1965. Kegiatan Kokam berada di bawah koordinasi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pasukan elite baret merah ujung tombak penumpasan G30S/PKI.
Di samping ikut dalam aksi paramiliter, sejumlah aktivis Muhammadiyah menggerakkan gerakan kultural untuk menyadarkan masyarakat yang sempat bergabung PKI. Masjid Jogokariyan Yogyakarta—sebagaimana pernah dikisahkan oleh Ustadz Jazir ASP, takmir masjid—merupakan salah satu monumen sejarah pembinaan masyarakat yang sempat terkontaminasi paham komunis.
Lahan Subur PKI
Memaafkan tanpa melupakan, dengan berpedoman pada nilai-nilai Islam tidak ada musuh abadi bagi yang bersungguh-sungguh hijrah masuk ke dalam agama Allah SWT secara ikhlas.
Dalam konteks keindonesiaan, sumpah setia pada Pancasila sebagai syarat mutlak untuk bersungguh-sungguh menjadi warga negara Indonesia yang baik, bertanggung jawab dan dimaafkan segala kesalahan masa lalunya.
Lahan subur komunisme antara lain kebodohan dalam ilmu agama, ilmu pengetahuan, kemiskinan dan ketidakadilan telah menjadi fokus dakwah KH Ahmad Dahlan sejak tahun 1912.
Gerakan al-Maun persyarikatan Muhammadiyah layak dijadikan ruh mengantisipasi kebangkitan komunisme di Indonesia. Bersama persyarikatan Muhammadiyah memaafkan tanpa melupakan peristiwa kelam ISDV 1920, FDR Madiun 1948, dan G30S/PKI 1965. Wallahu’alam biashshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.