Merebut RRI dan gedung Telkom dari kelompok Untung berlangsung 20 menit oleh pasukan RPKAD.
PWMU.CO-Pukul 07.00 hari Jumat 1 Oktober 1965, RRI menyiarkan berita mengenai Gerakan 30 September (G30S) yang berlangsung Subuh. Penjelasan dari Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa. Tujuan gerakan ini menghadapi Dewan Jenderal yang akan kudeta terhadap Bung Karno. Dia mendahului menculik para jenderal untuk menyelamatkan presiden.
Mendengar nama Untung disiaran RRI itu, hati Komandan Kostrad Mayjen Soeharto langsung deg. Dia kenal Untung sebagai tentara yang dekat dengan PKI dan anak didik tokoh Alimin sejak 1945.
Siaran radio dengan suara Untung itu berulang beberapa kali pagi, siang hingga sore. RRI dan Telkom rupanya sudah dikuasai oleh G30S. RRI pada siang hari mengumumkan siaran lagi tentang penurunan pangkat para perwira tinggi di bawah pangkat Untung. Dia juga mengumumkan susunan Dewan Revolusi yang menggantikan Kabinet Dwikora.
Dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya menceritakan, pukul 11 datang Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie ke Kostrad. Soeharto dan Sarwo Edhie langsung membicarakan rencana penyerangan RRI dan Telkom yang sudah diduduki kelompok Untung.
Dengan Sarwo Edhie tidak banyak bicara karena ia sudah mengerti situasi dengan cepat. ”Saya pun cepat saja memberi perintah untuk merebut kembali RRI dan Telkom,” cerita Soeharto.
Ternyata tengah hari itu Sarwo Edhie berkeinginan langsung merebut RRI dengan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Soeharto mendengar itu langsung menghubungi dan menunggu perintahnya. ”Tunggu dulu sampai waktunya yang tepat,” kata Soeharto.
Pertimbangan Soeharto penyerangan siang hari khawatir jatuh banyak korban. Selain itu ingin mendengar apa yang sudah dilakukan Untung lewat siarannya.
Tapi untuk menjaga semangat prajuritnya, Sarwo Edhie membawa pasukan khusus baret merah itu ke Kostrad daripada menunggu di Markas Cijantung. Lokasi Kostrad dengan RRI dekat.
Gedung Dikuasai, Siaran Untung Masih Terdengar
Perintah merebut RRI dan Telkom datang setelah Maghrib. Terdiri dua regu dipimpin Kapten Heru dan Kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie memantau di Kostrad lewat HT.
Dalam buku Gestapu 65 tulisan Salim Said menceritakan, dari Kostrad, truk RPKAD berjalan perlahan menuju studio RRI dengan memotong Lapangan Monas yang masih dalam proses pembangunan.
Di tengah perjalanan, Mayor Jusuf Sirath, salah seorang anak buah Brigjen Soegandhi, Kepala Bagian Penerangan AB, meloncat dari truk dan berjalan kaki sembari merunduk bersama pasukan yang mengawal truk. ”Saya takut peluru nyasar,” katanya.
Tiba di RRI, pasukan masuk. Pegawai Siaran Angkatan Bersenjata (SIAB), salah satu acara tetap RRI yang dikelola anak buah Brigjen Soegandhi, menjadi pemandu bagi tentara yang memasuki gedung.
Letnan Dua Sintong Panjaitan, komandan peleton yang memimpin penyerangan RRI mendapati kelompok Untung sudah meninggalkan gedung RRI. Merebut RRI hanya dalam waktu 20 menit. Segera saja Sintong melaporkan kepada komandan sudah menguasai RRI.
Tapi Sarwo Edhie yang meneima laporan itu malah berteriak. ”Bagaimana dikuasai? Itu siaran mereka masih terus terdengar,” teriak Kolonel Sarwo Edhie lewat radio komunikasi.
Ternyata saat gedung sudah dikuasai RRI masih menyiarkan rekaman pengumuman Gestapu oleh Untung. Pegawai RRI takut menghentikan siaran itu. Sementara Sintong dan anak buahnya tidak memperhatikannya urusan itu.
Akibatnya, para jenderal di Markas Kostrad bingung ketika mendapat laporan dari lapangan, RRI telah dikuasai tapi siaran Untung masih terdengar. Sintong segera memerintahkan menghentikan pemutaran rekaman itu.
Lagu Nasakom Bersatu
Begitu juga ketika Soegandhi sedang memberikan taklimat kepada para petinggi RRI di ruang depan studio, ternyata di ruang RRI masih terdengar lagu Nasakom Bersatu. Salim Said memberitahu lagu itu kepada Brigjen Ibnu Subroto, bagian penerangan Kostrad.
Ibnu Subroto segera menginterupsi Soegandhi agar memerintahkan pegawai RRI menghentikan lagu itu. Lagu Nasakom Bersatu ciptaan komponis Lekra, Subronto K. Atmodjo.
Sementara penguasaan gedung Telkom juga berjalan cepat. Anggota Pemuda Rakyat bersenjata yang menjaga sempat melawan. Dengan mudah mereka dilumpuhkan.
Salim Said yang pernah bekerja menjadi reporter di radio ini menemui teman-teman lamanya setelah merebut RRI berlangsung lancar. Mereka tampak ketakutan dengan situasi ini meski tidak terjadi kekerasan dalam pengambilalihan gedung di Jalan Merdeka Barat itu.
Salah seorang yang sangat ketakutan ialah Hamid Ismail. Menurut cerita teman-temannya, Hamid awalnya orang Masyumi. Tapi untuk mempertahankan kedudukannya di RRI setelah partainya dibubarkan, dia berangsur berubah bersikap dan bicara layaknya seorang revolusioner pendukung Sukarno. Makin lama makin sulit dibedakan dia dengan orang-orang komunis lainnya.
Menjadi kiri mendadak seperti itu memang banyak terjadi di penghujung masa Orde Lama. Orang-orang ini sebenarnya menjadi kiri sekadar untuk cari selamat saja. Menjadi kiri dan Sukarnois mendadak adalah mode survival pada masa itu.
Tidak selalu mudah membedakan mereka yang revolusioner mendadak, yang Sukarnois, dan yang komunis. Tapi orang seperti Hamid Ismail dan banyak lagi pencari selamat lainnya, akhirnya jadi korban pembersihan pasca-Gestapu. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto