PWMU.CO– Polri belum bertindak secara profesional dan berkeadilan saat membubarkan Silaturahim Akbar KAMI se Jawa Timur di Jambangan Surabaya, Selasa (29/9/2020).
Hal itu disampaikan Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) M. Din Syamsuddin dalam rilisnya, Rabu (30/9/2020).
Menurut Din Syamsuddin, tentu kita semua mendukung alasan penegakan protokol kesehatan, namun hal itu harus ditegakkan secara adil dan menyeluruh. Sikap Polri tidak tampil, seperti diberitakan media massa, terhadap kerumunan-kerumunan antara lain pertunjukan dangdut di Tegal, kegiatan Pilkada di beberapa tempat, dan kerumunan aksi yang menolak pertemuan KAMI.
”Polri tidak hadir mencegah pihak penentang terhadap sesuatu kelompok yang beracara. Pada peristiwa Surabaya, Polri justru masuk ke dalam ruangan membubarkan acara KAMI yang menerapkan protokol kesehatan, sementara kelompok yang menolak KAMI dibiarkan berkerumun dan beragitasi di luar dan melanggar protokol kesehatan,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 ini.
Polri, sambung Din, tidak berusaha melindungi kelompok yang beracara dan mencegah kelompok yang datang menentang. ”Kami mencatat hal demikian terjadi juga di beberapa tempat lain. KAMI berharap Polri dapat berfungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat,” tandasnya.
Sebagai gerakan kaum cerdik pandai yang mengedepankan akal pikiran, ujar dia, pendukung KAMI dianjurkan untuk menyambut penolakan dan ujaran kebencian dengan senyuman karena menganggap kelompok penentang belum memahami jati diri dan misi KAMI.
Kalau jati diri dan misi KAMI dipahami, menurut Din, maka tidak perlu ada penolakan atau penentangan. KAMI berjuang utk meluruskan kiblat bangsa dan menegakkan Pancasila secara sejati.
”KAMI mengkritik dan mengoreksi penyelenggaraan negara yang dianggap menyimpang dan tidak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. KAMI mengkritik pemerintah yang cenderung memasung kebebasan rakyat untuk berserikat dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi,” jelas guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Kelompok Anti Demokrasi
Dari peristiwa di Surabaya itu, jelas Din, diketahui masih ada kelompok dalam masyarakat yang anti demokrasi, bersikap radikal, dan berwawasan eksklusif dengan kecenderungan menolak keberadaan kelompok lain.
Mereka tidak memahami bahwa keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dijamin oleh konstitusi. Kalau ada ketaksetujuan terhadap pikiran atau gagasan seyogyanya dihadapi dengan pikiran dan gagasan pula.
KAMI, lanjut dia, mengkritik pemerintah yang dinilai tidak bersungguh-sungguh menanggulangi covid-19 sehingga menimbulkan banyak korban. Untuk penanggulangan covid-19 KAMI mendesak pemerintah mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dari pada program ekonomi dan politik (Pilkada).
”Kami menilai penolakan terhadap KAMI oleh kelompok-kelompok tertentu adalah akibat kesalahpahaman atau pemahaman yang salah terhadap KAMI. Kemungkinan ada pihak yang merekayasa dan mendanai kelompok penentang KAMI. Seperti kasus bocornya proposal mahasiswa di Surabaya. KAMI tidak ingin menghabiskan waktu untuk menanggapinya.
KAMI dengan jejaringnya di banyak daerah di seluruh Indonesia dan mancanegara memilih untuk memaafkan mereka yang sinis dan benci terhadap KAMI, tutur Din. Namun yang pasti jika ada pihak lain yang melampaui batas dan melanggar hukum, KAMI tidak segan-segan memproses ke jalur hukum, demi tegaknya negara hukum.
”KAMI mengambil hikmah dari aksi penolakan oleh kelompok tertentu dengan menjadikannya sebagai pendorong semangat untuk semakin bangkit bergerak. Alhamdulillah, KAMI semakin kompak di atas keyakinan bahwa kebenaran harus ditegakkan dengan kesabaran. KAMI berpegang pada prinsip bahwa sekali berjuang harus maju terus pantang mundur, dan dalam perjuangan tidak ada titik kembali,” tandasnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto