Lolos Penculikan, Nasution Serang Balik PKI merupakan satu episode sejarah dimulainya penyingkiran pimpinan Angkatan Darat anti komunis.
PWMU.CO-Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.00 jelang Subuh, dua peleton tentara Cakrabirawa menciptakan ketegangan di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar 40 Jakarta.
Rentetan tembakan memecahkan pagi. Merusak pintu kamar. Ada peluru yang mengenai tubuh anak perempuan 5 tahun, Ade Irma Suryani. Darah mengucur dari punggungnya.
Jenderal AH Nasution bisa lolos dari kepungan lalu meloncati pagar tembok turun di halaman gedung Kedutaan Besar Irak. Beruntung para tentara itu tak mengejarnya.
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata itu bersembunyi di balik tumpukan tong. Kakinya terluka saat terjun dari tembok.
Tak lama kemudian terdengar peluit dari komandan pasukan. Pasukan Cakra bergegas menaiki tiga truk dan dua jip. Lalu pergi. Ketika kondisi aman Nasution keluar dari Kedubes Irak dan balik ke rumahnya. Dia bersyukur lolos penculikan.
Koordinasi dengan Kostrad
Dia meminta ajudannya mengantar ke kantornya Departemen Hankam, tempat yang lebih aman. Mendengar Komandan Kostrad Mayjen Soeharto berinisiatif mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, dia mengabarkan kondisinya selamat dan aman. Mendengar siaran Letkol Untung di RRI, Nasution tahu ini ulah orang-orang PKI.
Nasution dan Soeharto berkoordinasi mengambil langkah mengatasi keadaan, mencari keberadaan presiden, menghubungi Panglima Angkatan dan Kepolisian. Untuk memudahkan komunikasi, Soeharto meminta Nasution berada di Markas Kostrad.
Dalam buku otobiografi Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menceritakan, menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam muncullah Jenderal Nasution di Kostrad. ”Atas permintaan saya, agar lebih aman bagi beliau daripada di tempat persembunyiannya,” kata Soeharto dalam bukunya.
Dia sudah mendengar apa yang menimpa Menhankam yang lolos penculikan dan memerintahkan anak buahnya mencari keterangan lebih jauh tentangnya. ”Saya sambut waktu Jenderal Nas sampai. Saya memapahnya sampai masuk ruangan. Maklumlah, kakinya cedera,” cerita Soeharto.
Jenderal Nasution menceritakan pengalamannya lolos penculikan dengan singkat. Termasuk kabar putrinya yang tertembak dan sudah berada di rumah sakit.
Serangan Balik ke PKI
Informasi yang masuk memberitahukan posisi Presiden Sukarno di Halim Perdanakusuma. RRI juga menyiarkan suara presiden yang mengabarkan keadaan sehat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusi. Presiden juga menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra, Asisten III Menpangad, menjadi Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani.
Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas, Nasution mengatakan, penunjukan Pranoto tak dapat diterima karena Soeharto telah memimpin operasi pemulihan keamanan.
Lalu Nasution dan Soeharto mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda bertemu Bung Karno hingga Soeharto selesaikan menumpas orang-orang PKI. Pranoto pun diam di Kostrad mengabaikan permintaan presiden agar menghadap untuk menerima SK pengangkatannya.
Lewat Magrib, RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhie berhasil menguasai RRI. Rekaman suara Soeharto disiarkan pukul 19.00 mengumumkan Gerakan 30 September telah menculik perwira tinggi AD yaitu Letjen A. Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen Harjono MT, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
”G30S telah membentuk Dewan Revolusi Indonesia dan mengambil alih kekuasaan presiden dan melempar Kabinet Dwikora menjadi demisioner. Kekuatan ini berhasil dihancurkan dan NKRI tetap berada di bawah Bung Karno,” kata Soeharto dalam siarannya.
Menguasai Halim
Langkah pertama menghantam kelompok G30S telah dilancarkan dengan menguasai RRI dan membalikkan siaran Letkol Untung sebelumnya.
Malam itu Soeharto berpikir sambil mondar-mandir di ruangnya berpikir langkah berikutnya. Nasution duduk di kursi sambil meletakkan kakinya yang sakit di atas meja.
Tiba-tiba Sarwo Edhie muncul dan lapor. ”Pak Harto, apa jadi kita menguasai Halim? Agar gerakan pasukan jangan kesiangan dan untuk menghindari pertempuran,” tanya Sarwo.
Nasution langsung menyela,”Sarwo Edhie, jij mau bikin tweede Mapanget ya?” Peristiwa Mapanget adalah pemberontakan Permesta di Manado pimpinan Ventje Sumual, April 1958. Sarwo Edhie juga dikirim ke sana untuk menumpasnya.
Malam itu Soeharto sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah Sarwo Edhie langsung memberi perintah. ”Ya, kerjakan sekarang!”
”Siap Pak, pasukan telah siap. Kami segera berangkat,” jawab Sarwo Edhie. Pasukan lima kompi, lebih kurang 600 tentara, malam itu bergerak menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, markas berkumpulnya PKI.
Esok hari 2 Oktober pangkalan Halim sudah dikuasai. Para sukwan PKI yang berkumpul di situ sudah banyak yang melarikan diri. Perlawanan dari pasukan Angkatan Udara pro PKI bisa dilumpuhkan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto